Wacana menaikkan harga rokok menjadi 50 ribu terus bergulir. Bahkan sekarang jadi semakin serius karena ditanggapi oleh ketua DPR Ade Komarudin.
Awal cerita rokok 50 ribu ini mencuat karena berita hoax dengan judul “Kebijakan Pemerintah!! Mulai Hari ini Harga Rokok Naik Menjadi Rp.50.000/Bungkus.” Berita bohong tersebut kemudian dibagikan oleh banyak orang, karena judulnya memang sangat bombastis. Beberapa berita malah mencantumkan nama “Jokowi” untuk mendapat efek lebih besar. Mungkin juga supaya para sapi bisa kembali menyalahkan Jokowi.
Sebelum membahas lebih jauh soal rokok 50 ribu, yang perlu saya tekankan di awal adalah, usulan harga rokok menjadi 50 ribu perbungkus hanyalah wacana Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany.
Hasbullah mengungkapkan bahwa dari hasil survey akan terjadi penurunan hingga 72 persen bagi para perokok. Fakta lain menyebutkan bahwa di Negara lain harga rokok ada yang mencapai hingga Rp. 120 rib per bungkus (Singapura).
Berita yang harusnya masih usulan LSM tersebut kemudian diberi judul bahwa pemerintah menaikkan harga rokok menjadi 50 ribu perbungkus. Hoax.
Dari hoax yang terlanjur viral inilah kemudian wartawan serta media menanyakan wacana tersebut ke para pejabat di negeri ini. Media kemudian memuat berita komentar-komentar ketua DPR, Gubernur Jatim, Gubernur Jabar dan Walikota Bandung.
Lucunya, para pejabat yang sepertinya tidak terlalu mengikuti arus media tersebut menanggapi dengan sangat serius. Contoh saja Soekarwo Gubernur Jatim, dia berpendapat bila ingin mengurangi jumlah perokok, caranya bukan menaikkan cukai, namun semua pabrik rokok harus ditutup. “Pabrik rokok di luar negeri juga harus ditutup. Mending begitu,” katanya.
Sementara Dirut PT Gudang Garam juga ikut berkomentar. “Kami yakin pemerintah akan bijak memperhitungkan seberapa besar kenaikan cukai yang ideal,” ucapnya pada saat jumpa pers dalam acara Investor Summit dan Capital Market Expo di Surabaya, Kamis, 18 Agustus 2016.
Rencana kenaikan harga rokok dari Rp 20 ribu menjadi Rp 50 ribu per pak dirasa memberatkan industri. “Saya rasa akan berantakan,” tambahnya.
Sekarang kondisinya seolah-olah usulan kenaikan harga rokok 50 ribu perbungkus tersebut lahir dari pemerintah pusat. Padahal itu hanya kajian LSM dan sama sekali belum dibahas oleh pemerintah. Hasbullah baru akan menyerahkan hasil kajiannya, baru ingin mengusulkan ke Menteri Kesehatan.
Setelah meng-hoax kan harga rokok 50 ribu, kini disusul hoax berikutnya berupa daftar harga rokok. Sekarang juga sedang viral seolah-olah itu sudah harga resmi dan diputuskan. Padahal semuanya hoax.
Upaya Mengganggu Kinerja Jokowi
Saya berpendapat bahwa hoax harga rokok 50 ribu adalah upaya mengganggu kerja pemerintahan Jokowi. Ada yang ingin mencoba buat kegaduhan, dengan harapan kinerja pemerintah tidak maksimal dan 2019 nanti bisa dijadikan amunisi kampanye.
Dari awal saya perhatikan, ada kelompok tertentu yang sangat memfasilitasi upaya membuat berita ini jadi viral. Mereka adalah salah satu partai yang pernah paling lama berkuasa di negara ini. Puluhan tahun. Beringin. Tau kan?
Media pertama yang memuat pernyataan Hasbullah adalah media beringin. Hasil survey dan wacana tersebut menjadi berita seolah-olah usulannya dari pemerintah. Padahal sekali lagi hanya komentar atau pendapat LSM.
Kemudian setelah viral, yang dimintai pendapat soal kenaikan harga rokok adalah politisi beringin. Entah disengaja atau tidak, yang berkomentar soal rokok adalah hanya politisi dari kalangan partai kampret oposisi. Namun untuk mengaburkan, ditambahlah Ridwan Kamil yang posisinya bebas partai.
Berhubung dalam politik tidak ada yang kebetulan, saya meyakini bahwa semua ini memang terstruktur sistematis dan massif. Sekarang yang perlu dicari tahu adalah, siapa donatur Hasbullah untuk melalukan survey soal rokok? Ini sebagai penguat atau konfirmasi bahwa isu rokok 50 ribu memang dibuat oleh beringin.
Hasbullah Thabrany sendiri merupakan orang yang dulu digadang akan menjadi Menteri Kesehatan di kabinet kerja. Namun Presiden Jokowi malah memilih Nila Moelouk yang juga sama-sama orang UI. Apakah ini ada kaitannya dengan rokok? Tidak pasti. Kemungkinannya masih dua, positif negatif. Entah apakah ini cara Hasbullah menunjukkan dirinya lebih berkualitas dibanding Nila, atau Hasbullah merasa ingin membantu Menteri Nila yang merupakan teman sealmamater. Tapi yang pasti, patut dicari tahu siapa donatur Hasbullah, apakah ada hubungannya dengan beringin?
Efek negatif menaikkan harga rokok
Disadari atau tidak, menaikkan harga rokok adalah cara paling efektif bagi kelompok oposisi untuk menyerang pemerintah. Wacana menaikkan harga rokok 50 ribu dibungkus dengan penelitian ilmiah dan tujuan yang sehat. Seolah-olah baik bagi negara ini. Padahal tujuan akhirnya adalah hal-hal buruk.
Di Indonesia, rokok merupakan barang paling banyak dikonsumsi, nyaris sejajar dengan beras dan bensin. Pada 2014 lalu produksi rokok mencapai 360 miliar batang. Penerimaan negara dari sektor bea dan cukai tahun 2013 lalu tercatat Rp 108,45 triliun. Dari jumlah tersebut, cukai hasil tembakau dan rokok masih mendominasi dengan angka mencapai Rp 103,53 triliun.
Industri rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di industri rokok secara langsung dan tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh.
Jika rokok dinaikkan, otomatis permintaan menjadi berkurang. Perusahaan rokok pasti mengurangi pekerja dengan alasan efisiensi. Petani tembakau akan semakin kehilangan lahan pendapatannya. Dan jika ditotal secara keseluruhan termasuk konsumen, mereka yang ikut terdampak rokok jumlahnya mencapai puluhan juta orang.
Bagi konsumen, rokok adalah hiburan paling murah yang bisa mereka dapatkan kapan saja. Mereka dari golongan lintas usia yang level kecanduannya tidak mengenal tua muda. Kalau ‘hiburan’ ini dicabut, maka hampir pasti akan menimbulkan gelombang penolakan yang luar biasa.
Dari kejadian ini saya berpikir, ternyata mudah untuk membuat negara ini berantakan. Naikkan saja rokok menjadi 500 ribu rupiah, dijamin Presidennya lengser.
Tujuan baik tapi berdampak buruk
Dalam setiap hal selalu ada perhitungan baik dan buruk. Kemudian kita lihat mana yang lebih berdampak? Jika dampaknya lebih buruk, sekalipun tujuannya baik, maka tidak boleh dilakukan.
Satu-satunya dampak buruk rokok adalah kesehatan. Selain itu tidak ada. Sementara dampak positifnya adalah hiburan, ekonomi dan sosial budaya. Sekalipun ada yang berkomentar bahwa negara harus menanggung biaya kesehatan yang mahal karena perokok, namun harus diingat bahwa rokok menyumbang pendapatan negara yang sangat besar. Industri rokok juga menyerap tenaga kerja dan membeli produk pertanian.
Kalaupun ada cara efektif untuk mengurangi rokok dan fasilitas umum bebas asap rokok, itu pasti bukan dengan menaikkan harga harganya. Pasti.
Satu-satunya cara efektif mengurangi rokok adalah membatasi ruang gerak perokok di tempat umum. Seperti meningkatkan fasilitas terminal, halte dan bus atau memberikan rambu dilarang merokok di taman dan sebagainya. Sisanya, di rumah atau warung kopi, biarkan rakyat menikmati hiburan dengan harga terjangkau secara tenang dan nyaman.
Prostitusi digusur, alkohol dilarang, masa iya hiburan terakhir bernama rokok mau dilarang juga? Oke lah prostitusi dan alkohol itu dilarang dalam islam, agama mayoritas di Indonesia. Dampak ke kesehatan juga tidak baik. Tapi rokok kan hukumnya tidak pasti haram? Dampak ke kesehatan juga tak semuanya negatif. Malah sebagian orang menjadi stress kalau tidak merokok.
Begitulah kira-kira.
*(Penulis: Alifurrahman, dari Media Online: SEWORD)