Pakar Hukum Nilai Substansi RUU Kesehatan Terlalu Luas dan Tak Terhubung , Kabar Indonesia
Rakyatnesia – Pakar Hukum Nilai Substansi RUU Kesehatan Terlalu Luas dan Tak Terhubung Pencarian perihal Berita Nasional di dunia maya kian banyak dilaksanakan masyarakat Indonesia, padahal hakekatnya Berita ini akan kami bahas di artikel ini.
[quads id=10]
Pada Tulisan Pakar Hukum Nilai Substansi RUU Kesehatan Terlalu Luas dan Tak Terhubung ini kami ada sebagian pembahasan yang akan kalian baca disini, dan juga mempunyai sebagian cara penjelasan lain yang bakal membikin kalian terkaget mengamati atau membacanya. Jika anda suka dengan info ini, maka bagikan dengan orang terdekat atau di media sosial kesayangan anda.
[quads id=10]
Rakyatnesia.com – Pakar hukum menilai RUU Kesehatan yang sedang digodok pemerintah bersama DPR RI memiliki substansi yang terlalu luas dan berpotensi tumpang tindih. Imbasnya, RUU ini dinilai akan memiliki banyak peraturan pelaksana yang kontraproduktif dengan tujuan pemerintah, yakni penyenderhanaan regulasi agar perekonomian bisa semakin lincah.
Pakar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Fitriani Ahlan Sjarif menjelaskan masifnya substansi yang diatur dalam RUU Kesehatan merupakan konsekuensi dari metode omnibus law yang dipilih. Sayangnya, pemerintah juga dinilai alpa dalam melakukan uji keterhubungan antar substansi.
“Awalnya mau buat Undang-Undang Kesehatan, mencakup soal pelayanan kesehatan. Namun terpikirkan juga soal sistem jaminan kesehatan,” ungkapnya yang juga merupakan Direktur Center for Legislative Drafting (ICLD) ini.
Fitri melanjutkan, pembahasan mengenai RUU Kesehatan ini juga ditarik kepada tentang pengaturan sistem jaminan ketenagakerjaan yang sebenarnya bukan wilayah dari penyelenggaraan kesehatan atau rezim kesehatan.
“Secara umum sebenarnya tidak begitu nyambung dengan RUU Kesehatan ini,” ujarnya.
Ia menekankan akibat substansi yang terlalu luas tersebut, RUU Kesehatan dapat memicu tumpang tindih regulasi, tarik ulur kewenangan, hingga dikhawatirkan akan membingungkan publik. “RUU Kesehatan ini justru akan mendelegasikan banyak peraturan pelaksana. Jadi, tujuan pengurangan peraturan yang digadang-gadang itu malah tidak tercapai. Ini tentu berpotensi membingungkan,” sambungnya.
Oleh karenanya, pemerintah juga diminta untuk membuka ruang partisipasi publik yang dapat memberikan jawaban atas berbagai saran yang disampaikan oleh masyarakat.
Fitri mengatakan RUU Kesehatan ini juga kontraproduktif dengan semangat pemerintah yang selama ini konsisten mengurangi regulasi-regulasi yang tumpang tindih. Padahal, semangat Undang-undang Omnibus Law semestinya adalah penyederhanaan jumlah regulasi tanpa mengurangi esensi atas hal-hal yang terkandung di dalamnya.
Selain cakupannya yang luas dan menyeberang keluar dari rezim kesehatan, potensi tumpang tindih lainnya dalam RUU Kesehatan juga tercermin dari pasal zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika.
Narkotika maupun tembakau sudah diatur melalui regulasi yang berbeda. Bahkan, saat ini DPR telah memasukkan RUU Narkotika sebagai revisi dari Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020–2024.
Terbaru, RUU Narkotika tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 dan penanggung jawab pembahasannya adalah Komisi I DPR. Sedangkan, RUU Kesehatan penanggung jawabnya adalah Komisi IX DPR.
Dikutip dari Jawa Pos