Sumpah Pemuda

Sukisno

Bagikan

Cobalah bertanya pada sembarang orang, teman kerja, teman ngrumpi, teman ngupi atawa siswa sekolahan juga boleh, tentang Sumpah Pemuda. Pasti, jawabannya :

Bertanah air satu, tanah air Indonesia
Berbangsa satu, bangsa Indonesia
Berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Baca juga : Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November 1945, Diperingati Hari Pahlawan

Lantas, bukalah mbah Google, lakukan gogling tentang Sumpah Pemuda. Cocokkan jawaban di atas dengan naskah asli teks Sumpah Pemuda. Terbukti, pada teks item ke tiga, bukan “berbahasa satu, Bahasa Indonesia”.

Yang tertulis dalam teks asli Sumpah Pemuda, adalah : “menjujung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”.

So, kesalahan itu sudah menjadi budaya bukan? Bertahun-tahun. Kita lazim menyebut “Berbahasa satu, Bahasa Indonesia”, Dan, kita meyakini kesalahan tersebut (dengan kesadaran dan suka cita) menjadi sebagai sebuah kebenaran.

Tidak penting dari mana awalnya bisa terjadi ‘plesetan’ Sumpah Pemuda itu. Tidak penting (pula), mengapa tidak ada yang berusaha meluruskannya. Sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang jumpalitan tak keruan.

Kesalahan yang teramat fatal di atas, menjadikan logika kita pun njempalik, dalam memaknai Sumpah Pemuda. Khususnya, item yang ke tiga. Yang memiliki tafsir, bahwa bahasa Indonesia adalah segala dan seluruhnya.

Baca juga : Sejarah Singkat Sumpah Pemuda 28 Oktober Bagi Bangsa Indonesia

Lantas, kita menjadi alpa (dan dengan enteng), menafikkan keberadaan Bahasa Asli, Bahasa Ibu, Bahasa Kebudayaan, Bahasa Bumi, Bahasa Leluhur. Lalu, kita lebih suka mengajari anak-anak memakai, menggunakan, Bahasa Indonesia. Mulai bangun tidur sampai berangkat tidur kembali.

Memang telah ada Undang-Undang No 24 Tahun 2009, yang mengatur pemakaian Bahasa Indonesia itu. Yang pelaksanaannya terhitung sejak 9 Juli 2009. Namun, fakta bahwa teks Sumpah Pemuda yang asli, tidaklah menyebut “berbahasa satu, Bahasa Indonesia”.

Kita tak pernah mencoba bertanya, mengapa dalam teks asli Sumpah Pemuda, ditulis “menjujung tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”. Pasti, ada alasan kuat dan utama. Yang berarti (sekaligus) meneguhkan sikap, bahwa Bahasa Indonesia hanya sebagai Bahasa Persatuan.

Ya, Bahasa Indonesia itu posisinya sebagai Bahasa Persatuan. Sebagai alat berkomunikasi pelbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Di mana, masing-masing suku, telah memiliki Bahasa Kebudayaan (Bahasa Etniknya) sendiri.

Dalam zaman global kini yang merupakan zaman perang kebudayaan, maka Bahasa Kebudayaan atawa Bahasa Etnik atawa Bahasa Ibu atawa Bahasa Asli. Memiliki peran kunci yang strategis sekali.

Dalam teori perang global, tak lagi diperlukan bala tentara tiba membawa panser dan melakukan pendudukan atas jajahannya. Cukup (hanya dengan) menghancurkan Bahasa Aslinya, memporakporandakan kebudayaannya, lalu menggantikannya dengan Bahasa baru yang di bawanya. Lalau, menyebarkan kebudayaan baru yang diusungnya. Maka, penjajahan (pun) telah terjadi.

Bahasa (itu) menunjukkan sebuah Bangsa. Pameo ini benar adanya. Indonesia memiliki minimal 746 Bahasa Kebudayaan, Bahasa Ibu, Bahasa Etnik. Apakah itu Bahasa Sunda, Djawa, Madura, Bali, Sasak, Dayak, Batak, Ambon, dan seterusnya.

Bojonegoro memiliki dialek, aksentuatif, sendiri, dalam berkomunikasi, berbahasa, saban harinya. Sebagai ciri serta karakter budayanya. Yang semustinya diperkuat, diperkokoh, diperjuangkan, sebagai kebudayaan lokal : miliknya sendiri.

Sekali lagi, Sumpah Pemuda (hanya) menegaskan bahwa Bahasa Indonesia adalah Bahasa Persatuan. Dan, itu artinya, memberi ruang luas pada seluruh Bahasa-Bahasa Kebudayaan yang telah ada. Agar Bahasa Kebudayaan kita dapat tumbuh subur dan berkembang. Juga, di Bojonegoro. Ini.

(Arieyoko)

Bagikan

Also Read

Tinggalkan komentar