Nasional – Penyebab Tsunami Di Anyer, Banten PVMBG Belum Keluarkan Pernyataan Resmi, Penyebab Bencana Tsuanmi di Selata Sunda tepatnya di Pantai Anyer, Banten dan Lampung Selatan ternyata masih belum bisa diketaui. Korban dari bencana tersebut ternyata masih terus bertambah sampai dengan Minggu 23 desember 2018 168 meninggal dunia, 745 luka, dan 30 orang hilang.
Daftar Isi
Kerugian fisik akibat tsunami tersebut, meliputi 430 unit rumah rusak berat, 9 unit hotel rusak berat, 10 kapal rusak berat dan puluhan rusak. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan, data tersebut akan terus bertambah.
Penyebab Tsunami Di Anyer, Banten
“Data korban jiwa dan kerusakan akan bertambah, mengingat belum semua wilayah belum dapat di data,” ujar Sutopo.
Saat ini petugas masih terus melakukan pendataan, baik korban jiwa maupun kerugian.
Daerah yang terdampak adalah permukiman dan kawasan wisata di sepanjang Pantai seperti Pantai Tanjung Lesung, Sumur, Teluk Lada, Penimbang dan Carita.
Baca juga :Â Aa Jimmy Menjadi Korban Tsunami Anyer, Ternyata Masih Ada Sederet Artis Lain Yang Jadi Korban
Sebelumnya, Tsunami yang melanda Banten dan Lampung terjadi pada Sabtu (22/12/2018), sekitar pukul 21.27 WIB.
Faktor penyebab tsunami masih dilakukan penyelidikan oleh BMKG untuk mengetahui secara pasti.
Kemungkinan disebabkan longsor bawah laut akibat erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang pasang akibat bulan purnama.
Dua kombinasi tersebut menyebabkan tsunami yang terjadi tiba-tiba yang menerjang pantai.
BMKG masih berkoordinasi dengan Badan Geologi untuk memastikan faktor penyebabnya.
Tsunami Pantai Anyer dan Lampung Selatan sebelumnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) disebut sebagai gelombang tinggi.
Petugas masih terus berusaha melakukan evakuasi korban tsunami Pantai Anyer.
Petugas masih mendatangi sejumlah desa di kawasan Pantai Pandeglang, mulai dari Tanjung Lesung sampai Sumur di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.
Baca juga :Â Â Bassist Seventeen Jadi Korban Meninggal Tsunami Anyer
“Sampai saat ini tim atau pun masyarakat di sana belum melihat ada letusan besar dari Anak Krakatau,” ucapnya.
Letusan Anak Krakatau, kata Wawan, sudah terjadi sejak 2016 hingga 2018, tepatnya 29 Juni lalu. Letusan pada 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor, peningkatan jumlah gempa hembusan dan low frequency pada 18-19 Juni.
“Jumlah gempa hembusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 Anak Krakatau meletus,” katanya.
Sementara pada 22 Desember, masih terjadi letusan yang bersifat low frequency. “Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap sekitar 300-1.500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm),” beber Wawan.
Dengan melihat data dan fakta tersebut, pihaknya belum bisa memastikan jika tsunami yang terjadi pada malam kemarin diakibatkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau.
“Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu, perlu ada runtuhan besar yang masuk ke dalam laut. Untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeteksi oleh seismograf di pos pengamatan gunung api. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunung api dan tsunami,” ujar Wawan.