Jawa Pos Diiklankan 24 Juni, Diresmikan 26 Juni, Dirayakan 1 Juli Rakyatnesia
[ad_1]
PADA 21 Juni 1949, harian Sin Po (Jakarta) memublikasikan sebuah iklan mengenai kelahiran koran Java Post yang rencananya terbit di Surabaya pada 24 Juni 1949. Java Post merupakan edisi Indonesia dari Chinese Daily News (Hua Chiao Hsin Wen), koran berbahasa Tionghoa terkemuka di Surabaya yang didirikan pada 1946.
Seluruh kegiatan operasional Java Post dilakukan di kawasan Kembang Jepun 166, yang sebelumnya merupakan gedung Bank Taiwan. Peresmian gedung Java Post dilakukan 26 Juni 1949.
Kemunculan Java Post menjadi penting dalam perkembangan pers di Indonesia kala itu lantaran semakin memperkaya jumlah surat kabar di Indonesia yang terbit dalam suasana perang kemerdekaan. Ketika Belanda terus-menerus membombardir Indonesia dengan beragam pemberitaan yang menuding Indonesia belum siap merdeka, Java Post menjadi salah satu koran yang aktif melawan narasi tersebut melalui artikel-artikel kritisnya.
Awal Mula Dirintis
Java Post kali pertama didirikan The Chung Shen (Suseno Tedjo), seorang pengusaha kelahiran Bangka. The awalnya bekerja sebagai akuntan di perusahaan New China di Suikerstraat 2 (sekarang Jalan Gula). Pengalaman itu turut berperan membentuk kemampuan manajerial The yang teliti, cekatan, dan rapi. Namun, ketertarikan The terhadap dunia surat kabar bermula ketika bekerja di salah satu kantor film di Surabaya. Tugasnya kala itu adalah menghubungi berbagai surat kabar guna memastikan iklan film yang dipasang kliennya dimuat tepat waktu.
Perlahan tapi pasti, The mulai jatuh cinta pada dunia persuratkabaran dan merasa tertantang untuk memulai korannya. The sadar pekerjaannya itu tidak akan mudah. Pada awal revolusi Indonesia, Surabaya sudah memiliki beberapa koran berbahasa Indonesia yang mumpuni dengan oplah cukup besar seperti Pewarta Soerabaia dan Trompet Masjarakat.
Namun, The jeli melihat peluang yang ada. Dia melihat, sekalipun Surabaya memiliki populasi Tionghoa yang tergolong banyak, hanya ada satu koran berbahasa Tionghoa yang terbit di sana kala itu, yakni Tsing Kwang Daily Press (terbit 11 Januari 1946). Memanfaatkan keterbatasan tersebut, The lantas mendirikan koran pertamanya yang diberi nama Chinese Daily News (Hua Chiao Hsin Wen). The bertindak selaku direktur, sementara Chan Ping Hung menjabat pimpinan redaksi. Tidak butuh waktu lama bagi harian ini menuai kesuksesan. Pada 1948, Chinese Daily News sudah menjadi surat kabar berbahasa Tionghoa terbesar di Surabaya yang dibaca seluruh penutur bahasa tersebut di Jawa Timur.
Tiga tahun berselang, The mengajak Goh Tjing Hok, mantan wartawan Sin Min (Semarang), dan Tan Boen Aan, seorang insinyur lulusan Technische Hoogeschool (sekarang ITB Bandung), untuk mendirikan Java Post. Goh menempati posisi pemimpin redaksi. Tan menjadi salah seorang wartawan andalan koran tersebut.
Peresmian Java Post dilakukan pada 26 Juni 1946. Gedung Java Post di Kembang Jepun pun disulap menjadi tempat resepsi yang mampu menampung ratusan tamu undangan. Tercatat, sejumlah tamu kehormatan turut hadir dalam acara tersebut seperti A.M. van Liere (residen Surabaya), R.T. Djoewito (pimpinan sementara Parlemen Jawa Timur), Indra Kasoema (wali kota Surabaya), hingga berbagai wartawan dari seantero Jawa Timur.
De Vrije Pers, salah satu koran berbahasa Belanda terkemuka di Jawa Timur, menyebut Java Post sebagai aset berharga Jawa Timur. ”Bila Java Post mampu mempertahankan kualitasnya seperti Chinese Daily News, koran ini akan mampu bersaing dan bertahan lama di Surabaya,” tulis De Vrije Pers.
Prediksi tersebut terbukti tepat. Java Post terbukti mampu berumur panjang. Malahan, pada 19 Februari 1954, Naamloze Vennotschap (N.V., perseroan terbatas), perusahaan penerbitan Java Post, resmi mengakuisisi seluruh aset De Vrije Pers setelah koran ini mengalami kesulitan finansial. Di gedung De Vrije Pers di Kaliasin 52, dilakukan serah terima resmi dari J.A. Wormser selaku pemilik De Vrije Pers ke The Chung Shen.
Dengan membawahkan tiga koran di Surabaya, The Chung Shen sempat dijuluki Raja Surat Kabar di Surabaya. Tidak banyak surat kabar periode revolusi yang mampu bertahan sampai detik ini. Kedaulatan Rakyat (Jogjakarta, 1945) dan Waspada (Medan, 1947) merupakan beberapa pengecualian.
Sjarif Hidajat, komisaris baru De Vrije Pers, di dalam pidatonya menyatakan bahwa akuisisi ini menjadi momen penting dalam tonggak sejarah pers Indonesia. Menurut dia, koran ini merupakan cerminan dari kebangsaan dan nasionalisme Indonesia lantaran seluruh sahamnya kini sepenuhnya dipegang orang Indonesia.
Di dalam edisi perdana pasca-akuisisi, terpampang jelas slogan baru koran ini yang bertulisan Onafhankelijk Indonesisch Dagblad in de Nederlandse Taal (Harian Indonesia Merdeka Berbahasa Belanda). Namun, pada 1 Juli 1958, De Vrije Pers harus berganti nama menjadi Indonesian Daily News seiring dengan semakin meruncingnya permasalahan Irian Barat. Tidak hanya mengganti nama, konstelasi politik itu juga terpaksa membuat The harus mengubah bahasa pengantar koran tersebut dari Belanda ke Inggris.
Konsekuensi dari Sikap Kritis
Tulisan-tulisan kritis dari Java Post berkali-kali membuat banyak pihak kebakaran jenggot. Sekalipun tongkat estafet redaksi harus beralih dari Goh Tjing Hok ke Thio Oen Sik (Seyono), Java Post tidak kehilangan sikap kritisnya. Puncak intimidasi terhadap koran ini pun terjadi pada 2 Februari 1956 ketika sekitar 30 polisi yang berseragam preman dan bersenjata mengobrak-abrik kantor Java Post. Serangan tersebut diduga terjadi lantaran Java Post mengkritik keras kinerja polisi yang berantakan.
Empat karyawan Java Post sampai harus dilarikan ke ru-mah sakit lantaran mengalami luka serius. Berbagai mesin dan bahan cetak dihancurkan sehingga menghambat kegiatan operasional Java Post selama beberapa bulan ke depan. Kerugian akibat insiden itu ditaksir The Chung Shen mencapai Rp 250 ribu.
Koran ini pun tetap mampu bangkit, bahkan berhasil melewati berbagai periode transisi kekuasaan di Indonesia. Namun, perjalanan tersebut jelas tidak mudah. Dalam perjalanannya kelak, Java Post beberapa kali berganti nama, mulai Djawa Post, Djawa Pos, hingga menjadi Jawa Pos yang kita kenal saat ini.
Peristiwa G30S 1965 terpaksa mengakhiri kegiatan operasional Chinese Daily News setelah bertahan selama 20 tahun. Bukan hanya itu, pada 1981, Indonesian Daily News juga harus mengakhiri penerbitannya karena minimnya iklan yang masuk.
Praktis, hanya tinggal Jawa Pos yang tersisa. The Chung Shen pun berupaya mati-matian untuk mempertahankan koran ini. Namun, pelanggan Jawa Pos terus berkurang setiap hari. Memasuki awal 1982, jumlahnya hanya tersisa 2.000 orang di Surabaya dan 350 orang di Malang. Guna menekan biaya operasional, para karyawan Jawa Pos sampai harus mengurus seluruh proses distribusi korannya ke para pelanggan.
Melihat kondisi Jawa Pos yang semakin memburuk, ditambah usianya yang juga sudah uzur, The memutuskan untuk menjual saham surat kabarnya kepada PT Grafiti Pers Penerbit Tempo pada 1 April 1982. Berbagai strategi dan perombakan besar-besaran dalam manajemen Jawa Pos terbukti mampu mengangkat koran ini dari keterpurukan hingga menjadi media yang disegani.
Dalam usianya yang kini mencapai 72 tahun, Jawa Pos Group telah menaungi lebih dari 151 surat kabar di berbagai daerah serta masih memiliki belasan majalah, tabloid, dan televisi daerah. Namun, patut disayangkan bahwa Jawa Pos belum memiliki arsip lengkap koran sendiri, terutama sebelum kurun 1982. Salah satu imbas terbesarnya adalah tidak diketahui secara jelas kapankah ulang tahun resmi dari Jawa Pos. Apakah setiap 1 Juli seperti yang dirayakan saat ini? Atau, 24 Juni seperti yang beredar dalam iklan berbagai surat kabar seperti Sin Po, Nieuwe Courant, atau De Vrije Pers?
Mungkin sudah saatnya bagi pihak Jawa Pos untuk mengumpulkan arsip yang tercecer tesebut yang tentu tidak hanya berguna untuk menuliskan sejarah panjang dari Jawa Pos, tetapi juga sebagai teropong untuk menelusuri perjalanan bangsa Indonesia dari generasi ke generasi. (*)
*) Ravando Lie, Kandidat Doktor Sejarah University of Melbourne
sumber artikel : jawapos. com