Jika dilihat secara kasat mata, suasana di Jalur Pohwates – Kedungadem, tepatnya di Dusun Kedungadem, Desa Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa timur itu, terang benderang dan terlihat rumah dan pertokoan yang menyerupai sebuah wilayah perkotaan.
Ibu Kota Kecamatan (IKK) Desa Kedungadem, memang pusatnya ada di seputaran Dusun Kedungadem yang merupakan Dusun Krajan. Dimana, berdasarkan Legenda warga yang berada di wilayah Kecamatan Kedungadem itu, awal mula (cikal bakal, Jawa red) berdirinya wilayah Desa Kedungadem tersebut.
Berawal dari Eyang Singo Dipo, hingga akhirnya berkembang menjadi sebuah wilayah Kecamatan Kedungadem. Semua itu berawal dari Dusun Kedungadem atau yang biasa disebut Krapyak itu.
Di barat Lokasi TPT (Tembok Penahan Tanah) yang ambruk itu, diyakini ada petilasan Eyang Singo Dipo yang merupakan nenek moyang warga Desa Kedungadem. Dulu, ada telaga dengan pohon-pohon besar dan rindang sehingga suasana di situ sangat dingin alias adem sehingga desanya dinamakan Desa Kedungadem yang artinya sebuah kedung yang adem.
Petilsan Eyang Singo Dipo yang dulunya ada sebuah telaga dan pohon-pohon besar itu kini tinggal nampak lahan kosong yang dimanfaatkan sebagai lapangan , yang dipakai untuk lapangan bola voli dan untuk kegiatan kepemudaan lainnya. Padahal, dulu di lokasi situ setiap tahun digelar acara sedekah bumi dengan naggap wayang kulit.
Hanya saja, di era tahun 1998 2 pohon beringin kembar dipotong dan di jual oleh seorang kades yang sedang menjabat kala itu. Percaya atau tidak, usai ditebangnya pohon dan dibersihkannya petilasan Eyang Singo Dipo itu, baik oknum kades, hingga mereka yang memotong pohon-pohon besar itu, hingga yang beli kayunya secara bergantian mereka meninggal dunia.
Setelah lokasi Petilasan Eyang Singo Dipo ditebang dan dibersihkan, acara sedekah bumi dihentikan hingga membuat warga di sekitar lokasi itu banyak yang kesurupan. Namun, seiring berjalannya waktu, lokasi itu kini sudah terang benderang dan lambat laun ghaibnya tak nampak lagi.
Namun demikian, hingga saat ini warga sekitar masih menganggap lokasi itu sangat keramat. Hingga setiap ada kejadian, selalu dihubung-hubungkan dengan misteri Eyang Singo Dipo.
Termasuk, ambruknya TPT yang ada di timur Petilasan Eyang Dipo itu, juga dihubungkan dengan keberadaan tembok penahan tanah itu, setiap dibangun pasti ambrol lagi. Padahal, memang karena dasar TPT itu tergerus aliran air hujan hingga membuat TPT itu ambruk.
“Cerita para sesepuh Krapyak, ada siluman ular yang cukup besar dan panjang. Kepala ular ada di Jembatan yang berada di Dusun Ngaglik, sedangkan ekornya ada di Lokasi TPT Krapyak itu. Sehingga, jika naga itu mengibaskan ekornya maka bangunan di situ pasti ambruk,” ungkap salah seorang perangkat desa Kedungadem, David Kavianto, Jum’at (1/2/2019) siang.
Sedangkan, berdasarkan pandangan ghaib Paranormal terkenal Mbah Jo Jimat menyebutkan, di Lokasi TPT itu, ada seseorang makluk ghaib yang suka menggunakan busana adat Jawa dengan celana hitam dan baju hitam.
Maklhuk ghaib yang ada di area TPT itu, beda dengan Eyang Singo Dipo yang berada di barat lokasi TPT itu, yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Desa Kedungadem itu. Di area situ, merupakan perkampungan makhluk ghaib hanya saja mereka tak mengganggu secara langsung.
Masih menurut paranormal yang tinggal di Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo itu mengatakan, maklhuk ghaib itu dulunya adalah seorang priyayi dari Kerajaan Singosari Kediri dan muksa di lokasi situ. Sehingga, sampai saat ini dia masih tinggal di situ.
“Dia tinggal sejak ratusan tahun yang lalu. Alam memang boleh beda namun dia juga ingin hidup nyaman tanpa diganggu oleh manusia. Sehingga, jika hendak membangun TPT itu harus ada ritual khusus. Tujuanya, permisi untuk menyampaikan izin terhadap penghuni ghaib yang berada di area yang biasa disebut TPT Krapyak itu,” ungkapnya.
Ditambahkan, sebaiknya jika hendak membangun TPT, Jembatan atau jalan di sekitar situ harus melakukan ritual dengan tumpengan. Harus menghadirkan tokoh masyarakat situ yang memiliki indra keenam dan bisa berkomunikasi dengan makhluk ghaib. Dengan harapan, dalam pengerjaan proyek hingga seterusnya bisa lancar tanpa ada gangguan.
“Dalam berdo’a tetap kita tujukan kepada Allah SWT, dengan makhluk ghaib kita hanya dalam taraf bisa hidup berdampingan walau beda alam, dengan cara saling menghargai,” pungkasnya.
**(Tim Mistreri).