Kebudayaan Ndesa

Sukisno

Bagikan

Banyak teori dikdatik yang mengurai dan menjelaskan, tentang : ‘kebudayaan’. Bermacam buku, kitab hingga blog-blog di medsos, menguraikannya. Salah satu nukilan terpenting ‘kebudayaan adalah perilaku manusia (dan zaman) dalam satu dekade waktu (yang) tertentu’.

Dalam sebuah buku perihal sejarah bumi, ada yang menulis bahwa umur bumi (ini) sudah 4 milyar tahun. Ada pula yang menyebut, umur bumi lebih dari 5 milyar tahun. Lalu, umur kita (manusia), saat ini rata-rata 70-80 tahun.

Artinya, tak mungkin kita (manusia) mampu membaca (dan menegerti, memahami) seluruh kebudayaan-kebudayaan yang telah ada (dan berkembang) di bumi (ini). Wong memahami budaya desa sendiri, atawa bahkan desa tetangga (saja), kita kerap keteteran bukan?

Zaman global adalah zaman perang kebudayaan. Kebudayaan satu dan lainnya saling bertabrakan, saling bersilangan bahkan saling memangsa. Teknologi memudahkan arus kebudayaan (yang lain, yang aneh, yang tak terpikirkan), demikian gampang kita lihat, tonton dan nikmati.

Pada posisi zaman global kini, adalah sebuah kecelakaan kebudayaan, jika kita hanya menjadi pengekor semata. Sekadar mencontek, sekadar mengamini, bahwa itu benar dan salah.

Musti diakui, penggelontoran (dan berkat) alokasi dana desa, saban desa sak nGindonesia semua sugih duwit. Mau bangun apa, tergantung kepintaran plus kreatifnya perangkat desa masing-masing. Uang ada, tinggal manusianya. Kurang piye ?

Tujuan program untuk menjungkit kegairahan ekonomi desa, tentu, sangat tergantung pemdes masing-masing. Nek, pemdes-nya memble, ya smua jadi dlongap-dlongop doank. Dan, itu salahnya sendiri. Toh duwik sudah digelontorkan (untuk pembangunan).

Dan, jangan dilupa, bahwa mendongkrak roda ekonomi di ndesa-ndesa tersebut. Sekaligus (juga) mendorong terjaga dan terciptanya : budaya ndesa bersangkutan.

Kini, di banyak ndesa-ndesa, telah bergerak lokomotip kebudayaan (lokalnya). Entah karnaval, entah festival, entah pameran, dst-nya. Inilah (juga) strategi membentengi rakyat desa, dari paham-paham agama (yang) keblinger : itu.

Pelan perlahan, mulai tumbuh kesadaran ulang dalam masyarakat ndesa, bahwa kita tak sekadar “nguri-uri” (mempertahan) semata, melainkan budaya local itu wajib untuk diperjuangkan. Jangan sampai dikalahkan, dijajah, digembuki, oleh budaya-budaya manca.

Lantas bagaimana dan apa peran pemerintah kabupaten, selaku stake holder di daerah. Sementara pusat telah menggelontorkan program, yang baru pertamakali selama 73 tahun merdeka. Tentu, diperlukan inovasi dan kreatifitas tanpa batas. Agar tidak sekadar mengulang-ulang budaya letoy sebelumnya.

Memang diperlukan pemikir-pemikir kebudayaan yang piawai, sehingga tak sekadar meniru budaya melon, budaya paving, budaya sapi, budaya minyak, dan seterusnya, yang fakta konkretnya ngedabrus seluruhnya.

Ambil contoh sederhana, bahwa kudu dibedakan wilayah seni paket dan seni kreatif. Seni paket hanya untuk menjalankan program semata. Sedang seni kreatif lebih mengacu pada (bentuk) kreatifitas anyar. Bukankan, sebuah kerja musti terukur hasilnya, karyanya, garapannya?

Mbakyu Bupati dan Mas’e Wakil Bupati Bojonegoro yang baru, pasti bisa dan mampu menangani soal itu, Sehingga dana desa termanfaatkan optimal di aneka sektor, dan budaya lokal ndesa pun diperjuangkan terbangun lebih subur menyubur. (Ayk)

Bagikan

Also Read

Tinggalkan komentar