Warga Desa Padang Trucuk, Lakukan Panen Padi Sisa Banjir Luapan Bengawan Solo
BOJONEGORO (Rakyat Independen)- Banjir luapan Bengawan Solo di wilayah Kabupaten Bojonegoro telah berlalu. Seiring dengan turunnya debit air dan TMA (Tinggi muka Air) Bengawan Solo yang sudah berada di bawah angka waspada. Namun, bagi warga Desa Padang, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, rasanya banjir itu belum juga usai. Pasalnya, mereka masih merasakan, bagaimana banjir membuat tanaman padi miliknya ludes alias gagal panen.
Kini, warga di Desa Padang yang berada di timur Bendung Gerak itu, masih merasakan trauma banjir. Pasalnya, saat ini mereka masih memanen padi sisa banjir. Dimana, pada saat banjir, padi batu mulai berbuah (brobot, Jawa red) sehingga belum bisa dipanen lebih awal. Setelah habis genangan banjir, padi milik warga banyak yang mati dan gagal panen. Akan tetapi ada pula, padi yang bisa dipanen akan tetapi kondisi buah padinya ada yang busuk dan sebagian ada yang masih bagus tapi baunya tak sedap.
Kondisi itu membuat warga enggan memanen padinya. Sebab antara biaya memanen dengan hasil yang diperoleh tak sebanding. Bisa-bisa hasil padi yang diperoleh habis dipakai untuk biaya memanen padi alias biaya ‘ngedos’nya.
Kondisi tersebut yang membuat petani Desa Padang Muhammad Jaelani, saat panen padi sisa banjir diserahkan kepada Suhud (55) dan teman-temanya, untuk memanen padi miliknya. Panen sisa banjir itu, diserahkan pada Suhud dengan satu team ada 8 (delapan) orang untuk ‘ngedos’ padi di sawah milik Muhammad Jaelani yang sehari-hari menjabat Sekdes Padang, Kecamatan Trucuk itu.
Suhud dan kawan-kawan memanen padi sisa banjir milik Muhammad Jaelani dengan cara fifty-fifty atau 50 persen untuk pemilik sawah dan 50 persen untuk yang bekerja ‘ngedos’ untuk memanen padi tersebut.
“Bagi hasil kami sampai 50 persen karena tingkat kesulitanya cukup tinggi. Hingga pada masa penen ini sawah Pak Carik – panggilan akrab Muhammad Jaelani – masih digenangi air sisa banjir yang ngendon di sawah yang hendak dipanen itu. Bahkan, saat mengambil padi itu harus memakai rakit yang terbuat dari batang pisang (gedebok, Jawa red), termasuk mengusung padi dari sawah ke jalan, juga harus melewati genangan air yang cukup dalam sehingga sangat melelahkan,” tegas Suhud, Sabtu (17/12/2016).
Masih menurut Suhud, panen sisa banjir gabahnya tidak laku dijual karena baunya yang kurang sedap. Jadi, hasil gabahnya dipakai sendiri alias tak dijual. Hal itu, yang membuat keputusan pemilik sawah menyerahkan panen kepada mereka yang mau bekerja memanen dengan pembagian separonya. Bahkan, ada yang pemilik sawah hanya dapat sepertiganya dari hasil panen padi tersebut.
“Yang panen sisa banjir kayak gini, bukan hanya Pak Carik saja, tapi banyak juga warga sini (Desa Padang) yang panen padi sisa banjir. Mau dipanen gabahnya tak laku dijual tapi kalau gak dipanen ya eman. Kalau pun laku harganya cukup murah mas,” ungkapnya.
Berdasarkan data yang ada di BPBD Kabupaten Bojonegoro, banjir di akhir Nopember hingga awal Desember 2016 tersebut, menggenangi 46 desa di 10 Kecamatan. Akibatnya 2.606 rumah terendam, 95 hektar sawah, 1.516 hektar padi, 74 hektar polowijo dan 22 hektar pekarangan.
Selain itu air juga menggenangi jalan desa sekitar 10.900 meter dan jalan lingkungan 50 meter. Akibat bencana tersebut dihitung kerugian sekitar Rp 4,2 miliar berada di 10 kecamatan diantaranya Bojonegoro, Kalitidu, Kapas, Padangan, Trucuk, malo, Balen, Sumberejo dan Baureno. **(Kis/Red).