Mengagamai Indonesia Bercermin ke Majapahit Oleh: Agung DePe
Shiwa-Buddha Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, artinya agama Hindu dan Buddha berbeda tetapi satu, sebab kebenaran tidak pernah mendua. Penggalan kalimat itu diambil dari buku Sutosama karya Mpu Tantular, dan kini tertulis di lambang negara Indonesia, burung Garuda Pancasila.
Kuatnya nilai lokal yang menunjukkan bahwa toleransi sudah menjadi hal yang inheren di masyarakat pada era Majapahit, antara lain tercermin dalam cerita tentang Gagang Aking, pemeluk Shiwa yang asketis, dan Bhubuksa, penganut Budha yang nyentrik. Dua bersaudara yang setiap hari mereka berangkat bersama dari rumah untuk melaksanakan ritual tapa ini menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Bhubuksa senang makan segalanya sehingga tambun. Sementara Gagang Aking berpuasa terus-menerus jadi kurus kering.
Suatu hari, Bhubuksa dan Gagang Aking diuji. Masing-masing diminta mengorbankan nyawanya untuk seekor harimau yang kelaparan. Gagang Aking serta-merta menolak, sementara Bhubuksa rela menjadi santapan harimau yang adalah penjelmaan Bhatara Guru. Keduanya akhirnya masuk nirwana. Namun, jika Bhubuksa dengan duduk di punggung harimau, Gagang Aking dengan berpegangan pada ekornya.
Kisah Gagang Aking dan Bhubuksa ini menjadi relief di beberapa candi Shiwa, yaitu di Candi Surawana dan Candi Tigawangi di Kediri serta di pendopo teras Candi Panataran yang ada di Blitar, Jawa Timur. Bahkan di Klotok, Kediri, pertapaan mereka masih ada di satu area.
Dari kisah rakyat yang cenderung komikal itu, ada beberapa hal yang bisa ditarik. Pertama, wajar bila dalam satu keluarga ada perbedaan keyakinan. Bahkan, perbedaan keyakinan itu ada dalam keluarga kerajaan Majapahit. Rajapatni, salah satu istri Raden Wijaya beragama Buddha, sedangkan cucunya, yaitu Hayam Wuruk, beragama Shiwa.
Kedua, ada kebebasan untuk mengekpresikan tiap kepercayaan yang dianut.
Ketiga, ada kompetisi di bawah permukaan, di mana agama Buddha yang minoritas, sekitar 30 persen, menyindir agama Shiwa yang mayoritas. Namun, sesuai kompetisi dan olok-olok, baik Shiwa maupun Buddha berada dalam harmoni dan keseimbangan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjaganya toleransi beragama pada masa Majapahit. Pertama, nilai-nilai dasar masyarakat yang mengutamakan harmoni membuat penganut agama tidak fanatik. Kedua, agama ditanggapi sebagai nilai yang pararel dengan nilai-nilai lokal yang telah ada.
Ketiga, raja Majapahit piawai mengolah perbedaan ini. Kepentingan negara diletakkan di atas perbedaan yang ada. Walau pun beda agama, Maha Patih Gajah Mada yang Buddha tetap jadi kepercayaan Hayam Wuruk. Dalam pupuh 19 Nagarakretagama disebutkan, Hayam Wuruk menganugerahkan tanah di Dukuh Kasogatan Makadipura untuk Gajah Mada. Kasogatan adalah wilayah bagi umat Buddha.
Mpu Prapanca, penulis Nagarakretagama, juga beragama Buddha. Bahkan, ayahnya adalah seorang pemuka agama Buddha. Tidak mengherankan, dalam Nagarakretagama diceritakan bagaimana Prapanca mengambil rute sendiri untuk mengunjungi candi-candi Buddha. Dalam salah satu bagian, ia menggambarkan bagaimana candi Buddha tidak terurus bangunannya, sementara candi Hindu terlihat mentereng.
Salah satu kecerdasan Hayam Wuruk dalam mengelola perbedaan agama ini, seperti tercantum dalam pupuh 81 Nagarakretagama, dilakukan dengan mengakomodasi perbedaan agama di dalam struktur administrasi kerajaan.
Dalam struktur tata negara Majapahit, ada dua menteri agama, yaitu Dharmadyaksa Kasogatan untuk agama Buddha dan Dharmadyaksa Kasavian untuk agama Hindu. Menteri agama ini juga merangkap sebagi hakim untuk mengatasi konflik.
Hayam Wuruk juga membuat beberapa regulasi terkait interaksi antaragama. Dalam Pupuh 16 Nagarakretagama disebutkan tentang batasan wilayah penyiaran agama. Raja juga memberikan fasilitas bebas pajak terhadap Hindu dan Buddha, seperti dicantumkan di Pupuh 76-78 Nagarakretagama. Majapahit juga membangun candi yang sekaligus memiliki ciri Buddha dan Hindu sehingga bisa dipakai bergantian untuk upacara agama, seperti Candi Jago, Candi Jawi, dan Candi Panataran.
Posisi Majapahit yang merupakan titik simpul perdagangan di Nusantara, juga mendorong kerajaan itu bersifat terbuka dengan mengakomodasi semua bangsa dengan budaya dan agamanya masing-masing.
Keberagaman agama dan budaya yang bisa hidup berdampingan dengan damai ini, memicu kekaguman biarawan Fransiskan, Odoric of Portenau, yang mengunjungi kerajaan itu sekitar tahun 1318. Dalam catatannya, sang biarawan antara lain menulis tentang kuat dan kayanya raja Majapahit yang punya istana disepuh emas.
Penulis adalah wartawan dan aktivis kebudayaan tinggal di Bojonegoro