25 Tahun Reformasi, Butuh Pemimpin yang Mampu Merangkai Keberhasilan 7 Presiden Sebelumnya , Kabar Indonesia
Rakyatnesia – 25 Tahun Reformasi, Butuh Pemimpin yang Mampu Merangkai Keberhasilan 7 Presiden Sebelumnya Pencarian seputar Berita Nasional di dunia online kian banyak dilaksanakan masyarakat Indonesia, padahal sebetulnya Berita ini akan kami bahas di artikel ini.
[quads id=10]
Pada artikel 25 Tahun Reformasi, Butuh Pemimpin yang Mampu Merangkai Keberhasilan 7 Presiden Sebelumnya ini kami ada sebagian pembahasan yang akan kalian baca disini, dan juga mempunyai sebagian sistem penjelasan lain yang bakal membikin kalian terkaget mengamati atau membacanya. Jika anda suka dengan berita ini, maka bagikan dengan orang terdekat atau di media sosial kesayangan anda.
[quads id=10]
Rakyatnesia.com – Reformasi telah bergulir seperempat abad. Enam agenda reformasi mulai dari mengadili Soeharto dan kroninya, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, penghapusan dwifungsi ABRI, pemberantasan korupsi hingga penegakan supremasi hukum mulai berjalan. Namun, reformasi dinilai tidak berjalan dengan baik dan justru mengalami regresi.
“10 tahun terakhir agenda reformasi justru mengalami regresi bahkan kemunduran yang sangat tajam. Kalau diurut agenda reformasi, mulai dari penegakan hukum, pemberantasan KKN, praktek penegakan hukum sampai otonomi daerah seperti mengalami pembalikan. Bahkan sekarang korupsi dan nepotisme berjalan lebih buruk, masif, vulgar dan primitif,” kata Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said secara daring dalam Webinar Evaluasi 25 Tahun Reformasi yang digelar Gerakan Bersama Indonesia, Rabu (17/5).
Dari sisi demokratisasi yang merupakan semangat utama reformasi, Sudirman Said menyoroti demokrasi mengalami kemunduran. Menurutnya, demokrasi yang semestinya memberikan kebebasan pada rakyat, dibajak politik uang. Sehingga yang muncul sebagai pemimpin bukan putra-putri terbaik seperti yang dicita-citakan demokrasi.
“Padahal seharusnya demokrasi melahirkan meritokrasi, siapa yang unggul jadi pemimpin. Sekarang yang terpilih yang punya uang, akibatnya vote buying muncul dimana-mana,” kata mantan Menteri ESDM tersebut.
Menurut Sudirman mengutip Nurcholis Madjid, reformasi adalah siklus 20 tahunan dalam putaran sejarah. Maka ketika lebih dari 20 tahun pascareformasi tidak terjadi perubahan yang lebih baik, harus ada babak sejarah baru untuk mengubah situasi bangsa menjadi lebih baik.
Dan peran itu menurutnya harus diambil oleh generasi hari ini, Milenial dan Generasi Z. Sudirman Said menyebut Indonesia butuh kepemimpinan baru agar agenda reformasi terlebih cita-cita kemerdekaan dalam mewujudkan keadilan sosial dapat terwujud.
“Kita butuh pemimpin yang mampu menjadi dirigen, perangkai, perajut yang bisa merangkai keberhasilan 7 presiden sebelumnya. Mampu membangun konsep bagaimana kita menyelesaikan masalah-masalah,” kata Sudirman.
“Untuk itu kita butuh pemimpin dengan kapasitas intelektual yang tinggi, pemimpin yang punya wawasan sejarah masa lalu dan pandangan visioner yang global, tahu dunia sedang bergerak ke mana, sehingga mampu menata ke depan mau ke mana,” lanjutnya.
Ekonom Senior Awalil Rizky menyebut kondisi perekonomian di Indonesia tak membaik secara signifikan dalam 25 tahun terakhir. Hal itu tergambar dari jumlah penduduk miskin yang masih tinggi diikuti ketimpangan ekonomi yang terus meningkat signifikan.
“Selama 3 dekade, terjadi pengurangan kemiskinan hanya 7,65 juta penduduk, masih ada 26 juta penduduk miskin. Kebayang tidak sebuah bangsa membangun ekonominya selama 3 dekade mengurangi penduduk miskin hanya segitu?” ujar Awalil.
Sementara Co-Founder Bersama Indonesia, Taufik Riyadi menyebut upaya pemerintah dalam memperbaiki kondisi perekonomian hanya fokus pada pertumbuhan. Parahnya, upaya tersebut tidak dilakukan secara demokratis dan partisipatif terlihat dari perumusan UU Cipta Kerja.
“Kita memang butuh investasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi kita juga butuh partisipasi publik. RUU-nya kita tidak pernah diajak diskusi dan berdialog, kita dipaksa harus menerima hidangan tersebut, menurut saya ada ketidakadilan di sana,” kata Taufik.
Di era media sosial, menurut Peneliti Ipsos yang juga aktivis 1998, Sukma Widyanti, pemimpin bisa mendengar secara langsung suara rakyat lewat medsos terutama suara generasi Z. Sukma memaparkan data dari Ipsos bahwa mayoritas generasi Z peduli terhadap isu politik, pendidikan, kesehatan dan kesehatan.
“Gen Z adalah kelompok sosial paling penting jika bicara masa depan Indonesia ke depan. Mereka menganggap politik itu penting. Dan isu politik, pendidikan, kesehatan dan lingkungan menjadi isu yang paling banyak dibicarakan Gen Z di media sosial. Maka pemimpin ke depan harus memprioritaskan hal itu, bukan semaunya sendiri,” kata Sukma.
Dikutip dari Jawa Pos