Pudji Dewanto: Revitalisasi Kemandirian Desa
“Agenda penanggulangan kemiskinan dan kemandirian desa merupakan dua isu yang paralel. Pemerintah sebagai hulu kebijakan, desa sebagai hulu kemiskinan dan hilir kebijakan,” tandas Pudji Dewanto bernada pelan tapi serius.
Diteruskan oleh Pudji Dewanto, di ranah hulu kebijakan, pemerintah sebenarnya masih sering abai melakukan intervensi terhadap kemiskinan, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Bahkan, pengalaman empirik menunjukkan, intervensi pemerintah terhadap desa dan penanggulangan kemiskinan lebih banyak membuahkan kegagalan. Bukan saja gagal dalam membuat desa menjadi sejahtera, tetapi malah menciptakan peminggiran. Selama beberapa tahun terakhir, penggelontoran anggaran penanggulangan kemiskinan dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah provinsi mengalami peningkatan, tetapi penurunan angka kemiskinan hanya berjalan keong.
Di ranah hilir kebijakan, desa memang merupakan hulu kemiskinan, tetapi sekecil apapun desa juga memiliki aset penghidupan (manusia, sosial, ekonomi) yang bisa menjadi modal emansipasi lokal atau people driven development untuk membangun kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan. Tetapi sayangnya, intervensi dari atas bukan membangkitkan emansipasi lokal itu, melainkan menjadikan desa sebagai obyek penerima manfaat kebijakan pemerintah semata, aset penghidupan lokal mengalami erosi dan emansipasi lokal menjadi tumpul.
Karena itu, menurut Pudji Dewanto, jika dirinya berhasil dipilih sebagai bupati Bojonegoro baru nantinya, agenda penanggulangan kemiskinan dan kemandirian desa harus ditempuh dengan perubahan kebijakan pemerintah dari atas dan gerakan emansipasi lokal dari dalam dan dari bawah. Reformasi kebijakan diperlukan untuk mengubah cara pandang pemerintah yang keliru terhadap desa, sekaligus mengubah strategi intervensi pemerintah terhadap kemiskinan dan desa.
“Dalam sudut pandang lain yang tidak bisa dipisahkan, kerentanan sosial selalu terkait dengan lemahnya kemampuan untuk menghadapi persoalan yang terjadi secara mendadak yang dialami individu atau masyarakat tertentu. Dalam kenyataan, ketahanan sosial masyarakat desa seringkali sangat rapuh ketika menghadapi gempuran dari luar, mulai dari wabah penyakit menular, narkoba, bencana alam dan kekeringan sampai kebijakan pemerintah, proyek pembangunan, teknologi modern, kapitalisme global dan masih banyak lagi,” ulas Pudji Dewanto.
Disambung lagi, bentuk kerentanan sosial yang lain tampak dari gejala degradasi hubungan antar individu dengan kelompok, hubungan antar kelompok, atau dalam bentuk lain, seperti menurunnya nilai-nilai kepemimpinan desa dan disfungsionalisasi kelembagaan lokal.
Kerentanan sosial yang dialami masyarakat desa dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya, sosial-ekonomi maupun sosial-politik. Tergerusnya wujud solidaritas komunal di daerah pedesaan, seperti gotong-royong atau “sambatan”, tanggung-renteng, rembug desa, institusi lokal atau pranata-pranata, kearifan lokal (local wisdom).
Kekerabatan maupun ketetanggaan tidak hanya terwujud dalam acara-acara ritual-mitologis dan keagamaan, seperti slametan dan kenduri, tetapi juga pada tataran survivalnya, misalnya mendirikan institusi lumbung padi sebagai lembaga ketahanan pangan masyarakat setempat. Hukum adat yang berabad-abad lamanya dijalankan oleh masyarakat lokal, menjadi hancur karena pemerintah salah urus. Akibat dari itu semua, masyarakat desa menjadi masyarakat yang anomali, sehingga mengalami disorganisasi karena tidak lagi memiliki pegangan hidup yang jelas.
Seiring berkembangnya peradaban dan pola pikir manusia yang didukung rekayasa teknologi modern dan sistem masifikasi komunikasi kian berdampak pada tatanan sosial di masyarakat pedesaan, termasuk di dalamnya, terjadinya erosi besar-besaran pada modal sosial (social capital).
“Padahal, modal sosial dapat berfungsi sebagai penguat ketahanan sosial, terutama apabila terjadi resiko-resiko yang dapat mengancam keberlangsungan hidup masyarakat,” kata Pudji Dewanto.
Sektor industri pedesaan juga mengalami kegoncangan, akhirnya banyak yang gulung tikar sebagai akibat penetrasi pasar dari barang-barang sejenis yang dihasilkan industri manufaktur. Akibatnya, pengangguran dan kemiskinan di desa bertambah.
Kedudukan lembaga keluarga juga mengalami perubahan, sebagai akibat pengenalan teknologi dan komersialisasi di bidang pertanian.Pengenalan tanaman komersial merubah hubungan kerja kontrak atau sistem upah, ketrampilan dan modal, serta pemisahan antara aktifitas produksi dan konsumsi. Akibat dari itu semua, fungsi keluarga yang semula sebagai satuan proses produksi mengalami kemerosotan, karena tidak lagi menangani proses produksi sendiri. Keluarga berubah menjadi unit konsumsi.
Arus globalisasi yang begitu cepat juga menjadi ancaman bagi kerentanan sosial masyarakat desa. Globalisasi merupakan sebuah fenomena universal yang ditandai dengan perluasan dan integrasi pasar. Dampak sosiologis dari ekspansi pasar adalah perilaku konsumtif masyarakat di berbagai kategori usia, lapisan, dan kelompok. Perilaku konsumtif yang berlebihan dapat memicu munculnya berbagai problem sosial seperti , korupsi, gaya hidup boros, deteriorasi ekologi, dan kriminalitas lain.
Modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan masyarakat. Oleh karena itu, modal sosial dapat menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hal ini berlangsung dalam konteks interaksi sosial yang mewujud dalam bentuk jaringan atau asosiasi informal. Modal sosial juga dapat berfungsi sebagai perekat hubungan sosial antar warga masyarakat (penguat kohesivitas sosial) dan sarana mediasi antar struktur sosial.
Membangun modal sosial merupakan suatu unsur pokok pemberdayaan, dan pemberdayaan pada gilirannya merupakan agenda penting dalam pengurangan kemiskinan maupun sebagai arena untuk menjawab kerentanan sosial yang dihadapi masyarakat desa. Modal sosial ini terletak dalam hubungan sosial yang membuat organisasi masyarakat desa kuat, yang menghubungkan organisasi ini kepada pelaku lain, dan yang membantu perkembangan keterlibatan lebih penuh warga desa ke dalam proses sosial, ekonomi dan politik. Modal sosial yang dimaksud adalah lembaga-lembaga atau organisasi yang hidup dalam masyarakat desa yang berfungsi sebagai institusi mediasi.
Institusi mediasi merupakan lembaga-lembaga sosial yang memiliki posisi diantara wilayah kehidupan individu yang bersifat privat dengan lembaga-lembaga sosial makro yang berhubungan dengan kehidupan publik. Di satu sisi institusi-institusi mediasi memberikan makna privat, sedangkan pada sisi lain memiliki makna publik sehingga merupakan sarana untuk menyampaikan makna dari privat ke publik atau sebaliknya. Posisi strategis yang dimiliki oleh lembaga tersebut cenderung mengurangi alienasi bagi individu dan mengurangi ancaman keberadaan public orders. Apabila institusi-institusi ini dapat diberdayakan, maka kecenderungan pemegang kekuasaan bertindak koersif atau para individu melakukan tindakan anarkis dapat dihindarkan.
Kerentanan sosial yang terjadi di berbagai desa berkecenderungan disebabkan karena ketimpangan struktur sosial yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan internal maupun eksternal masyarakat yang bersangkutan. Untuk mengubah kerentanan sosial menuju keberlangsungan hidup, masyarakat desa harus diberdayakan agar memiliki kesadaran kritis dan percaya diri untuk memperbaiki keadaan hidupnya. Selanjutnya, pemberdayaan perlu ditempuh dengan melibatkan individu maupun kelompok untuk mengakses sumber-sumber pembangunan dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif.
” Dalam konteks pembaharuan desa, penguatan modal sosial merupakan wahana efektif untuk menyelenggarakan perlindungan sosial oleh warga masyarakat secara mandiri sehingga akan terwujud ketahanan sosial yang semakin kuat. Semakin kuatnya ketahanan sosial yang diupayakan atas spirit kemandirian masyarakat desa, maka keberlangsungan hidupnya menjadi keniscayaan,” papar Pudji Dewanto.
Pendek kata, sebagai konsekuensi logis menjadikan ‘Bojonegoro Kesejahteraan’ maka tanggung jawab terhadap kelompok lemah, dan sistem jaminan sosial harus menjadi platform sistem ekonomi dan sistem sosial di Bojonegoro. Untuk mewujudkannya, bupati harus meneguhkan sebagai ‘Kabupaten Makmur’ dengan model kesejahteraan partisipatif (participatory welfare). Model ini menekankan, bahwa pemerintah harus bertanggungjawab dalam penanganan masalah sosial dan penyelengaraan jaminan sosial (sosial security) dalam arti luas dengan melibatkan masyarakat. Artinya pemerintah berkewajiban melakukan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia secara demokratis, beradab dan berkeadilan. Nah!
Bedah Pikiran Pudji Dewanto (bagian dua) disarikan oleh: Agung DePe.