Desa Wisata Minyak Wonocolo: Merunut Jejak Sejarah Pengeboran Tradisional di Jantung Bojonegoro
Wonocolo, sebuah nama yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, namun bagi mereka yang akrab dengan geografi dan sejarah minyak bumi di Indonesia, Wonocolo adalah sebuah permata tersembunyi. Berlokasi di Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, desa ini bukan sekadar desa biasa. Wonocolo adalah "Texas van Java," sebuah julukan yang menggambarkan kekayaan sumber daya minyaknya serta sejarah panjang pengeboran minyak tradisional yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad. Artikel ini akan membawa kita menelusuri jejak sejarah pengeboran minyak tradisional di Wonocolo, menyelami bagaimana masyarakat setempat hidup berdampingan dengan sumur-sumur tua, dan bagaimana warisan ini kini bertransformasi menjadi sebuah destinasi eduwisata yang unik di jantung Bojonegoro.
I. Latar Belakang Geografis dan Geologis: Mengapa Wonocolo?
Kisah Wonocolo tidak bisa dilepaskan dari kondisi geografis dan geologisnya yang sangat mendukung. Bojonegoro, secara umum, merupakan bagian dari Cekungan Jawa Timur Utara, sebuah area yang dikenal kaya akan potensi hidrokarbon. Secara spesifik, Wonocolo terletak di daerah perbukitan kapur yang merupakan bagian dari antiklinorium Rembang, sebuah struktur geologi yang terbentuk akibat proses tektonik jutaan tahun lalu. Antiklinorium ini menciptakan perangkap-perangkap minyak alami di bawah permukaan tanah.
Batuan-batuan sedimen di bawah Wonocolo, seperti formasi Ngrayong dan Kawengan, merupakan batuan induk dan batuan reservoir yang sangat baik untuk minyak bumi. Lapisan-lapisan batuan ini, yang mengandung pori-pori dan permeabilitas tinggi, memungkinkan minyak dan gas bumi terakumulasi dalam jumlah besar. Keunikan geologis ini menjadikan Wonocolo sebagai salah satu anomali di mana minyak bumi berada cukup dekat dengan permukaan tanah, sehingga memungkinkan metode pengeboran yang relatif sederhana dan tradisional dapat menjangkaunya. Inilah fondasi alami yang melahirkan sejarah panjang pengeboran minyak tradisional di Wonocolo.
II. Awal Mula Penemuan dan Pengeboran: Jejak Kolonial Belanda
Sejarah pengeboran minyak di Wonocolo, seperti banyak wilayah kaya minyak lainnya di Indonesia, berakar pada era kolonial Belanda. Penemuan awal minyak bumi di Wonocolo diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-19, sekitar tahun 1890-an. Pada masa itu, perusahaan minyak Hindia Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), yang kelak menjadi cikal bakal Shell, melakukan eksplorasi ekstensif di berbagai wilayah Nusantara.
Meskipun BPM telah melakukan pengeboran modern di beberapa lokasi, di Wonocolo, sumur-sumur awal yang ditemukan seringkali memiliki kedalaman yang tidak terlalu ekstrem. Masyarakat lokal pun mulai menyadari keberadaan "minyak hitam" yang keluar secara alami dari rembesan tanah atau sumur-sumur dangkal yang digali untuk air. Kisah-kisah turun-temurun menyebutkan bahwa masyarakat seringkali menggunakan minyak ini untuk penerangan atau pengobatan tradisional.
Pada awal abad ke-20, pengeboran sumur secara lebih terstruktur mulai dilakukan oleh BPM, meskipun skala dan teknologinya masih relatif terbatas dibandingkan ladang-ladang besar lainnya. Mereka membangun infrastruktur awal, dan aktivitas pengeboran mulai menarik perhatian pekerja dari luar daerah. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia dan nasionalisasi aset-aset perusahaan asing, pengelolaan ladang minyak ini beralih ke tangan negara, dalam hal ini Pertamina. Pada titik inilah, metode pengeboran tradisional yang kita kenal sekarang mulai berkembang dan menjadi ciri khas Wonocolo.
III. Masa Kejayaan dan Perkembangan Metode Tradisional: Sumur Angguk Warisan Leluhur
Pasca-kemerdekaan, terutama di era 1960-an hingga 1980-an, banyak sumur tua peninggalan Belanda yang terbengkalai atau ditinggalkan. Namun, kebutuhan akan minyak bumi yang terus meningkat dan kondisi ekonomi masyarakat yang terbatas mendorong warga Wonocolo untuk mengembangkan cara mereka sendiri dalam menambang "emas hitam" ini. Inilah yang menjadi cikal bakal metode pengeboran tradisional yang unik dan telah diwariskan secara turun-temurun.
Metode pengeboran di Wonocolo sangat berbeda dengan pengeboran minyak modern yang menggunakan teknologi tinggi dan mesin-mesin raksasa. Di Wonocolo, semuanya serba manual dan mengandalkan kekuatan manusia serta peralatan sederhana. Sumur-sumur ini sering disebut "sumur angguk" karena gerakan naik-turun alat bornya yang menyerupai kepala yang mengangguk.
Proses Pengeboran Tradisional:
- Pembangunan Rig Sederhana: Pekerja membangun sebuah rig sederhana, seringkali terbuat dari kayu jati lokal yang kuat, berbentuk tripod atau menara kecil. Rig ini berfungsi sebagai penopang tali dan katrol.
- Peralatan Bor: Mata bor yang digunakan adalah mata bor pahat (chisel bit) atau mata bor kait (hook bit) yang terbuat dari besi baja. Mata bor ini diikatkan pada tali tambang yang panjang.
- Proses Pengeboran: Pekerja secara manual menarik dan melepaskan tali tambang secara berulang-ulang, membuat mata bor menghantam dasar sumur. Proses ini sangat melelahkan dan membutuhkan koordinasi tim yang baik. Air seringkali ditambahkan ke dalam lubang bor untuk melunakkan batuan dan membantu mengangkat serpihan bor ke permukaan.
- Pengangkatan Minyak: Setelah sumur mencapai lapisan minyak, proses pengangkatan dimulai. Minyak mentah yang bercampur air dan lumpur diangkat menggunakan timba (bucket) khusus yang terbuat dari drum bekas atau pipa besar, yang juga dioperasikan secara manual menggunakan tali dan katrol. Minyak yang terangkat kemudian ditampung dalam drum atau penampungan sementara.
- Pengolahan Awal: Minyak mentah ini kemudian dipisahkan dari air dan sedimen melalui proses pengendapan sederhana di bak-bak penampungan. Setelah itu, minyak yang lebih bersih dijual ke pengepul atau langsung dibawa ke tempat pengolahan mini yang juga dikelola secara tradisional.

Pada puncaknya, Wonocolo memiliki ratusan sumur aktif yang dioperasikan secara tradisional oleh masyarakat. Setiap sumur bisa melibatkan beberapa keluarga atau kelompok pekerja, menciptakan sebuah ekosistem ekonomi yang unik di mana hampir seluruh warga terlibat, baik langsung sebagai penambang maupun sebagai penyedia jasa pendukung, seperti pengangkut minyak, pembuat alat, atau pedagang makanan.
IV. Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Wonocolo: Minyak sebagai Denyut Nadi
Minyak bumi telah menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat Wonocolo selama beberapa generasi. Ekonomi lokal sangat bergantung pada aktivitas pengeboran ini. Sebagian besar kepala keluarga di Wonocolo, baik pria maupun wanita, memiliki keterlibatan langsung atau tidak langsung dalam industri minyak tradisional.
- Pekerja Sumur: Para pria umumnya menjadi pekerja sumur, yang terbagi menjadi beberapa peran: operator bor, penarik tali, pengangkat minyak, dan pengawas. Pekerjaan ini sangat berat dan berisiko tinggi, namun menjanjikan penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarga.
- Pengepul dan Pengolah: Ada pula peran pengepul minyak mentah yang membeli dari sumur-sumur dan menjualnya ke pengolah. Pengolahan awal seringkali dilakukan di "kilang mini" yang juga bersifat tradisional, menghasilkan minyak tanah, solar, atau bensin kualitas rendah yang kemudian dipasarkan ke daerah sekitar.
- Jasa Pendukung: Sektor pendukung juga berkembang pesat. Ada pengrajin yang membuat dan memperbaiki peralatan bor, pedagang makanan dan minuman untuk para pekerja, penyedia jasa angkut minyak menggunakan gerobak atau truk, hingga warung-warung kecil yang melayani kebutuhan sehari-hari.
- Solidaritas Komunitas: Ketergantungan pada minyak juga membentuk solidaritas komunitas yang kuat. Pekerja seringkali bekerja dalam kelompok, saling membantu, dan berbagi risiko serta keuntungan. Sistem bagi hasil atau upah harian menjadi praktik umum.
Namun, ketergantungan ini juga membawa risiko. Harga minyak yang fluktuatif, kondisi sumur yang tidak stabil, serta masalah regulasi membuat pendapatan masyarakat menjadi tidak menentu. Meskipun demikian, semangat juang dan adaptasi masyarakat Wonocolo dalam menghadapi tantangan ini patut diacungi jempol.
V. Tantangan dan Konflik: Antara Tradisi dan Regulasi
Perjalanan sejarah pengeboran minyak tradisional di Wonocolo tidaklah mulus. Berbagai tantangan dan konflik kerap mewarnai aktivitas ini:
- Status Hukum: Salah satu masalah terbesar adalah status hukum aktivitas pengeboran tradisional ini. Secara de jure, ladang minyak Wonocolo berada di bawah pengelolaan Pertamina EP Asset 4 Cepu. Pengeboran yang dilakukan oleh masyarakat tanpa izin resmi seringkali dianggap ilegal. Ini menyebabkan ketegangan antara masyarakat dan aparat penegak hukum, serta antara masyarakat dan Pertamina.
- Keselamatan Kerja: Metode tradisional yang serba manual dan minim standar keselamatan seringkali menyebabkan kecelakaan kerja yang fatal. Kebakaran sumur akibat percikan api, ledakan, longsornya lubang sumur, atau keracunan gas adalah risiko sehari-hari yang mengancam nyawa para pekerja.
- Dampak Lingkungan: Pengolahan dan penanganan minyak mentah yang tidak sesuai standar menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius. Tanah dan air di sekitar sumur seringkali terkontaminasi minyak, lumpur, dan limbah lainnya. Hal ini mengancam ekosistem lokal dan kesehatan masyarakat.
- Fluktuasi Harga Minyak: Harga minyak mentah yang tidak stabil di pasar global maupun lokal sangat memengaruhi pendapatan masyarakat. Ketika harga anjlok, banyak sumur yang terpaksa berhenti beroperasi karena tidak lagi ekonomis.
- Penurunan Produksi: Seiring waktu, produksi dari sumur-sumur tua ini cenderung menurun. Air yang masuk ke dalam sumur atau penumpukan sedimen dapat menghambat aliran minyak, membuat proses penambangan semakin sulit dan kurang produktif.
Pemerintah daerah Bojonegoro dan Pertamina telah berupaya mencari solusi untuk masalah-masalah ini, salah satunya adalah melalui pendekatan kemitraan dan legalisasi sebagian aktivitas masyarakat, serta transformasi menjadi desa wisata.
VI. Transformasi Menjadi Desa Wisata Minyak: Memadukan Sejarah dan Masa Depan
Menyadari potensi unik Wonocolo sebagai warisan sejarah dan budaya, serta untuk mengatasi masalah legalitas, keselamatan, dan lingkungan, pemerintah Kabupaten Bojonegoro bersama Pertamina EP Asset 4 Cepu dan berbagai pihak terkait, memulai inisiatif untuk mengubah Wonocolo menjadi sebuah "Desa Wisata Minyak."
Konsep desa wisata ini bertujuan untuk:
- Melegalkan Sebagian Aktivitas: Memungkinkan masyarakat untuk terus berinteraksi dengan sumur-sumur tua di bawah pengawasan dan regulasi yang lebih baik, terutama untuk tujuan edukasi dan pariwisata.
- Konservasi Sejarah: Melestarikan metode pengeboran tradisional sebagai warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai.
- Diversifikasi Ekonomi: Menciptakan sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat melalui sektor pariwisata, seperti menjadi pemandu wisata, pengelola penginapan, penjual suvenir, atau penyedia kuliner lokal.
- Edukasi dan Kesadaran Lingkungan: Mengedukasi pengunjung tentang sejarah perminyakan, proses pengeboran tradisional, serta pentingnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
- Peningkatan Keselamatan: Mendorong penerapan standar keselamatan yang lebih baik bagi pekerja yang masih beraktivitas di sumur-sumur.
Pada tahun 2017, Wonocolo secara resmi diresmikan sebagai Desa Wisata Minyak oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Sejak saat itu, berbagai fasilitas mulai dibangun atau direnovasi, antara lain:
- Pusat Informasi dan Museum Mini: Menampilkan sejarah, geologi, dan alat-alat pengeboran.
- Tracking Jalur Sumur Tua: Pengunjung dapat melihat langsung aktivitas pengeboran tradisional dan sumur-sumur tua yang tersebar di perbukitan.
- Spot Foto: Pemandangan perbukitan dengan latar belakang rig-rig kayu tradisional menjadi daya tarik tersendiri.
- Area Pembelajaran: Pengunjung bisa belajar langsung tentang proses pemisahan minyak dan air.
- Penginapan dan Warung Lokal: Dikelola oleh masyarakat untuk mendukung pariwisata.
Transformasi ini tidak hanya membuka peluang ekonomi baru tetapi juga memberikan pengakuan atas identitas dan perjuangan masyarakat Wonocolo yang telah berabad-abad hidup berdampingan dengan minyak bumi.
VII. Warisan dan Prospek Masa Depan: Merajut Kisah Wonocolo
Wonocolo adalah sebuah "museum hidup" yang menceritakan kisah panjang perjuangan manusia, adaptasi, dan keberanian dalam menghadapi alam. Lebih dari sekadar ladang minyak, Wonocolo adalah simbol ketahanan masyarakat Bojonegoro dalam menjaga warisan leluhur sekaligus berinovasi untuk masa depan.
Meskipun tantangan masih ada, terutama dalam hal pengelolaan limbah, penegakan hukum yang konsisten, dan peningkatan kualitas pariwisata, prospek masa depan Wonocolo terlihat cerah. Dengan dukungan pemerintah dan kesadaran masyarakat, Wonocolo dapat terus berkembang sebagai destinasi eduwisata unggulan yang tidak hanya menawarkan pengalaman unik, tetapi juga pelajaran berharga tentang sejarah energi, kearifan lokal, dan pentingnya keberlanjutan.
Melalui Desa Wisata Minyak Wonocolo, Bojonegoro tidak hanya memperkenalkan potensi pariwisatanya, tetapi juga merayakan identitasnya yang kaya akan sejarah dan budaya perminyakan tradisional. Ini adalah kisah tentang bagaimana warisan yang mungkin dianggap "kuno" dapat dihidupkan kembali, menjadi daya tarik modern, dan terus memberikan manfaat bagi generasi mendatang di jantung Bojonegoro.