Nasional – Rupiah Melemah Benarkah Kenaikan Harga BBM Dan Listrik Akan Naik ?, Melemahnya Nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika terjadi selama 3 Minggu terakhir dan puncaknya pada 4 September kemarin, nilai rupiah hingga Rp 15.000 per 1 US Dollar.
Ancaman naiknya harga pangan, bahan bakar minyak (BBM), listrik dan barang sudah di depan mata. “Harga pangan pasti naik. Masyarakat harus siap-siap,” kata Salamuddin Daeng, pengamat ekonomi, Selasa (4/9/2018).
Sebab Indonesia sekarang ini sangat tergantung pada bahan pangan impor, seperti kedele, jagung, gula, gandum, beras dan sebagainya . Sehingga dengan naiknya bahan pangan ini akan berdampak terhadap bahan kebutuhan sehari-hari.
Tak hanya harga pangan, ia mengungkap melemahnya nilai tukar rupiah ini juga sangat berdampak terhadap sektor energi, seperti BBM dan listrik. Keuangan Pertamina dan PLN bakal semakin berdarah-darah, karena biaya produksi mereka naik. Kenaikan harga BBM dan listrik akan sulit dihindari.
Buntut naiknya harga BBM juga akan mengimbas ke sektor lain seperti transportasi. Biaya transportasi pasti naik. “Semuanya barang dan jasa akan naik,” ucapnya.
Hal senada juga dikatakan Bambang Haryo, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra. Bahkan, ia mempertanyakan sikap Presiden Jokowi yang selalu menyatakan melemahnya nilai tukar rupiah tidak perlu dikhawatirkan.
“Padahal kondisi ini sangat memprihatinkan, karena banyak komoditas pangan kita berasal dari impor,” katanya seraya menyebut Indonesia sebagai negara yang terparah terkena dampak perkasanya dolar AS.
Baca juga : Kurs Dollar Semakin Menguat Rupiah Anjlok Sampai Rp 15.000 lebih Per 1 US Dollar
BICARA JUJUR
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Michael Wattimena, mengingatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani akan bahaya krisis ekonomi seperti tahun 1998 .
Michael juga mempertanyakan kenapa di tengah gejolak perekonomian saat ini pemerintah tidak mengajukan APBN Perubahan seperti yang dilakukan tahun 2015 lalu.
“Ibu Menteri juga selalu bilang tekanan terhadap nilai tukar, karena kondisi di negara lain, kayak Turki, Argentina,” tandasnya. “Tolong ini dijelaskan secara jujur Bu Menteri.”
BANTU PEMERINTAH
Menanggapi melemahnya nilai tukar rupiah, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meminta masyarakat membantu pemerintah mengurangi impor. Ini penting untuk mengurangi defisit neraca perdagangan.
“Tak usah Ferarri, Lamborghini masuk dalam negeri, tak usah mobil besar dan mewah, tak usah parfum-parfum mahal. Tas-tas Hermes. Walaupun tidak banyak, jangan dalam situasi sulit ini, masyarakat luxuries gitu,” kata JK.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengaku heran dengan sejumlah pihak yang membandingkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dengan masa krisis ekonomi pada 1998.
“Jangan dibandingkan Rp14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. Membandingkannya yang fair (adil),” ujar Darmin di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta.
Ia menjelaskan melemahnya rupiah pada 20 tahun yang lalu sangat drastis. Sebelumnya rupiah berada di posisi Rp 2.800 terus menjadi Rp14.000/dolar AS.
Menurut Darmin, fundamental perekonomian Indonesia saat ini masih dalam kondisi baik, yang tercermin dari inflasi di kisaran 3 persen dan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
Menteri ESDM Nyatakan tidak akan ada kenaikan BBM dan Listrik
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, pemerintah tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (bbm) dalam waktu dekat. “Intinya gini, pemerintah tidak merencanakan menaikkan harga BBM dalam waktu dekat” ujar Jonan di kantornya, Selasa (4/9/2019) malam. Seperti yang diketahui, nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan terhadap dollar AS. Bahkan pekan ini nilai rupiah terhadap dollar AS menyentuh kisaran Rp 14.800.
Defisit transaksi berjalan kuartal II/2018 menyentuh angka 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar 8 miliar dollar AS. Penyebab utama kenaikan defisit transaksi berjalan tersebut yakni penurunan surplus neraca perdagangan non-migas di tengah kenaikan defisit neraca perdagangan migas. Surplus neraca perdagangan non-migas pada kuartal II/2018 hanya sebesar 3 miliar dollar AS. Kondisi tersebut sejalan dengan peningkatan defisit neraca perdagangan migas sebesar 2,7 miliar dollar AS. Sementara itu, ekonom dari Universitas Indonesia yang pernah menjabat sebagai sebagai menteri keuangan era SBY Muhammad Chatib Basri menuliskan opininya yang bertajuk “Waspada”, Sabtu (15/8/2018) bahwa defisit di neraca migas perlu dikurangi dengan menaikkan harga BBM.
“Pengalaman menunjukkan jika subsidi mendorong penyelundupan akibat disparitas harga. Subsidi BBM juga mendorong migrasi dari BBM nonsubsidi ke subsidi. Akibatnya, impor melonjak,” tulis Chatib. Dirinya menambahkan, kenaikan harga BBM akan mengurangi penyimpangan ini. Selain itu, kenaikan BBM dan tarif listrik juga akan mengurangi beban Pertamina dan PLN. Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton H Gunawan memperkirakan salah satu tantangan kondisi ekonomi domestik tahun 2019 dari tingkat inflasi yang bisa mencapai 4,5 persen. Salah satu faktor pendorong signifikan dari besaran inflasi itu yakni penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah.