Meminta Maaf Kepada September. Oleh: Agung DePe
Lalu tentang setengah abad itu? Apa yang terjadi pada Pancasila? Rasanya kita masih harus menjalankan pembebasan tendensi dari sikap sebuah mesin otomat?
Memang itulah ironinya. Sejarah tak semuannya rapi. Dengan ragam kesalahan yang tak habis-habisnya. Sama salahnya dengan mengangggap peristiwa 30 September sebagai bukti ‘KESAKTIAN’ Pancasila? Kita tentu bisa menyebutnya sebagai kemenangan, tetapi ingatan bagi yang sudah menjadi korban pembantaian tak bisa mati. Membayangkan kekerasan sebagai bagian esensial dalam ‘KESAKTIAN’ Pancasila itu:ganjil dan tidak heroik!
Sering terdengar lelucon pahit,seseorang yang setelah ‘KESAKTIAN’ Pancasila itu nasibnya tak jadi lebih baik, bahkan memburuk, bertanya,” Kapan kesaktian Pancasila menolong kemiskinan kami?”. Ritual dan upacara hari Kesaktian Pancasila adalah sebuah ingatan yang dilembagakan. Menyiratkan sebuah keyakinan, sekaligus mematahkan kejadian utuh di tengahnya.
Dan kesalahpahaman pun terjadi.
Itukah yang akan terus ada?
Ketika isu desakan kepada kepala negara mengenai ‘permintaan maaf’ tragedi ’65 meriuhkan ruang publik di tahun 2016 ini, muncul penindihan dalam bentuk pernyataan ketidaksetujuan.
Apa itu artinya kepala negara yang sekarang identik dengan kepala negara yang berkuasa pada 1966, dan sebab itu menanggung segala kesalahan yang sama?
Negara dalam pengertian Hegel, memang sebuah struktur di mana yang universal menemukan wujudnya. Tapi bagi Marx, negara tak pernah bisa jadi wadah bagi siapa saja, kapan saja. Negara selalu bersifat partikular, hanya merupakan alat kekuasaan kelas tertentu di ruang dan waktu tertentu. Bukan sesuatu yang kekal.
Bagi para pemikir setelah Marx, bahkan negara bukan sesuatu yang siap. Ia sebuah proyek untuk menertibkan situasi yang berlipat-lipat ragamnya. Situasi yang dalam kata Alain Badiou, mirip anarki sejati. Dalamnegara sebagai proyek penertiban, unsur dan bagian-bagian diklasifikasikan, dan diberi sebutan, posisi, dan peran. Mungkin ia tampak utuh, tapi dalam tersusunnya sistem itu selalu ada bagian yang tak punya bagian. Dengan itulah sebuah komunitas politik, sebuah negara menjadi sesuatu yang tak stabil dan mengandung sengketa.
Dalam tragedi ’65, kalau bicara soal siapa yang harus meminta maaf maka seharusnya memang negara. Pemerintah adalah perwakilan dari negara itu. Pemerintah bisa datang dan pergi, berkuasa danjatuh, negaranya tidak. Kalau pemerintah yang sekarang atau sebelumnya menolak meminta maaf, negara masih terus berhutang.
Pada titik ketika masa lalu mengelak, seseorang bisa membuat kenyataan di sekitarnya berganti-ganti seperti ketika ia menukar saluran televisi. Satu kemungkinan bertukar ke kemungkinan yang lain. Ia panduan kenyataan antara sesuatu yang utuh dan sesuatu yang kacau.
Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas tafsir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap -dan bersama itu, akan selalu ada ancaman kekacauan dan keambrukan. Dengan demikian penjahat tercerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim dirinya ‘paling tahu’.
Penulis adalah wartawan dan aktivis kebudayaan.