Saatnya NU merawat jamaah songsong abad kedua
Kabar Terbaru Tentang Saatnya NU merawat jamaah songsong abad kedua Yang Kami kutip dari berbagai sumber, Artikel ini telah mendapatkan editing dari tim kami Rakyatnesia. Semoga Berita Tentang Saatnya NU merawat jamaah songsong abad kedua bisa memberikan anda wawasan lebih luas.
“NU jangan kayak gini-gini aja,” kata anak muda NU, Geza Bayu Santoso, dalam sebuah komentar di akun medsosnya. Satu abad NU dinilai sudah mampu membuktikan dalam merawat jagat melalui panutan keagamaan (ulama) dalam akhlak/toleran/ukhuwah dan nasionalisme (cinta/bela negara).
Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri atau Gus Mus menegaskan bahwa loyalitas itu pada Indonesia, bukan pada pemerintah. Karena itu, meski pernah dikecewakan pemerintah saat Orde Baru, NU tidak memberontak. Loyalitas NU yang tinggi pada negara itu diajarkan para ulama untuk mencintai tempat makan, minum, hidup, hingga meninggal dunia.
Namun, Geza Bayu Santoso sebagai anak muda NU merasa tidak puas bila NU hanya berhenti pada merawat jagat atau merawat bangsa/negara dengan ritual keagamaan dan nasionalisme semata, karena itu NU ke depan harus membangun jamaah atau merujuk tema satu abad NU dalam “membangun peradaban”.
Jadi, kalau NU pada abad pertama (1344-1444 H) cukup sukses dalam merawat jagat, maka NU pada abad kedua (1444-1544 H) harus sukses dalam membangun peradaban (merawat jamaah), misalnya kebangkitan NU atau jamaah NU dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Bidang kesehatan, misalnya, upaya pendirian RS memang sudah masif dilakukan, tapi perkembangannya masih tampak biasa-biasa saja. Bidang pendidikan, kualitasnya masih jauh dari world class university. Apalagi bidang ekonomi, gagasannya masih sebatas proposal. Ke depan, anak muda berharap agar NU jangan seperti ini-ini saja.
Paling tidak, abad kedua ke depan, NU perlu membuktikan dalam dua strategi, yakni pengembangan sumber daya manusia/SDM/intelektual dalam menyongsong era “bonus demografi” pada satu abad Indonesia (1945-2045) dan pengembangan digitalisasi untuk menjawab tantangan dakwah di dunia maya yang menjadi “sarang” para perundung NU.
Banyak analisis yang memprediksi Indonesia pada tahun 2030 sampai 2050 akan memimpin dunia dengan beberapa indikator bahwa Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Negara-Negara Maju (OECD) memperkirakan ekonomi Indonesia pada tahun 2045 akan mencapai U$8,89 triliun dan menjadi ekonomi terbesar ke-4 di dunia.
Prediksi tersebut dilatarbelakangi pada tahun 2030-2040 Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jumlah penduduk Indonesia usia produktif akan mencapai 64 persen dari total penduduk sekitar 297 juta jiwa.
Untuk menyongsong Indonesia sebagai Raksasa Dunia itu, maka NU pada abad kedua harus mempersiapkan SDM yang mampu bersaing dengan penduduk dunia yang lain dan layak memimpin dunia. NU mempunyai tanggung jawab dan peran yang besar, karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah warga NU.
Menurut Ketua Majelis Alumni (MA) Ikatan Pelajar NU (IPNU) Jawa Timur HM Muzammil Syafi’i, upaya memajukan NU juga berarti memajukan Indonesia dan meraih kepemimpinan dunia, karena semua komponen NU, termasuk Muslimat, Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU, dan sebagainya, harus melakukan upaya-upaya itu.
Sebagai “sayap” NU dalam bidang pendidikan, IPNU dan IPPNU mempunyai nilai dan posisi yang strategis bagi upaya meningkatkan kualitas SDM untuk memegang tampuk kepemimpinan di masa depan. Karenanya kaderisasi menjadi isu strategis yang harus digarap secara serius agar terwujud kader NU yang militan dan profesional dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan bidang lainnya.
Selain itu, era digital juga menuntut anak-anak muda NU untuk mempersiapkan tenaga terampil dalam bidang teknologi digital/IT untuk memasarkan/mendakwahkan NU ke seluruh penjuru pelosok Dunia. Selama ini, NU masih kalah dengan kelompok lain yang sudah lama eksis dakwahnya melalui digital.
Penangkalan paham intoleran dan radikal, juga menjadi isu yang utama dalam rangka membangun peradaban dunia. Karenanya perlu ada konsep dan langkah konkret dalam memahamkan Aswaja secara gamblang dan mudah diterima generasi muda yang kini masih mengonsumsi suguhan yang mengarah pada paham Wahabi dan Khawarij.
Peradaban Abad Kedua
Saat ini, NU sudah memiliki sejumlah SDM unggulan, di antaranya Sidrotun Naim, salah seorang ilmuwan perempuan di bidang bioteknologi yang secara khusus diberi kepercayaan oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf untuk menjabat Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU sejak Agustus 2022. Meski baru masuk dalam kepengurusan PBNU, sejatinya Naim telah lama akrab dengan lingkungan dan tradisi NU, karena ia berasal dari keluarga keturunan NU.
Naim merupakan anak ke-7 dari 11 bersaudara. Kecintaan Naim terhadap ilmu merupakan tradisi dalam keluarga selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Dahulu, leluhurnya mengabdi di keraton sejak zaman Kesultanan Demak. Setelah berubah menjadi Mataram, leluhurnya menjadi ulama untuk Keraton Kasunanan Surakarta secara turun temurun.
Meskipun tidak melanjutkan tradisi sebagai ulama atau pengajar agama, Naim meneruskan tradisi keilmuan di keluarga dengan menjadi saintis. Naim menegaskan bahwa dirinya bukan IPPNU, bukan PMII, dan juga bukan Fatayat. Secara humor, ia mengistilahkan dirinya sebagai, “memang bukan-bukan”.
Meski begitu, ia mengaku bahwa dirinya sebagai orang NU tulen. Ia gemar berziarah kubur dan sowan pada para kiai sepuh di berbagai wilayah. Dia mengaku sebagai “pemburu” makam dan sarjana kuburan (sarkub)). Ia juga gemar sowan kepada para masyayikh, bahkan kadang ikut antre lama membaur dengan masyarakat biasa.
Di bidang sains, Naim tertarik untuk mempelajari penyakit udang. Ketertarikannya itu berawal dari ajakan temannya untuk memberikan pendampingan melalui program WWF Indonesia-Aceh kepada petambak udang korban tsunami di Aceh. Kegagalan panen udang pada tahun 2008 di Aceh membuatnya ingin melanjutkan studi program doktoral ilmu lingkungan di Universitas Arizona, Amerika Serikat. Ia menyelesaikan gelar Ph.D bidang Environmental Microbiology di Universitas Arizona pada 2012.
Ketertarikan Naim terhadap udang bukan kebetulan, sejak duduk di bangku SD maupun sekolah menengah, Naim tertarik dengan sains, terutama biologi. Naim kecil pernah bermimpi pergi ke luar negeri seperti ayahnya, Abidullah. Pada 1974, hanya dua putra Indonesia yang mendapatkan beasiswa dari British Council, yaitu Abidullah (almarhum) dan mantan Menteri Pertahanan Juwono Soedarsono. Abdullah menimba ilmu S2 ekonomi di Glasgow, Skotlandia.
Setelah menghabiskan sekolah dasar dan menengah di Solo, Naim menempuh S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia lulus dari Sekolah Ilmu Teknologi dan Hayati ITB tahun 2002. Seusai lulus, Naim bekerja di Freeport Mc Moran sebagai konsultan lingkungan sampai 2003. Setelah itu, Naim mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 Jurusan Biologi Kelautan di Universitas Queensland, Australia. S2 di Australia, ia tamatkan pada tahun 2005 dengan menggondol Master of Marine Studies.
Pada 2007 menjadi tahun penting bagi Naim. Ia bergabung dengan lembaga internasional yang bergerak di bidang lingkungan, World Wildlife Fund for Nature (WWF) sebagai konsultan program kelautan di Aceh pasca-tsunami. Di situlah ia jatuh cinta pada udang. Lima tahun kemudian setelah lulus dari Queensland, yaitu pada tahun 2010, Naim berhasil menyelesaikan program master sains lingkungan di Universitas Arizona.
Dua tahun kemudian pada 2012, ia juga menggondol master sains di bidang mikrobiologi dan patobiologi di universitas yang sama. Menariknya, S2 Mikrobiologi dan Patobiologi tersebut, ia tamatkan berbarengan dengan gelar doktoral (Ph.D) Mikrobiologi Lingkungan di Universitas Arizona pada 2012. Disertasi doktornya membahas tentang bakteri yang berpendar di udang menggunakan pendekatan genetik dan biologi molekuler. Berkolaborasi dan dibimbing oleh Professor Bonnie L. Bassler (geneticist dan molecular biologist) dari Universitas Princeton, AS.
Keilmuan yang dia punyai ingin dilengkapi dengan manajemen yang baik, sehingga ia mengambil master jurusan Administrasi Publik di Universitas Harvard. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Harvard pada 2016. Meskipun sudah menggondol doktor di Universitas Arizona, sejak 2022, Naim sedang menempuh S3 Kajian Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Doktor Kajian Islam ia tempuh agar ia dapat memperkuat bidang agama dan sains. Secara khusus, Naim sedang mengkaji Tarekat Syadziliyah di SPs UIN.
SDM NU lain yang juga unggulan adalah Ainun Najib yang sempat menjadi perbincangan publik setelah namanya disebut secara langsung oleh Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan di Pengukuhan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) periode 2022-2027. Jokowi menyebut Ainun sebagai generasi muda NU yang serbabisa mengerjakan berbagai hal di bidang teknologi informasi.
Ainun Najib merupakan tokoh muda NU yang juga praktisi teknologi informasi asal Gresik, Jawa Timur. Dia juga dikenal sebagai inisiator situs KawalPemilu.org, juga KawalCovid19. Dia pernah bekerja untuk Traveloka sebagai data scientist dan konsultan senior untuk IBM. Kini, dia tinggal di Singapura menjadi head of analytics, platform and regional business untuk Grab.
Walhasil, SDM yang berkualitas dalam skala dunia harus menjadi unggulan NU Abad Kedua, sekaligus dirangkul untuk mengembangkan SDM NU yang merawat jamaah dan juga mendakwahkan ajaran NU yang “rahmatan lil alamin” dalam skala dunia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Saatnya NU merawat jamaah untuk abad kedua
Jangan lupa untuk membagikan artikel Saatnya NU merawat jamaah songsong abad kedua di jejaring sosial milik anda, agar kawan, saudara dan keluarga tidak ketinggal berita tersebut. (dikutip dari :: jatim.antaranews.com)