Golput
Golongan putih (Golput) merupakan sebuah sikap politik individual (sekali). Bisa jadi sebagai bentuk ketidak puasan, ketidak mauan, ketidak patuhan, kepada (sebuah) sistem bernama : demokrasi.
Adalah dosen Satya Wacana (Salatiga) Arief Budiman, tercatat sebagai penggagas, pencetus, pemula dari gerakan Golput (di Indonesia).
Nama aslinya Soe Hok Djin, dikenal di zaman Orde Baru sebagai seorang aktivis demonstran Angkatan ’66 –bersama dengan adiknya: Soe Hok Gie. Saat itu, Arief Budiman masih menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Soe Hok Gie sendiri wafat dalam pendakian di Gunung Semeru, 16 Desember 1969, dalam usia 26 tahun. Masih muda, memang. Bukunya berjudul “Catatan Harian Seorang Demonstran” menjadi fenomenal sekali. Berisi catatan peristiwa-peristiwa politik di seputaran cengkeraman rezim (otoriter) Soeharto.
Otoritarianisme ala Soeharto inilah penyulut Arief Budiman, dan kawan-kawannya. Memunculkan, mencetuskan, memulai adanya gerakan Golput. Khususnya pada Pemilu 1971, di mana Golkar sebagai kendaraan politik Soeharto, menjadi momok (yang demikian) mengerikan.
Meski ada 10 Partai yang ikut serta dalam Pemilu, saat itu, namun mesin politik yang dijalankan demikian mencekam, menghantui, membayangi, rakyat pemilih. Rakyat sebagai pemilik suara sah (dalam demokrasi), tidak mampu secara bebas menunai hak-haknya.
Dengan (pemaksaan bersenjata) dilakukanlah penandatanganan monoloyalitas atas kesetiaan (tanpa perlu pertanyaan haram-halal) terhadap Golkar. Itulah senjata ampuhnya Soeharto –yang kemudian berkuasa lebih dari 30 tahun.
Catatan sejarah perpolitikan Indonesia, berserta bayangan-bayangan sedih dari masa lalu, itu. Tentu, tak cukup sepemilu atawa dua pemilu atawa berkali-kali pemilu. Akan dapat terhapuskan, dan, dapat terombak habis.
Meski (kini) zaman telah berganti reformasi. Meski internet telah mampu menjadi pilar ke empat yang berkehendak atas demokrasi. Pola, sistem, methode perihal Golput, telah menjadi kelaziman, sebagai bentuk tanpa aling-aling.
Dikutip dari sebuah laman, Golput itu pun ada (juga dimana-mana). Di Inggris pencoblosnya hanya 66%, artinya yang 44% pemilihnya menjadi Golput. Di Jepang hanya 59,3% yang menggunakan hak suaranya. Di India hanya 58,2% yang mendatangi tempat pemungutan suara. Di Kanada hanya 61% yang bersedia mencoblos. Di Prancis hanya 59,98%. Bahkan, di Amerika Serikat, yang ikut Pemilunya, tak lebih dari 57,50%.
Apakah sebuah pemerintahan bakal tergoyah oleh (adanya) Golput? Oh, tidak. Segala dan semuanya, tetap berjalan biasa-biasa saja.
Apakah sebuah Pemilu menjadi tidak sah, karena Golput? Oh, no. Bahkan, semuanya berjalan lancar jaya, dengan maksimum roda berkecepatan tinggi menggelinding di jalanan mulus. Hingga Irian Jaya.
So, Golput zaman old memang memunculkan sosok gagah berani. Namun, Golput di zaman now, tak lebih dari sebuah etalase kebodohan. Yang muncul atas ketakutan pikiran-pikiran (sendiri), dalam membacai : zamannya.
Termasuk, dalam menangkap pesan-pesan kesemestaan yang tersurat dalam konsep Cakra Manggilingan. Bahwa, alam beserta kesemestaannya, memiliki caranya sendiri, saat mengatur seluruh enerji kehidupan. Nyata.
Arief Budiman kini berumur 77 tahun –lahir 3 Januari 1941. Selama lima tahun terakhir menderita penyakit parkinson (kerusakan otak dan syaraf progresif yang mempengaruhi sistem motorik tubuh, akibat hilangnya sel-sel otak yang memproduksi dopamin).
Ia, Arief Budiman itu, kini, sangat membatasi aktivitasnya. Di rawat penuh tlaten oleh Isteri tercintanya : Leila Chairani Budiman. Di rumahnya yang sejuk di : Salatiga.
Rasanya, ingin kembali berbincang.
Rasanya, ingin menjabat (ulang) semangatnya.
(Arieyoko)