Politik Suyoto, Kuda
Oleh: Agung DePe
“Pilkada itu ibarat kuda sedang menarik pedati,” kata Suyoto kepada sejumlah wartawan, saat menjadi pembicara dalam Rakernas Majelis Pendidikan Kader Muhammadiyah di Yogyakarta (30/4/2016).
“Kalau anda jadi kuda, pertama, anda harus siap dalam pertarungan itu. Kalau anda betul-betul bisa bertarung, anda harus jalani. Itu kalau analogi pertarungan pedati,” imbuh Suyoto penuh percaya diri.
Mengapa tidak memilih menjadi sais atau joki? Saya menjadi ingat Maurizio Sarri yang mengomentari soal kiprahnya sebagai pelatih Napoli. Ia menjadi allenatore baru pada pertengahan Juni 2015.” Tak perlu jadi seekor kuda terlebih dulu agar bisa menjadi seorang joki yang bagus,” ucap Sarri seperti dikutip Football Italia.
Menyambungkaitkan dua analogi, kuda dalam politik dan kuda dalam sepakbola, intinya adalah permainan, bukan sport. Tentu saja ‘harus’ tidak murni. Suatu hari, seorang diktator bernama Mussolini bahkan tak segan-segan mengancam menembak mati pemain ‘kuda’ bolanya jika Italia gagal pada Piala Dunia 1934. Untung saja Italia menang setelah mengalahkan Republik Ceko 2-1, meski banyak pihak yang curiga karena sebelumnya wasit yang memimpin pertandingan, Ivan Eklind bertemu Benito Mussolini. Penguasa Italia ini perlu sepakbola untuk mengukuhkan kekuasaannya di Negara Pizza itu.
Dalam memainkan bola bundar, pemain kadangkala dibenarkan ‘berpolitik’, mempecundangi. Menggocek bola dalam kotak pinalti, mengharapkannya ada yang mentekelnya, lalu terjatuh, hingga lawannya dapat kartu merah dari wasit, tendangan pinalti pun sebagai kadonya, memanipulasi permainan bola dengan memakai taktik diving seperti kerap ditudingkan ke striker Italia, Filipo Inzaghi.
Dalam politik, ada istilah memainkan bola politik, tapi ini tidak identik dengan politik Suyoto. Bupati Bojonegoro ini jauh dari urusan sepakbola, sebab, persatuan sepak bola Bojonegoro (Persibo) pun ‘ditiadakan’ olehnya.
Kalau mau dipaksa-paksakan ke sepakbola, gelinding bola politik Suyoto hanya nyerempet pada tiruan intriknya saja, utopianya saja, atau sisi selebritasnya saja: pencitraan! Seluruh angle berita tentang dirinya didramaturgikan seapik-apiknya. Terlebih lagi, ini berlaku gencar sepanjang dirinya tengah dipoles-poles untuk bakal calon Gubernur DKI.
Memang tepat kalau Suyoto menggunakan istilah politik kuda, semacam pemeo kejantanan. Tidak kurang, dr Boyke seorang pakar seks mengungkapkan, satu posisi seks yang mungkin bisa dipilih untuk menyenangkan hati pasangan, yaitu posisi Cinderella menunggang kuda, atau Female Superior Position. Ini memudahkan perempuan mendapatkan orgasme.
Hanya saja, apakah rakyat Bojonegoro telah sebagai Cinderella menunggangi kuda? Atau malah selama ini rakyat Bojonegoro hanya melihat seorang bupati penunggang kuda bermansturbasi?
Ilustrasi kecil bisa dimulai dari falsafah hidup,”Kejarlah kuda dengan menunggang kuda”. Cerita itu terjadi dalam hidup Mochtar Riady (86) tahun, konglomerat Indonesia yang juga pendiri Lippo Group, yakni semangatnya untuk terus melaju ke depan dengan kencang seperti halnya kuda yang berlari. Dalam buku otobiografinya ‘Manusia Ide’ ia menyampaikan,” Berani berpikir besar dan berusaha untuk menjadi besar”.
Tentu saja ungkapan spirit Mochtar Riady itu tidak ada singgungannya dengan urusan rakyat, ia murni pengusaha. Semangat besarnya hanyalah untuk tujuan keuntungan pribadi. Berbeda dengan semangat dari bupati lalu kepingin melompat derajat menjadi gubernur DKI? Semangat mengangkangi, dari APBD kabupaten Rp 3,6 triliun, ke APBD provinsi Rp 63 triliun?
Semangat ketidakberhasilan, dari serbuan banjir bandang karena rusaknya lingkungan dan kepungan luberan Bengawan Solo yang mengakibatkan hancurnya rumah-rumah penduduk hingga terendamnya seribu hektar lebih tanaman padi tiap tahunnya, dijawab dengan pembangunan gedung pemkab berlantai tujuh dan pengadaan mobil pemadam kebakaran seharga Rp 29 miliar, ke soal banjir akibat tumpukan sampah di Jakarta?
Kembali ke semangat besar politik kuda, saya menjadi ingat kisah Arya Penangsang yang akhirnya gugur karena tidak mampu mengendalikan birahi kuda jantannya. Saat memburu Sutawijaya, kuda tunggangan Bupati Jipang bernama Gagak Rimang berubah tingkah saat melihat kuda betina yang ditunggangi Sutawijaya. Arya Penangsang kewalahan. Dalam keadaan lengah itu, Sutawijaya berhasil menghujamkam tombak Kiai Plered merobek perut Arya Penangsang. Tubuh Arya Jipang itu pun jatuh tersungkur dari kudanya.
Sigmund Freud mendefinisikan libido sebagai energi yang terkandung dalam identifikasi yang berada dalam komponen ketidaksadaran dari psikologi. Ia menunjukkan bahwa dorongan libidinal ini dapat bertentangan dengan perilaku yang beradab.
Carl Gustav Jung mengidentifikasikan libido sebagai pertentangan yang menghasilkan energi psikis yang mengekspresikan diri hanya melalui simbol-simbol energi yang memanifestasikan diri dalam proses kehidupam dan dipersepsi secara subyektif sebagai usaha atau hasrat.
Masih tentang kuda, dalam mitologi Yunani, perang Troya adalah salah satu perang terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Yunani kuno. Pada perang itu, bangsa Akhaia (Yunani) menyerang kota Troya. Setelah berjuang bertahun-tahun dan belum bisa menjebol benteng Troya, pasukan Yunani mulai frustasi. Tetapi kemudian Odisseus mencetuskan ide cemerlang. Pasukan Yunani membangun sebuah kuda kayu raksasa yang diisi oleh beberapa prajurit. Pasukan Yunani kemudian meninggalkan kuda kayu
itu lalu pura-pura pergi menjauhi Troya. Pasukan Troya melihat pasukan Yunani mundur dan mengira mereka telah menyerah. Kuda raksasa itu dianggap sebagai peryataan kekalahan dari Yunani. Orang-orang Troya membawa kuda itu ke dalam kota mereka dan merayakan kemenangan. Pada malam harinya, para prajurit yang bersembunyi di dalam kuda kayu keluar dan membuka gerbang kota Troya sehingga pasukan Yunani bisa masuk. Pasukan Yunani pun meluluhlantakkan kota Troya.
Sekuel kedua epik di atas adalah kisah tentang muslihat kekuasaan. Pemisalan untuk menandai tipuan politik. Arya Penangsang gugur karena birahi kuda jantannya yang dipameri bokong kuda betina musuhnya, dan penyusupan prajurit Yunani pun menjadi metafor simbolik untuk mengenali perilaku politisi dalam mengejar kekuasaan.
Dus, kuda Troya menjadi istilah yang dilekatkan ke dalam demokrasi. Lalu menjadi frasa yang dipakai secara luas untuk menggalikenali siapa saja dan apa saja yang tak kelihatan di latar depan praktik-praktik kebusukan seorang politisi.
Perilaku Kuda Troya dan Kuda Gagak Rimang memang hanya beda dalam soal waktu. Politikus dan pemimpin tidak pernah berubah, mereka tetap saja berwatak purba.
Bupati Suyoto berbirahi politik menunggangi kuda? Rakyat Bojonegoro dihela dengan tali kekang kencang di lehernya, juga dikacamatai kuda? Selalu.
Penulis adalah Kepala Biro Koran Mingguan Optimis Bojonegoro dan Tuban
E-mail:tjap_debumerah@yahoo.co.id