Dua Jenderal Divonis Mati, Pakar Apresiasi Komitmen Kapolri Berantas Polisi Benalu , Kabar Indonesia
Rakyatnesia – Dua Jenderal Divonis Mati, Pakar Apresiasi Komitmen Kapolri Berantas Polisi Benalu Pencarian seputar Berita Nasional di dunia maya kian banyak dikerjakan masyarakat Indonesia, sedangkan sebetulnya Berita ini akan kami bahas di artikel ini.
[quads id=10]
Pada artikel Dua Jenderal Divonis Mati, Pakar Apresiasi Komitmen Kapolri Berantas Polisi Benalu ini kami ada sebagian pembahasan yang akan kalian baca disini, dan juga mempunyai sebagian cara penjelasan lain yang bakal membikin kalian terkaget memperhatikan atau membacanya. Jika anda senang dengan berita ini, maka bagikan dengan orang terdekat atau di media sosial kesayangan anda.
[quads id=10]
Rakyatnesia.com – Di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sejumlah oknum polisi yang melakukan pelanggaran etik hingga pidana disikat. Bahkan, bekas Kapolda Sumatera Barat, Irjen Teddy Minahasa, menjadi pejabata bintang dua yang menghadapi pidana mati setelah eks Kadiv Propam, Ferdy Sambo.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Teddy hukuman mati karena terlibat dalam perdagangan narkotika jenis sabu-sabu seberat 5 kg. Dia dinilai terbukti melanggar Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pengamat kepolisian Ali Asghar berpendapat, hal itu menunjukkan Kapolri Sigit bernyali dalam “menyikat” anak buahnya yang melakukan pelanggaran. Sebab, berkomitmen kuat untuk mewujudkan visinya, membangun Korps Bhayangkara yang dicita-citakan masyarakat.
“Pak Kapolri sudah sejak awal berkomitmen. Dia punya visi, integritas untuk membangun cita-cita polisi yang didambakan oleh masyarakat. Kalau enggak punya komitmen kuat, mana mungkin jadi kapolri?” katanya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (29/4).
Ali melanjutkan, reformasi Polri sudah berjalan baik, terutama di bidang regulasi. Dicontohkannya dengan banyak peraturan internal, termasuk menyangkut kode etik, yang mencoba membangun integritas kepolisian.
“Yang belum ada perbaikan atau reformasi di sektor kultur, attitude. Seharusnya dimulai dari sejak dini, sektor pendidikan. Ini momennya bersih-bersih,” ucap akademisi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya itu.
Komitmen kuat memperbaiki citra Polri tersebut diikuti jajaran di bawahnya. Dengan demikian, setiap ada anggota yang terbukti melakukan kesalahan dapat langsung ditangani sesuai prosedur tanpa menunggu atensi Polri.
“Jangan kemudian ketika sudah viral, baru ada atensi dari Kapolri. Maka, nanti ujung-ujungnya muncul istilah pemolisian netizen,” ucapnya.
“Ini juga perlu diwaspadai dan disadari anggota Polri, era keterbukaan, medsos (media sosial)harus disadari anggota polisi, jadi harus hati-hati. Jadi anggota polisi ada risiko. Kalau Anda jadi pejabat negara, jangan flexing, hedon. Ini yang harus ditanamkan nilai-nilai attitude,” sambungnya.
Kendati demikian, Ali mengingatkan bahwa upaya memperkuat kepolisian tidak bisa hanya dilakukan internal Polri. Namun, perlu diiringi perubahan kultur masyarakat.
“Dalam teori kepolisian, polisi itu adalah cerminan masyarakat. Jadi, polisi itu adalah masyarakat. Masyarakat itu adalah polisi. Saling terikat. Maka, mendorong polisi baik tidak cukup hanya mengandalkan institusi polisi,” tuturnya.
Dirinya lantas mencontohkan dengan sikap sebagian pengusaha yang merasa belum aman menjalankan bisnisnya apabila tidak memberikan setoran kepada polisi.
“Itu fakta yang kerap terjadi di lapangan dan seperti sudah menjadi rahasia umum,” imbuhnya.
Dikutip dari Jawa Pos