RUU Permusikan, Banyak Musisi Menolak Bahkan Membuat Petisi, Apa yang Mereka Beratkan

moch akbar fitrianto

RUU permusikan
Bagikan

Nasional – RUU Permusikan, Banyak Musisi Menolak Bahkan Membuat Petisi, Apa yang Mereka Beratkan, Penolakan terhadap RUU Permusikan ternyata banyak dilakukan oleh para musisi, dan tidak hanya musisi banyak dari orang rekaman dan para warganet yang menolak RUU permusikan dengan membuat Taggar #TolakRUUPermusikan. Tagar ini pun memancing jutaan netizen lain untuk menyuarakan hal serupa hingga ‘Tolak RUU Permusikan’ menjadi trending di Twitter.

Musisi indie, Danilla Riyadi, menggalang dukungan menolak draf beleid tersebut. Pelantun tembang Lintasan Waktu ini membuat petisi di situs change.org pada Ahad, 3 Februari 2019.”RUU Permusikan: Tidak perlu dan Justru berpotensi merepresi musisi,” tulis Danilla mengawali penggalangan petisi di situs tersebut. Di dalam petisi itu, Danilla yang juga tergabung dalam Koalisi Nasional menolak aturan itu menyebutkan beberapa alasan kenapa draf RUU tersebut harus ditentang. Hingga berita ini ditulis sudah ada 43 ribu orang meneken petisi dari target 50 ribu.

“Kalau ingin musisi sejahtera, sebetulnya sudah ada UU Perlindungan Hak Cipta dan lain sebagainya dari badan yang lebih mampu melindungi. Jadi, untuk apa lagi RUU Permusikan ini,” kata Danilla Riyadi seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta pada Ahad, 3 Februari 2018.

Penolakan RUU Permusikan

Selain itu, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan pun memberikan catatan terkait beleid ini. Salah satunya soal adanya sejumlah pasal karet yang terselip dalam racangan aturan tersebut. Salah satunya ada di Pasal 5. Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca, mengatakan beleid itu memuat kalimat yang multi tafsir.

Di Pasal 5 RUU Permusikan disebutkan, seorang musisi dilarang menciptakan lagu yang menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi. Cholil melihat rancangan pasal ini membuka ruang bagi kelompok penguasa atau siapapun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai.

Selain itu, pasal di dalam RUU Permusikan ini bertolak belakang dengan semangat kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi yang dijamin oleh konstitusi NKRI yaitu UUD 1945. Dalam konteks ini, penyusun RUU telah menabrak logika dasar dan etika konstitusi dalam negara demokrasi.

Berikut ini, beberapa rangkuman dari RUU Permusikan yang menurut kami sangat bermasalah:

1. Pasal karet. Salah satu yang kami soroti adalah isi Pasal 5 yang memuat banyak kalimat multi interpretasi dan bias, seperti: menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi. Pasal karet seperti ini sangat berbahaya dan menjadi pintu masuk bagi sekelompok orang (penguasa, atau siapapun) untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai. Nampak bahwa penyusun RUU Permusikan berusaha untuk menabrakkan logika dasar dan etika konstitusi NKRI sebagai negara demokrasi.

2. Memarjinalisasi musisi independen dan berpihak pada industri besar. Terdapat Pasal yang mewajibkan sertifikasi bagi para pekerja dunia musik Tanah Air (sertifikasi sangat rentan terhadap marjinalisasi; sebagai contoh, musisi yang tidak tersertifikasi akan mengalami beragam kendala ketika memulai karier di kancah musik Tanah Air). Selain itu, kredibilitas tim yang melakukan sertifikasi juga rentan menghadapi beragam polemik. Kondisi sejenis juga terdapat pada Pasal 10 yang mengatur distribusi karya musik melalui ketentuan yang hanya bisa dijalankan oleh industri besar. Pasal ini menegasikan praktek distribusi karya musik yang selama ini dilakukan oleh banyak musisi kecil dan mandiri. Keberpihakan pasal-pasal tersebut lebih mengarah kepada industri musik besar dan memarjinalisasi para pelaku musik skala kecil dan independen.

3. Memaksakan kehendak dan mendiskriminasi. Kembali kepada bagian uji kompetensi dan sertifikasi dalam RUU Permusikan: kewajiban semua musisi (dan pelaku dunia musik) untuk mengikuti ujian kompetensi sebagai syarat sertifikasi, adalah sebuah pemaksaaan kehendak dan metode diskriminasi yang sangat berbahaya. Mengenai sertifikasi pekerja musik, hal ini memang berlangsung dan terdapat di banyak Negara. Namun, tidak ada satupun negara di dunia ini yang mewajibkan semua pelaku musik melakukan uji kompetensi. Semestinya, sertifikasi itu sifatnya adalah “pilihan” atau “opsional”, dan bukan “pemaksaan”.

4. Selanjutnya, mengenai informasi umum dan mengatur hal yang tidak seharusnya diatur. Kami menemukan banyak sekali pasal redaksional yang tidak memiliki kejelasan tentang “apa yang diatur” dan “siapa yang akan mengatur”. Misalnya, Pasal 11 dan Pasal 15 hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktekkan oleh para pelaku musik serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya musik. Pasal-pasal ini tidak memiliki nilai lebih sebagai sebuah pasal dalam peraturan setingkat Undang-undang. Demikian pula halnya dengan Pasal 13 (tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia). Penggunaan label berbahasa Indonesia di kancah musik Tanah Air seharusnya tidak perlu diatur. Musisi, pencipta lagu, pegiat musik, berhak untuk memilih sendiri bahasa yang tepat untuk mengekspresikan apa yang telah mereka buat (berikut rasa tanggungjawab terhadap karya bidang musik yang telah mereka hasilkan).

 

Koalisi Penolakan RUU Permusikan

artis tolak RUU Permusikan Penolakan RUU Permusikan

 

Bagikan

Also Read

Tinggalkan komentar