Melihat Bojonegoro Dari Bali
Kami mengenalnya dengan nama Komang, sosok orang bali yang ramah dan murah senyum. Ia seorang pemangku dan anak dari seorang pedanda, sebagai pemangku ia seringkali memimpin upacara keagamaan mulai ngaben hingga sembahyang lainnya. Rambut Komang panjang dan lebih sering dikuncir rapi seperti kebanyakan tokoh agama di Bali.
Bli Komang pernah lima tahun kuliah di Jogja dan interaksi intensif dengan umat lainnya. Satu kostnya banyak yang muslim, seperti kebanyakan anak kost perbedaan agama dicairkan dengan gurauan, sesekali celaan akrab pertemaan. Celaan akrab hanya berlaku bagi teman yang akrab, jika celaan akrab keluar urusannya bisa panjang akan ada demo berjilid-jilid.
Selama pelatihan kami banyak ngobrol diluar materi diskusi kelas. Mulai dari adat, pariwisata, upacara keagamaan, ekonomi, amrozi, makanan dan hal lainnya yang bikin penasaran soal Bali. Bli Komang nyaris bisa menjelaskan semua hal yang kami tanyakan, perkiraan saya sih karena dia seorang pemangku yang berpendidikan sekaligus pekerja pendampingan. Pemangku menjadi sosok penting bagi kehidupan sosial maupun keagamaan masyarakat Bali.
Salah satu yang menarik dari semua obrolan adalah soal pariwisata Bali, selepas bom bali pariwisata bangkit dengan cepat. Arus uang dari pariwisata mengalir kembali dan infonya ada peningkatan wisatawan terutama dari china selepas eropa. Saya membuktikan sendiri, hotel tempat kami menjalani hari-hari pelatihan dipenuhi wisatawan dari china silih berganti, datang dan pergi.
Ini bisa jadi karena mungkin pertumbuhan perekonomian china begitu pesat hingga bikin amerika ketar-ketir. China menjadi kekuatan ekonomi baru dunia dan orang yang banyak duit diantaranya disalurkan untuk halan-halan sambil berbelanja, nglencer ndik tempat wisata karo blonjo.
Bli Komang lalu menjelaskan soal kenapa pariwisata Bali menarik wisatawan. Soal alam Bali yang indah banyak ditemukan juga di Jawa, Sumatra, Irian Jaya, Kalimantan dan lain sebagainya. Hampir sama wisata alam di Bali dengan tempat lainnya, serta wahana-wahana wisata lainnya. Keindahan pantai di Bali misalnya bisa kita temukan di sepanjang pantai utara, Rembang Tuban Lamongan Gresik dan Surabaya. Belum pantai-pantai utara yang ke arah barat beserta bukit, lembah dan gunungnya.
Jika potensi alamnya hampir sama dengan Bali lalu kenapa pariwisatanya berbeda ? Kekuatan pariwisata di Bali terletak pada budaya-nya mulai dari adat istiadat, makanan, kesenian tradisi, nilai bersama, pakaian, bangunan, karya seni, cara hidup, upacara-upacara tradisi dan lain sebagainya. Kalau sudah ngomong budaya bisa macem-macem isinya dan kabarnya sih makna budaya berbeda dengan culture dan tradisi, budaya lebih luas lagi. Tapi untuk memudahkan saja budaya dipahami sebagai culture dan tradisi.
Bali punya kekhasan bangunan, punya tradisi yang kuat, punya kuliner yang macem-macem, punya karya seni yang mentradisi berbalut nilai adat dan agama, punya tradisi musik, punya pakaian khas, punya pecalang, punya pura, punya aroma dupa yang khas, punya industri kaos, punya pusat oleh-oleh yang pathing nelecek, punya industri travel, industri hotel, industri hiburan dan masih banyak lagi. Inilah yang menarik para wisatawan untuk datang ke bali selain keindahan alamnya.
Bojonegoro punya apa ?
Banyak juga sih dan tak perlu meniru plek keteplek dengan Bali karena potensi dan nilainya berbeda. Kekhasan Bojonegoro berbeda dengan Bali, tak perlu bikin KW Bali 1 atau KW berapa. Pariwisata itu industri yang menumbuhkan kreatifitas masing-masing, orang selalu ingin berkunjung ke tempat berbeda.
Bojonegoro tak memiliki pantai tapi punya pantai (gisikan) Bengawan Solo dari Kecamatan Margomulyo hingga Kecamatan Bourno, pantainya Bengawan Solo lebih panjang dibanding Kabupaten lain yang dilintasi Bengawan solo dari hulu hingga hilir.
Bojonegoro tak memiliki gunung tinggi tapi punya bukit-bukit indah di daerah selatan. Bukit-bukit purba yang ribuan tahun lalu pernah aktif mengeluar lahar dan berbagai material letusan dan kini jejaknya masih terlihat jelas batu-batu andesit di daerah selatan. Bahkan ada batu andesit utuh yang besarnya mungkin tak bisa ditemukan di daerah lain, warga lokal menyebutnya Gunung Watu. Saking besarnya dan utuh seperti gunung dengan jejak-jejak kaki hewan purba masih terlihat. Serta puluhan potensi alam lainnya yang belum tersentuh maksimal.
Bojonegoro juga punya tari tradsional hingga kreasi baru, punya wayang tengul, jaranan, ludruk, kuliner khas, punya puluhan festival, punya grebeg, punya pusat agro, punya pusat kerajinan, punya seribuan fosil, punya ratusan pekerja seni, punya hotel berkelas hingga melati dan masih banyak juga seni tradisi yang punah serta lain sebagainya.
Lalu masalahnya apa ?
Dua masalah penting yang bisa diselesaikan segera yakni infrastruktur dan promosi terus-menerus, tiada hari tanpa promosi. Promosi bisa dilakukan dengan berbagai bentuk diantaranya ya festival sebagai sarana juga membentuk brand, menggairahkan penggerak-penggerak dan menambah daftar prestasi-prestasi.
Target Pemda infrastruktur jalan selesai di tahun ketiga, dengan pilihan cor dan hotmix meninggalkan paving yang ndak cocok dengan kondisi tanah Bojonegoro. Paving hanya layak untuk jalan lingkungan saja, tapi infrastruktur tak hanya jalan bisa fasilitas pariwisata dan macem-macemnya. Tentu jika pembiayaan tersebut dibebankan APBD akan menghilangkan konsentrasi “pelayanan” infrastruktur lainnya, solusinya menguatkan inisiatif banyak pihak.
Sebenarnya tidak hanya dua masalah tersebut, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Misalnya mengoneksikan potensi-potensi wisata, sdm, ego sektoral, kreatifitas, kinerja semua pihak dan lain sebagainya. Jika ingin mendata masalah barangkali lebih banyak dibanding kelebihan, masalah akan tetap ada namun berfikir solutif akan menguranginya bahkan menambah kelebihan, bukan berfikir mengoleksi masalah malahan.
Jika infrastruktur jalan selesai di tahun ketiga, apakah semua akan selesai ? Tidak. Lihat tetangga sebelah, infrastruktur jalan mulussss hotmix semua hingga pelosok desa tapi pariwisatanya juga masih di tahap “potensi”. Tetangga kabupaten sebelah PAD dari pariwisata tahun 2017 lalu sekitar 900-an juta tapi tahun 2018 turun tinggal 600-an juta, belum nyampe sak milyar dan Bojonegoro sudah diatas 1 M. Tapi trend pendapatan di sektor ini bisa naik turun, tergantung berbagai hal.
Tapi begini menilai pariwisata tidak hanya dilihat dari PAD saja karena beberapa pariwisata tidak seluruhnya dikelola pemkab dan tak seluruhnya dikarcisin, ada yang dikelola dengan cara kotak amal terutama wisata religi. Ada beberapa wisata yang dikelola juga dikelola desa serta beberapa pihak. Bisa jadi PAD Bojonegoro lebih banyak di sektor pariwisata dibanding kabupaten tetangga, namun bisa jadi juga jumlah kunjungan wisatawan lebih banyak dengan Kabupaten tetangga.
Ada musim-musim tertentu kunjungan pariwisata naik dan ada musim jumlah kunjungan menurun. Trend naik turun tersebut berpengaruh pada pemasukan, konsistensi pengelola merawat tempat wisata, kreatifitas serta bisnis turunan lainnya yang bikin mental bertahan goyang. Disitulah kebuntuan-kebuntuan tersebut membutuhkan jalan keluar. Tak mudah memang tapi inilah kebutuhan riil, kebutuhan memecah kebuntuan dengan jalan inovasi.
Tanpa inovasi gerak akan makin melambat, jika makin melambat tinggal menunggu waktu gulung tikar. Seperti yang terjadi pada beberapa tempat wisata rintisan di Bojonegoro yang mengalami booming luar biasa lalu tenggelam karena berhenti mencari inovasi. Lha inovasi ini biasanya dimunculkan oleh para pekerja kreatif, sistem yang terus merangsang kreatifitas dan terus merefleksi kondisi.
Bali boleh bagus pariwisatanya dan ngangenin bagi banyak orang, tapi Bojonegoro sangat boleh begitu dengan kekhasan yang lain.
Penulis:Â Didik Wahyudi Budayawan Bojonegoro