Warung Remang-remang Bulaklo, Masih Marak Dipakai Ajang Esek-esek

Sukisno

Bagikan

Suasana jalan raya dari Padangan ke Ngraho. siang itu panas menyengat. Sesekali, mendung menutup matahari hingga suasana makin “sumuk” hingga membuat tidak nyaman. Jalan rabbat beton yang lebarnya 11 meter itu, terlihat agak sepi dan lengang.

Tanpa terasa perjalanan sudah hampir masuk wilayah Kecamatan Ngraho. Saat melewati banyak warung berderet di utara Pasar Tinggang, di timur jalan, ada sebuah warung es degan dan makanan yang berada di bawah tegakan hutan jati, membuat hati tertarik untukmampir sekedar minum es dan istirahat sebentar.

Perjalanan dari Bojonegoro kota ke Padangan hingga mendekati Ngraho, membuat tenggorokan ini butuh disiram dengan minuman dingin.  Rasanya, sudah tidak tahan jika harus minum menunggu  nyampai Ngraho.

Di sebuah warung semi permanen itu, jika menoleh ke arah selatan atau arah ke Ngraho. Terlihat, sebuah deretan warung tampak berada di sisi timur jalan. Banyak kendaraan truk yang parkir di depannya. Ternyata, warung-warung yang ada itu adalah warung remang-remang atau biasa disbut warung esek-esek.

Berdasarkan penuturan warga sekitar, warung-warung itu bisa dipakai untuk singgah laki-laki iseng untuk menemukan cinta kilat. Di warung itu, terdapat wanita penjaja cinta yang rata-rata usia setengah baya. Kadang-kadang, ada juga yang usianya masih muda. Di situ disediakan kamar yang bisa dipakai melampiaskan hasrat layaknya hubungan suami istri.

Warung-warung yang ada disepanjang jalan yang biasa disebut Bulaklo itu, berada di perbatasan Padangan dengan Ngraho itu, merupakan warung esek-esek yang berkedok warung kopi (warkop). Padahal, di warung yang bangunanya semi permanen itu, rata-rata dihuni 2 hingga 3 wanita penghibur, yang siap kencan alias “bisa tembak di tempat”.

Di warung milik JN (57) misalnya, ada 3 (tiga) wanita yang 2 (dua) betusia dia atas 35 tahun dan ada satu yang usianya masih dibawah 25 tahun. Mereka rata-rata berasal dari luar daerah. Salah seorang dari mereka saat ditanya mengaku berasal dari salah satu desa di wilayah Kabupaten Ngawi.

“Di sini kerja mas. Soalnya kalau kerja begini terlalu dekat dengan rumah ya nggak enak. Jadi kerjanya di Bojonegoro sini. Kebetulan status saya janda dan punya tanggungan anak dan orang tua. Di sini saya kerja ikut jualan kopi,” katanya memelas.

Padahal mereka disitu berprofesi sebagai PSK. Akan tetapi jika bertemu dengan orang yang belum dikenal, mereka mengaku sebagai bakul wedang kopi. Kalau dilihat dari dandanan, pakaian, perhiasan dan android yang dipakai, kelihatanya wanita itu bukanlah wanita miskin.

Bahkan, mereka terlihat sangat menor dan berpenampilan cukup wow. Tapi kenyataanya, dia malah mengaku miskin dan memilih hidup menjadi palayan kopi yang sejatinya mereka adalah pekerja seks komersial (PSK) yang berkedok jualan wedang kopi.

Ini adalah penyakit masyarakat (pekat) yang perlu segera di atasi oleh pihak keamanan baik Polisi, Satpol PP dan semua pihak yang terkait. Beberapa lokalisasi besar seperti Dolly, Kremil, Kalisari, Guyangan dan lainnya sudah ditutup akan tetapi lokalisasi illegal di wilayah perdesaan malah menjamur dan tumbuh subur bak jamur di musim hujan.

Salah seorang warga sekitar YT (41) mengeluhkan adanya praktek prostitusi terselubung yang ada di Jl Raya Padangan – Ngawi itu. Mereka dengan terang-terangan melakukan kegiatan asusila di pinggir jalan raya itu. Yang selalu menjadi tontonan para pengguna jalan itu.

“Walaupun PSKnya berasal dari jauh dan yang laki-laki hidung belang juga orang jauh yang sebagian besar para sopir truk. Tapi, tetap saja warga sekitar merasa risi dan berharap ada tindakan dari aparat penegak hukum karena hal itu sangat mengganggu lingkungan sekitar. Termasuk, bisa menjadi sarana penularan virus HIV/AIDS,” kata YT yang juga tokoh masyarakat setempat menegaskan. **(Kis/Dedi)

Bagikan

Also Read

Tinggalkan komentar