Tragedi dalam Gencatan Senjata: Ibunda Eks Sandera Hamas Tewas Ditembak oleh Pasukan Israel

Panjoel Kepo

Tragedi dalam Gencatan Senjata: Ibunda Eks Sandera Hamas Tewas Ditembak oleh Pasukan Israel
Bagikan

rakyatnesia.com – Sebuah insiden tragis terjadi ketika pasukan Israel menembak ibu dari seorang eks sandera Hamas yang akan dibebaskan sebagai bagian dari gencatan senjata. Kisah ini terungkap melalui wawancara dengan media Israel, Channel 12, oleh sang sandera.

Dalam ceritanya, dia menjelaskan bahwa Brigade Al Qassam, sayap kelompok Hamas, membawa para sandera menggunakan traktor. Namun, pasukan Israel menembaki kendaraan tersebut.

“Dalam insiden tersebut, ibu saya, yang sangat saya sayangi, tewas. Saya mengalami luka di punggung, dan saudara laki-laki saya mengalami luka di kaki,” ujar perempuan itu seperti yang dikutip dari Anadolu Agency.

Chanel 12 mengklaim pasukan Israel “melepaskan tembakan untuk menghentikan traktor menuju Gaza.”

Pembebasan sandera itu bagian dari kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Di bawah perjanjian ini, mereka setuju bertukar tahanan selama gencatan senjata berlangsung.

Israel dan Hamas sempat setuju gencatan senjata pada 24 November dan diperpanjang dua kali hingga 30 November.

Usai berakhir, Israel menggempur habis-habisan warga dan objek sipil seperti kamp pengungsian serta rumah sakit di Palestina.

Serangan Israel ke tawanan yang disandera Hamas menjadi sorotan. Pekan lalu, mereka menembak mati tiga sandera Hamas.

Penembakan itu memicu protes keluarga sandera yang masih tersisa dan yang kerabatnya masih ditahan.

Mereka cemas kerabat mereka mengalami insiden serupa, sementara pemerintah Israel hanya memikirkan ambisinya untuk melenyapkan Hamas.

Berkenaan dengan itu, protokol Hannibal pun menjadi perbincangan.

Protokol tersebut bertujuan mencegah pembayaran harga tinggi bagi para sandera, mengizinkan pemusnahan sandera dan penyandera jika upaya penyelamatan gagal.

Israel selama beberapa dekade menyembunyikan protokol tersebut. Masyarakat baru mengetahui protokol ini pada 2003, ketika dokter Israel Avner Shiftan, yang bertugas sebagai tentara cadangan di Lebanon, mengungkapkan ke surat kabar Haaretz.

Bagikan

Also Read