Pakar Psikologi Forensik Sebut Pelaku Aborsi Layak Dijatuhi Hukuman Mati , Kabar Indonesia
Rakyatnesia – Pakar Psikologi Forensik Sebut Pelaku Aborsi Layak Dijatuhi Hukuman Mati Pencarian perihal Berita Nasional di dunia maya kian banyak dilaksanakan masyarakat Indonesia, padahal hakekatnya Berita ini akan kami bahas di artikel ini.
[quads id=10]
Pada artikel Pakar Psikologi Forensik Sebut Pelaku Aborsi Layak Dijatuhi Hukuman Mati ini kami ada sebagian pembahasan yang akan kalian baca disini, dan juga mempunyai sebagian cara penjelasan lain yang bakal membikin kalian terkaget memandang atau membacanya. Jika anda suka dengan berita ini, maka bagikan dengan orang terdekat atau di media sosial kesayangan anda.
[quads id=10]
Rakyatnesia.com–Di Bali, polisi membongkar dokter gigi gadungan yang melakukan praktik aborsi terhadap ribuan janin. Menyusul, di Jakarta Timur, praktik jahat serupa dibongkar polres setempat.
Konsultan Lentera Anak Foundation Reza Indragiri Amriel mengatakan, kasus aborsi tersebut sekaligus memperlihatkan wajah diskriminatif hukum positif di Indonesia. Ketika anak yang telah dilahirkan dijadikan sebagai sasaran kekerasan sehingga meninggal dunia, pelaku diancam pidana maksimal 15 tahun. Tapi terhadap anak yang dibunuh sebelum dilahirkan(aborsi), hukuman maksimal bagi pelaku cuma 10 tahun.
”Ini seolah anak yang belum dilahirkan punya kasta lebih rendah. Padahal, dipastikan tidak ada satu pasal pun dalam UU Perlindungan Anak yang membeda-bedakan Rakyatnesia anak yang belum dan anak yang sudah dilahirkan,” papar Reza.
Baca Juga: Soal Vonis Teddy Minahasa, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel Bilang Begini
Selain itu, lanjut dia, ketika predator seksual memangsa beberapa anak, si pelaku bisa dijatuhi hukuman seumur hidup atau pun hukuman mati. Tapi pelaku yang mengaborsi banyak anak, hukumannya tetap maksimal 10 tahun.
Menurut dia, sudah saatnya polisi melakukan terobosan hukum.
”Pelaku aborsi tidak mungkin berpikir sekonyong-konyong ingin mengaborsi. Proses berpikir mereka pasti seperti pelaku kejahatan berencana. Targetnya sudah ditentukan, insentif atau manfaatnya sudah ditimbang-timbang, sumber dayanya sudah dipilih, dan risikonya pun sudah diantisipasi,” tutur Reza.
Baca Juga: Pakar Psikologi Forensik Harapkan Pengadilan Beri Putusan Berlandaskan Pembuktian Bukan Pengakuan
Jadi, lanjut Reza, apa susahnya bagi polisi untuk men-juncto-kan pasal aborsi dengan pasal pembunuhan berencana.
”Ini kan pembunuh berseri berencana! Toh pada kasus pembunuhan anak yang notabene sudah dilahirkan, polisi juga sudah pernah menggandengkannya dengan pasal pembunuhan berencana,” sebut Reza.
Dengan konstruksi hukum sedemikian rupa, Reza menegaskan, pelaku aborsi layak dijatuhi hukuman mati. Polisi pasti pontang-panting mengatasi praktik-praktik aborsi ilegal. Karena itu, hulunya juga harus dikelola maksimal.
Baca Juga: Pakar Psikologi Forensik Minta Lembaga Penegak Hukum Lakukan Risk Assessment untuk Cegah Residivisme
Berdasar data BKKBN pada 2010, 51 persen remaja sudah melakukan seks di luar nikah. Disurvei lagi pada 2022, anak yang sudah melakukan hubungan seks pada usia 11-14 tahun mencapai enam persen. Sedangkan pada usia 15-19 tahun, 74 persen laki-laki dan 59 persen perempuan mengaku sudah pernah melakukan hal tersebut.
Situasi yang semakin parah itu, kata Reza, sayangnya tidak dianggap sebagai persoalan sepanjang dilakukan dalam kemasan seks aman.
Dikutip dari Jawa Pos