Meneguhkan komitmen keumatan dan kebangsaan HMI, KabarJatim
Kabar Terbaru Tentang Meneguhkan komitmen keumatan dan kebangsaan HMI Yang Kami kutip dari berbagai sumber, Artikel ini telah mendapatkan editing dari tim kami Rakyatnesia. Semoga Berita Tentang Meneguhkan komitmen keumatan dan kebangsaan HMI bisa memberikan anda wawasan lebih luas.
Lafran Pane, mahasiswa asal Kampung Pangurabaan, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, adalah penggagas sekaligus pendiri HMI bersama 13 temannya yang berasal dari sejumlah daerah. Masing-masing Kartolo Zarkazy dari Ambarawa, Dahlan Huzain (Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan), Suwali (Jember), Yusdi Gazali (Semarang), Mansur (Palembang), Siti Zainab (Palembang), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (surakarta), Zulkarnain (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), dan Bidron Hadi (Kauman).
Menurut Agussalim Sitompul dalam buku “Sejarang Pemikiran HMI dan Relvansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa”, gagasan ke-14 mahasiswa membentuk organisasi kemahasiswaan itu tidak lepas dari situasi dan kondisi umat Islam, bangsa Indonesia, dan kondisi perguruan tinggi. Itulah yang melatarbelakangi pada saat organisasi tersebut didirikan.
Kala itu, Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, Indonesia belum sepenuhnya bebas karena sekutu penjajah Belanda masih berupaya menguasai kembali Indonesia sehingga dipandang perlu untuk melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Lafran Pane dan teman-temannya memandang bahwa peran elemen mahasiswa dalam ikut mempertahankan kemerdekaan bangsa perlu dioptimalkan, terutama dari unsur mahasiswa Islam.
Dari sisi umat Islam, Lafran Pane memandang perlu upaya pembaruan dan penguatan peran dan kebersamaan. Sebab, menurut hasil kajian Lafran Pane dan kawan-kawan, situasi dan kondisi umat Islam mengenai pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam menyebutkan bahwa walaupun Islam merupakan agama yang mampu mengatur kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat, banyak kaum terpelajar merasa malu untuk mengaku terang-terangan bahwa ia beragama Islam.
Bahkan, demikian dalam buku itu, ada yang mengatakan bahwa agama Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan rendah. Sementara, Belanda dan bangsa-bangsa di negara Barat lainnya dianggap lebih tinggi dan lebih baik.
Menyikapi kondisi umat Islam Indonesia yang inferior, Lafran Pane berpendapat bahwa jika umat Islam melaksanakan ajaran agama Islam pada semua aspek kehidupan, maka tidak mungkin penjajah Belanda memeras dan menindas bangsa Indonesia selama 3,5 abad.
Lamanya penjajahan itu karena Belanda mengetahui kondisi tersebut sehingga dilakukan tindakan dan langkah-langkah sistematik guna melestarikan kolonialisme di Nusantara.
Tidak hanya itu, Lafran Pane juga menemukan bahwa penjajahan yang dilakukan membawa misi sekularisasi di bidang pendidikan. Umumnya bangsa Indonesia merasa rendah diri dari bangsa Belanda dan bangsa-bangsa di negara Barat lainnya.
Meski Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan dan memiliki negara nasional (nation-state), tetapi akibat peninggalan penjajahan, penindasan, maupun pendidikan Belanda yang sudah lama terkondisikan, sulit hilang begitu saja, terutama bagi orang-orang yang semata-mata menerima pendidikan maupun pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan kolonial.
Maka, untuk mengantisipasi hal tersebut Lafran Pane berpendapat bahwa hal tersebut harus dihadapi melalui pendidikan yang intensif dalam rangka untuk menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa Belanda tidak lebih tinggi derajatnya dari bangsa Indonesia .
Konsekuensi logis dari itu semua menyebabkan rendahnya kemampuan umat Islam dalam memberi respons terhadap tantangan zaman secara kreatif dan bermanfaat. Jika orang-orang Islam memiliki pengetahuan yang utuh dan benar serta menyadari bahwa Al Quran dan hadits merupakan referensi tertinggi umat Islam, kesalahpahaman tentang Islam tidak perlu terjadi sebab agama ini memiliki gagasan yang revolusioner, demikian gagasan Lafran Pane.
Dalam konteks perguruan tinggi dan kelompok mahasiswa, organisasi mahasiswa yang ada di Yogyakarta sebelum HMI didirikan kurang memiliki perhatian pada upaya memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan.
Sebelum HMI dibentuk, di Yogyakarta sebenarnya telah berdiri organisasi Persatuan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) pada tahun 1946. Akan tetapi, kegiatan organisasi ini lebih dominan pada perkumpulan dan hiburan. Organisasi ini juga diketahui dalam kendali partai tertentu.
Karena itu, Lafran Pane dan kawan-kawan memandang perlu untuk membentuk organisasi mahasiswa di kalangan mahasiswa Islam sebagai wadah berkumpul, sekaligus sebagai media dakwah, memperkuat kajian keagamaan, di samping ikut membantu di bidang pemikiran mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Kondisi Bangsa Indonesia, umat Islam, dan perguruan tinggi yang menjadi pertimbangan Lafran Pane dan kawan-kawan tersebut, pada akhirnya menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama HMI ini. Tujuannya, pertama, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Sejarawan HMI Agussalim Sitompul dalam buku “Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa, Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997)” menjelaskan rumusan tujuan HMI sebagaimana saat pertama kali didirikan pada 5 Februari 1947 itu mengalami perkembangan redaksional.
Rumusan tujuan HMI hasil Kongres di Yogyakarta pada tanggal 30 September 1947 menyebutkan bahwa tujuan HMI adalah mempertegak dan mengembangkan ajaran agama Islam serta mempertinggi derajat rakyat dan Negara Republik Indonesia.
Rumusan tujuan HMI pada Kongres ke-4 yang digelar di Bandung pada tanggal 5-15 Oktober 1955, menyebutkan bahwa tujuan organisasi tersebut mengusahakan terbentuknya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam.
Hingga 11 tahun kemudian atau selama tiga kali kongres, rumusan tujuan HMI tidak mengalami perubahan. Rumusan tujuan HMI baru terjadi pada Kongres ke-8 HMI di Surakarta, yakni membina insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridai oleh Allah Swt.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada Kongres IX di Malang pada 3-10 Mei 1969, forum tertinggi pengambilan keputusan organisasi ini mengubah redaksi rumusan tujuan menjadi; “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridai oleh Allah Swt“. Redaksi ini tidak berubah hingga saat ini.
Misi Keumatan dan Kebangsaan
Jika memperhatikan latar belakang berdirinya dan rumusan tujuan sejak organisasi didirikan di Yogyakarta pada 5 Februari 1947, maka dapat dipahami bahwa ada dua misi utama sehingga HMI dibentuk, yakni, misi keumatan dan kebangsaan.
Misi keumatan HMI adalah berupaya menanamkan sikap percaya diri kepada umat Islam melalui wadah organisasi HMI bahwa Islam bukan agama yang tertinggal dan antikemajuan yang dipandang oleh sebagian Muslim kala itu yang memandang bahwa agama yang diturunkan di Makkah ini tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Padahal, Islam merupakan sumber dan tata nilai yang berorientasi pada kebenaran, keadilan, dan kebaikan.
Pandangan ini mengacu pada sumber primer ajaran Islam dalam Al Quran Surat Ar-Ra’d ayat 11 yang menyebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mau mengubahnya”.
Kutipan ayat sebagai acuan dalil normatif ini menunjukkan bahwa manusia sebagai wakil Tuhan di Bumi (khalifa fil ardh) merupakan agen perubahan yang akan menentukan masa depan mereka sendiri. Islam sebagai sumber nilai perlu diimplementasikan sesuai dengan wilayah, konteks sosial, dan budaya setempat. Agama yang diturunkan Allah Swt. melalui Nabi Muhammad saw. ini memang diturunkan di Arab, tetapi tidak berarti semua tradisi dan budaya masyarakat di negara itu adalah islami.
Misi keislaman HMI bukan pada bentuk, tetapi pada substansi nilai sehingga organisasi ini menjadi ruang keluarga besar bagi umat Islam dari berbagai aliran dan organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Hidayatullah, Syarikat Islam, dan ormas Islam lainnya. Bisa jadi, HMI merupakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam yang menjadi miniatur Islam di Indonesia, mengingat organisasi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia memang merupakan organisasi yang murni lahir dari kalangan mahasiswa, bukan di bawah naungan organisasi keagamaan tertentu.
Di bidang kebangsaan, kehadiran HMI sudah jelas bahwa organisasi ini juga bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kepentingan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih bangsa ini, karena HMI ingin menjadi bangsa yang merdeka yang bebas mengatur dirinya sendiri, bukan di bawah jajahan bangsa lain.
Prinsip hubbul wathon mina iman atau cinta tanah air merupakan bagian dari iman menjadi motivasi. Karena itu, dalam perkembangannya, aktivis dan pengurus organisasi ini tidak semuanya berkarir dalam dunia akademik.
Ada yang terjun di dunia militer, bahkan kala itu sebagian pengurus organisasi ini terlibat secara langsung dalam kontak fisik saat agresi militer Belanda dilancarkan tahun 1947. Kader HMI ikut terlibat perang bersenjata untuk melawan kedatangan kembali imperialisme Belanda. Demikian sejarawan HMI Agussalim Sitompul dalam buku “Sejarang Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa”.
Selain itu, untuk menghadapi pemberontakan Madiun 18 September 1948, Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), ikut membantu pemerintah menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, dengan mengarahkan anggota CM pergi ke gunung-gunung, bergabung dengan petugas keamanan.
Berkhidmat masa depan peradaban
Pada 5 Februari 2023 ini, HMI sudah genap berusia 76 tahun. Tidak sedikit para tokoh nasional yang terlahir dari organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia ini, baik di bidang akademik, politik, pemerintahan, hingga dunia usaha.
Tokoh nasional seperti cendekiawan Nurcholish Madjid atau Cak Nur (almarhum), Jusuf Kalla, Azyumardi Azra (alm/mantan Rektor UIN Jakarta), Komaruddin Hidayat, Yudi Latif (intelektual), Amin Abdullah (eks Rektor UIN Yogyakarta), Kuntowijoyo (alm/sejarawan UGM), Sulastomo, Hamzah Haz (Wapres RI 2001-2004), Akbar Tandjung (mantan Ketua DPR RI), A.M. Fatwa, Fahmi Idris (mantan Menteri Perindustrian), Mahfud MD Menkopolhukam saat ini, hingga mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, merupakan tokoh-tokoh yang dibesarkan di HMI.
Selain beberapa tokoh nasional, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad juga merupakan mantan aktivis HMI.
Di bidang politik, kader-kader tersebar pada hampir semua partai partai politik. Seperti Erwin Muslimin Singajuru (Sumatra Selatan), Mohamad Prakosa (Jawa Tengah), dan Hamka Haq (Jawa Timur). Mereka bergabung dengan PDI Perjuangan.
Di Partai Golkar, ada Bambang Soesatyo, Ridwan Hisjam, Sarmudji, Fadel Muhammad, Ahmad Zacky Siradj, Ade Komarudin, dan Rambe Kamaruzzaman. Demikian juga di sejumlah partai lain, seperti PAN, Hanura, PKB, PKS, Nasdem, dan PPP.
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI Raihan Ariatama dalam sebuah kesempatan menyatakan HMI bukan hanya sebatas organisasi kader dan organisasi perjuangan, tetapi juga merupakan lembaga yang memiliki peran sebagai aktor perantara yang bisa menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemerintah, sekaligus sebagai salah satu elemen kekuatan moral bangsa.
Karena itu, HMI harus bisa menjadi mitra strategis sekaligus mitra kritis pemerintah. Apabila ada kebijakan pemerintah yang berdampak positif bagi masyarakat, maka HMI harus memberikan dukungan. Sebaliknya, apabila ada kebijakan pemerintah yang negatif, yakni merugikan masyarakat, HMI harus menyampaikan kritik.
Kritik yang sehat merupakan tanggung jawab moral HMI, mengingat organisasi didirikan untuk misi keumatan dan kebangsaan.
Raihan, mahasiswa Magister Ekonomi Pembangunan (MEP) Universitas Gadjah Mada (UGM), lebih lanjut menjelaskan peran sebagai aktor perantara itu tidak lepas dari peran strategis organisasi sejak pertama kali didirikan pada 5 Februari 1947 yang memiliki misi memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa. Meneguhkan komitmen keumatan dan kebangsaan merupakan sesuatu yang niscaya dilakukan, yang menurut Raihan, hal itu sebagai bagian dari bentuk khidmat HMI untuk masa depan peradaban bangsa ini.
Presiden RI Joko Widodo saat membuka Kongres XXXI HMI menyatakan organisasi ini memang memiliki potensi besar dan itu ditandai dengan banyaknya alumnus yang berkiprah di berbagai bidang pemerintahan, lembaga politik, ekonomi, dan akademik.
Kepala Negara juga meyakini HMI bisa menjadi lokomotif kemajuan bangsa dan lebih aktif menyiapkan, melahirkan SDM unggul, mencetak dan melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan sehingga dapat mengantar bangsa untuk siap berkompetisi.
Oleh karena itu, Presiden menegaskan bahwa HMI juga harus mampu mewujudkan cita-cita besar para pendiri untuk menyelaraskan keislaman dan keindonesiaan dengan semangat pembaharuan, memperkokoh persatuan bangsa di tengah keberagaman, dan menjadi pilar penyokong integrasi bangsa.
Pergulatan puluhan tahun HMI dengan segala dinamika yang menyertainya, menunjukkan bahwa organisasi ini–melalui kader-kadernya– telah banyak ikut serta mewarnai perjalanan bangsa hingga hari ini.
Jangan lupa untuk membagikan artikel Meneguhkan komitmen keumatan dan kebangsaan HMI di jejaring sosial milik anda, agar kawan, saudara dan keluarga tidak ketinggal berita tersebut. (dikutip dari :: jatim.antaranews.com)