Calon Bupati Ngintir, Metaforikal Rajamala dan Pakubuwana IV. Oleh: Agung DePe
Seorang bupati digambarkan sebagai wenang misesa ing sanagari, artinya memiliki kekuasaan tertinggi di wilayah yang dipimpinnya. Ajaran Hastabrata memberi pedoman, keunggulan seorang pemimpin ideal diukur dengan delapan unsur alam, yakni; bumi, matahari, bulan, samudera, bintang, angin, api, air.
Itu sebabnya, prosesi Ngintir (menghanyut) dengan perahu di Bengawan Solo oleh Arief Januarso, bisa dikatakan dirinya telah menjalankan ritus spiritualitas memahami sifat tirta (air). Air selalu mengalir di kerendahan.”Pemimpin harus memperhatikan kepentingan masyarakat bawah,” kata Arief Januarso.
Tradisi menyusuri aliran Bengawan Solo di masa silam dilakukan oleh Raja Surakarta, Pakubuwana IV, dengan menaiki perahu keramat bernama Rajamala. Perahu ini awalnya dibuat untuk kepentingan pemulangan Permaisuri Dalem Kanjeng Ratu Kencana ke Madura. Tetapi rencana itu diurungkan oleh Pakubuwana IV. Karena penggagalan itu, ia menggantinya dengan hajatan plesiran mengarungi Bengawan Solo dengan perahu Rajamala.
Terjadi keajaiban, setelah berperahu di Bengawan Solo dengan Rajamala, Permaisuri Dalem yang sebelumnya sakit berat mendadak sembuh. Diyakini, kemujaraban kekuatan itu lantaran magis simbol Rajamala yang diletakkan di ujung perahu. Kisah perahu penolak bala ini selanjutnya digunakan untuk mengunjungi daerah yang warganya secara massal terserang penyakit.
Pakubuwana IV terlahir dengan nama Raden Mas Sambadya pada hari Kamis Wage, 2 September, 1768. Tidak seperti ayahnya, Pakubuwana III yang cenderung inferior dan patuh di hadapan VOC. Pakubuwana IV justru menjadi sosok raja yang sangat membenci VOC. Kecerdasan serta kepribadiannya yang religius telah membawanya kepada cita-cita menyatukan kembali Mataram.
Kemasyhuran Rajamala sebenarnya sudah ada dalam kisah tokoh wayang. Raden Rajamala, anak Begawan Palasara dengan Dewi Watari. Rajamala sebagai kesatria di Wirata. Ia sakti mandraguna tidak tertandingi. Suatu ketika ia perang melawan Jagal Abilawa, tidak lain adalah Bratasena, seorang jagoan Pandawa yang menyamar.
Saat terjadi pertarungan, Jagal Abilawa tidak sanggup mengalahkan Rajamala, karena Rajamala memiliki sebuah kolam keramat yang berasal dari penjelmaan ibunya. Kalau Rajamala tewas lalu dimandikan di air kolam itu, ia hidup kembali.
Imaji perubahan dan kekuasaan politik bisa saja datang dari metafor yang tidak heboh, ganjil, tidak heroik. Tetapi perlu membayangkan perfomatik ‘Rajamala Arief Januarso’ yang akan berhasil mengurai problematika kemiskinan di Bojonegoro? Hingga punya titik di depan untuk dituju?
Penulis adalah wartawan dan aktivis kebudayaan.