23 Tahun Perjalanan Titi Anggraini di Dunia Kepemiluan, Sampaikan Gagasan ke DPR, Malah Dikira Magang , Kabar Indonesia
Rakyatnesia – 23 Tahun Perjalanan Titi Anggraini di Dunia Kepemiluan, Sampaikan Gagasan ke DPR, Malah Dikira Magang Pencarian seputar Berita Nasional di dunia maya kian banyak dilaksanakan masyarakat Indonesia, padahal hakekatnya Berita ini akan kami bahas di artikel ini.
[quads id=10]
Pada Tulisan 23 Tahun Perjalanan Titi Anggraini di Dunia Kepemiluan, Sampaikan Gagasan ke DPR, Malah Dikira Magang ini kami ada sebagian pembahasan yang akan kalian baca disini, dan juga mempunyai sebagian cara penjelasan lain yang bakal membikin kalian terkaget memperhatikan atau membacanya. Jika anda suka dengan info ini, maka bagikan dengan orang terdekat atau di media sosial kesayangan anda.
[quads id=10]
Bicara dunia pemilu di Indonesia, sulit untuk tidak mengaitkannya dengan Titi Anggraini. Perempuan asal Sumatera Selatan itu menghabiskan sebagian hidupnya untuk ikut meningkatkan kualitas demokrasi negeri ini.
SELAMA 23 tahun terakhir, Titi banyak mewarnai isu kepemiluan di Indonesia. Mulai menjadi anggota panitia pengawas pemilu hingga memilih jalur masyarakat sipil secara konsisten sampai kini dengan segudang kontribusinya.
Berbagai sumbangsih sudah diberikan sosok berusia 43 tahun itu. Mulai dari ikut merumuskan kebijakan kepemiluan, hingga mengadvokasi isu demokrasi. Pengalaman Titi di dunia pemantau pemilu bahkan sudah merambah ke level internasional. Dia sempat bertugas di sejumlah negara.
Lalu, bagaimana Titi memulai semua ini sebagai seorang aktivis kepemiluan perempuan? Diskursus terkait demokrasi, tata negara, dan pemilu sudah menjadi santapan keseharian Titi sejak di bangku SMA. Waktunya banyak dihabiskan untuk mencerna pemikiran-pemikiran progresif dari sosok seperti Yusril Ihza Mahendra hingga Jimly Asshiddiqie. Dari sana, dia mantap untuk masuk ke Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI).
Baca Juga: Hidup Dari Konten, Kartini Raih Kesuksesan di Ibu Kota
Sejatinya, cita-cita awal Titi adalah menjadi seorang jurnalis. Namun, hidup mengantarkannya pada jalan lain. Salah satu titik krusial yang mengantarkan Titi ke dunia kepemiluan adalah saat terpilih sebagai anggota pengawas pemilu RI untuk Pemilu 1999. Di sana, dia bertemu tokoh-tokoh nasional.
Di situ, dia mendapat pelajaran yang berarti. Bukan hanya soal kepemiluan, melainkan juga terkait perilaku demokratis yang ditunjukkan para senior. Sikap egaliter, menghargai pendapat, serta menghormati perempuan dan yang muda.’’Saya berpikir, kalau itu bisa dirasakan semua orang muda, Indonesia akan maju. Itu titik balik saya berkenalan dengan demokrasi,’’ terangnya. ’’Kenapa nggak jadi hakim, jaksa, atau lainnya? Saya merasa dengan jalur aktivis saya bisa jadi manusia merdeka,’’ imbuhnya.
Lalu, bagaimana tantangan seorang aktivis perempuan? Dia mengaku, menjadi aktivis bagi seorang perempuan cukup menantang. Dari sisi sosial budaya, masih ada stereotip yang menganggap perempuan lebih cocok urusan keluarga.
Baca Juga: Ibu pengajar Kembar, Rossy dan Rian, Pendiri Sekolah Darurat Kartini
Di luar itu, tantangan bagi aktivis perempuan juga tak kalah terjal. Di awal-awal reformasi di mana akses perempuan pada isu politik masih rendah, menyampaikan pikiran tak mudah. ’’Saya beberapa kali datang ke DPR atau instansi pemerintah untuk menyampaikan gagasan, malah dikira mau magang,’’ kenangnya.
Namun, kini Titi bangga karena kesetaraan mulai terlihat. Makin banyak perempuan yang terlibat di berbagai lembaga.
Meski sudah jauh lebih baik, tantangan aktivis perempuan ke depan tetap tidaklah mudah. Namun, Titi percaya berbagai tantangan itu harus disikapi. Tidak lantas menyerah pada keadaan. Sebab, sejatinya menjadi aktivis adalah jalan perjuangan. (far/c12/ris)
Dikutip dari Jawa Pos