Monumen Jarum Jadi Pengingat Peristiwa Mei 1998: Ikhtiar Sederhana Menjahit Luka Bangsa , Kabar Indonesia
Rakyatnesia – Monumen Jarum Jadi Pengingat Peristiwa Mei 1998: Ikhtiar Sederhana Menjahit Luka Bangsa Pencarian perihal Berita Nasional di dunia online kian banyak dijalankan masyarakat Indonesia, sedangkan sebetulnya Berita ini akan kami bahas di artikel ini.
[quads id=10]
Pada artikel Monumen Jarum Jadi Pengingat Peristiwa Mei 1998: Ikhtiar Sederhana Menjahit Luka Bangsa ini kami ada sebagian pembahasan yang akan kalian baca disini, dan juga mempunyai sebagian cara penjelasan lain yang bakal membikin kalian terkaget memperhatikan atau membacanya. Jika anda suka dengan info ini, maka bagikan dengan orang terdekat atau di media sosial kesayangan anda.
[quads id=10]
Peristiwa Mei 1998 adalah sejarah kelam bangsa. Para penyintas dan keluarga korban masih menyimpan duka dan trauma akibat kerusuhan itu. Komunitas korban kebakaran Mal Klender mendirikan Monumen Jarum Mei 1998 di Kampung Jati, Jakarta Timur. Monumen serupa ada di TPU Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, tempat para korban dimakamkan massal.
EKA Budianta merupakan sosok yang terlibat aktif dalam upaya bersama untuk memonumenkan ingatan atas peristiwa yang merenggut lebih dari 400 nyawa itu. Bukan sebagai lambang dendam, melainkan sebagai ikhtiar untuk menjahit luka bangsa. Sekaligus validasi bahwa peristiwa keji itu memang terjadi.
Bersama Kamala Chandrakirana dan Ester Jusuf, Eka menghadirkan Monumen Jarum Mei Klender. Prasasti berwujud benang dan jarum itu terletak di tengah perkampungan padat penduduk di Kelurahan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulo Gadung.
Bagi Eka, peristiwa Mei 1998 lebih dari sekadar tragedi kemanusiaan. Kerusuhan itu merupakan memori personal yang tak ingin dia ulang. Pada 16 Mei 1998, Melani Budianta, istri Eka, turut serta dalam aksi di Senayan. Melani nekat bertolak ke kompleks parlemen untuk membentengi Emil Salim agar tidak ditangkap. Sebagai suami, Eka jelas cemas dan khawatir.
”Saya ketakutan di rumah,” katanya kepada Jawa Pos pada Jumat (19/5) malam.
Pikiran Eka melayang jauh. Dia mendoakan Melani sembari menyaksikan berita tentang lautan massa yang menggugat penguasa sembari meneriakkan perombakan besar bernama reformasi. Sebagai sastrawan yang ikut merasakan transisi Orde Baru ke era reformasi, Eka tahu benar peristiwa Mei 1998 itu menyakiti hati rakyat.
Baca Juga: Rujak Pare Sambal Kecombrang untuk Peringatan Pemerkosaan Mei 1998
Sampai sekarang pun, Eka masih merinding tiap kali mendengar detail peristiwa tersebut dari para penyintas ataupun saksi mata. Kerusuhannya, penjarahannya, pembakarannya, pemukulannya, pemerkosaannya, semuanya terasa pedih bagi Eka. Dia tidak percaya semua pelanggaran hak asasi manusia itu terjadi di negara yang berlandasan Pancasila.
”Itu yang saya kira berat buat kami. Kok bisa orang Indonesia yang punya Pancasila dengan sila kemanusiaan di dalamnya melanggar sendiri,” sesalnya.
JARUM DAN BENANG: Monumen untuk mengenang peristiwa Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. Sejumlah korban kerusuhan dimakamkan di sana. (FEDRIK TARIGAN/JAWA POS)
Dalam upayanya membalut luka dan mengusir trauma, Eka bekerja sama dengan beberapa pihak untuk menghadirkan Monumen Jarum Mei 1998. Dia menyebutnya sebagai ikhtiar sederhana untuk menjahit luka bangsa. ”Bahwasanya bagaimana jarum yang kecil ini bisa menjahit luka bangsa,” tegasnya.
Monumen tersebut sengaja diletakkan di Kampung Jati karena sebagian besar korban kebakaran Mal Klender tadinya bermukim di sana. ”Kita tahu bersama di Klender itu 426 orang meninggal,” tambah Eka.
Monumen Jarum Mei 1998 memang biasa-biasa saja. Bukan berwujud patung besar sebagaimana banyak dijumpai di tengah-tengah kota. Monumen sederhana itu terletak di perkampungan kecil. Kendati demikian, monumen itu adalah lambang semangat para penyintas dan keluarga korban yang tetap berteguh pada pendirian mereka bahwa pelanggaran HAM tersebut harus dipertanggungjawabkan.
KAMPUNG MEI: Monumen Jarum persembahan Eka Budianta tadinya berada di pinggir kali di Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur, ini. (FEDRIK TARIGAN/JAWA POS)
Dikutip dari Jawa Pos