Pada artikel Sistem E-Court di Peradilan Masih Ada Celah Merugikan, Ini Saran Praktisi Hukum ini kami ada sebagian pembahasan yang akan kalian baca disini, dan juga mempunyai sebagian cara penjelasan lain yang bakal membikin kalian terkaget memandang atau membacanya. Jika anda suka dengan info ini, maka bagikan dengan orang terdekat atau di media sosial kesayangan anda.
Rakyatnesia.com – Praktisi hukum Clara Viriya menilai hadirnya e-Court dalam sistem peradilan di Indonesia mampu memberikan kemudahan dalam pelaksanaan administrasi peradilan yang terintegrasi dalam satu sistem elektronik. Namun, tak bisa dipungkiri masih ada celah merugikan dari penerapan e-Court.
“Khususnya pencari keadilan yang memiliki keperluan mengajukan upaya hukum banding atas putusan pengadilan tingkat pertama via e-Court,” kata Clara kepada wartawan, Senin (22/5).
Kerugian yang timbul seperti adanya pengajuan banding tidak dapat diterima dengan di putus N.O (niet ontvankelijke verklaard) atau putusan yang menyatakan gugatan cacat formal dengan alasan pendaftaran dilakukan melampaui batas waktu pengajuan banding.
“Padahal, sesuai dengan keterangan, peraturan dan dokumen yang ditunjukkan oleh narasumber, pendaftaran banding via e-Court tersebut dilakukan masih dalam kurun waktu 14 hari kalender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangnya, atau lebih tepatnya di hari terakhir periode 14 hari kalender tersebut,” jelas Clara.
Dia mengungkapkan, setelah dilakukan penelusuran peraturan dan praktik di lapangan, ditemukan fakta yang patut diduga menjadi hulu permasalahan tersebut. Dengan adanya Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 363/KMA/SK/XII/2022 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik (SK e-Court) yang salah satunya memuat frasa; “Pendaftaran perkara secara elektronik yang dilakukan di luar jam yang ditentukan pada angka 13 akan diproses pada hari kerja berikutnya” yang diduga membuat adanya kerugian.
Clara juga menyebut, ditambah dengan fungsi otomatisasi e-Court yang belum matang dan sumber manusia pendukung yang belum siap, patut diduga menjadi kombinasi tidak ideal yang menghambat e-Court untuk mencapai potensi maksimalnya.
“Diproses pada hari kerja berikutnya, tentu tidak sama dengan ‘dianggap didaftarkan pada hari kerja berikutnya’. Keduanya memiliki makna dan konsekuensi hukum yang berbeda. Seharusnya sistem e-Court juga memiliki kemampuan untuk mendiferensiasi Rakyatnesia perkara yang sudah didaftarkan dan sudah diproses dan perkara yang sudah didaftarkan dan belum diproses. Keduanya juga memiliki makna dan konsekuensi hukum berbeda,” jelasnya.
Sumber Daya Manusia pendukung di lembaga peradilan, lanjut Clara, khususnya yang dipercaya untuk mengoperasikan fungsi penyelenggaraan e-Court, juga seharusnya bisa membedakan Rakyatnesia perkara yang didaftarkan dalam kurun waktu sesuai peraturan dengan yang tidak, terlepas kapan perkara tersebut diproses.
“Kolaborasi dari peraturan, sistem, dan sumber daya manusia yang belum cukup baik dalam memenuhi kebutuhan pencari keadilan tersebut merupakan hal yang perlu dibenahi,” imbuhnya.
Karena itu, SK e-Court, perlu diatur dengan tegas mengenai tetap sahnya pendaftaran banding selama dilakukan dalam kurun waktu 14 hari, walaupun diproses pengadilan pengajuan pada hari melampaui 14 hari tersebut.
“Dalam konteks sistem elektronik, fungsi otomatisasi berdasarkan source code sistem e-Court juga perlu dipastikan memilki kemampuan untuk melakukan inventarisasi perkara secara presisi sesuai dengan sifat dan konteksnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, in casu mencatat limitasi waktu administrasi teknis sesuai dengan panduan dalam peraturan perundang-undangan,” jelas Clara.
“Sehingga secara otomatis dapat dipastikan bahwa apabila seseorang masih dapat diterima pendaftaran bandingnya dalam sistem e-court, artinya pendaftaran tersebut masih sesuai dengan koridor limitasi waktu perundang-undangan,” sambungnya.
Dia menegaskan, sumber daya manusia pendukung dan penyelenggara sistem elektronik e-Court juga harus diberikan pelatihan dan pemahaman yang memadai akan hal-hal krusial yang dapat mempengaruhi hak dan kewajiban hukum pencari keadilan, in casu batas waktu pengajuan banding.
“Lebih jauh daripada itu, seharusnya sumber daya manusia pendukung dapat memberikan input dan revisi yang bersifat real time atas kemungkinan ketidaksempurnaan sistem yang ada, sehingga keduanya berkolaborasi secara harmonis dalam menjalankan fungsi e-Court,” jelas Clara.
Hal ini dianggap mendesak untuk diperbaharui dan disempurnakan, mengingat hak untuk mengajukan upaya hukum dan mendapatkan keadilan objektif, menurut Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), merupakan Hak Asasi Manusia.