Mut’ah Itu Bikin Muntah Huruf Arab Dan Latin
Jika menyebut agama Syi’ah, pasti tidak akan terpisah dengan yang namanya nikah mut’ah.
Dua hal tersebut adalah kesatuan yang tak terpisahkan tak ubahnya motor dengan bensinnya. Mustahil menjadi syi’i tanpa ada praktik mut’ah (kawin kontrak). Karena mut’ah adalah kail untuk memancing para pemuda agar gabung di syiah.
Dalam tafsir Manhaj Ash Shadiqin 2/489, kitab Syi’ah, seorang imam mereka mengatakan, “Barangsiapa yang keluar dari dunia (wafat) dan dia tidak nikah mut’ah, maka dia datang pada hari kiamat sedangkan kemaluannya terpotong.” Bagi orang Syi’ah tentu ini menjadi ‘dorongan’ untuk berlomba-lomba melakukan mut’ah bila tak ingin datang pada hari kiamat tanpa (maaf) kemaluan.
Ada cerita nyata, seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Irak sedang libur dua hari. Karena tak ada kegiatan berarti ia memanfaatkannya dengan kawin kontrak. Nikah mut’ah dengan seorang perempuan syi’i. Liburan selesai, kawin kontrak pun usai.
Nikah mut’ah sungguh menjijikkan. Mendengarnya saja sudah bikin muntah. Mut’ah tak jauh beda dengan zina. Dan ini dibenarkan oleh Ibnu Umar. Mut’ah sebelas dua belas dengan zina. Sebagai sebuah kemunkaran, pelaku nikah mut’ah harus diancam dengan hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina.
Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW memberi izin untuk nikah mut’ah selama tiga hari lalu beliau mengharamkannya. Lebih lanjut tentang pelaku nikah mut’ah ini, fuqaha dari kalangan shahabat yang agung itu berkata,
“Demi Allah, takkan kutemui seorang pun yang menikah mut’ah?Padahal dia muhshan kecuali saya merajamnya.”
Dampak negatif dari nikah mut’ah
Jika menyebut negatif seakan ada sisi positifnya. Padahal mut’ah cacat sama sekali. Kasusnya sama pada umumnya perzinaan: beredarnya penyakit kelamin seperti spilis, raja singa dan sebangsanya.
Belum lagi, bagaimana kalau perempuan yang dimut’ahi itu hamil? Jelas ini merendahkan perempuan, mengobrak-abrik nasab. Anak yang tak jelas siapa bapaknya. Dan tak jarang seorang bapak yang syiah–tanpa disadari–menikahi anak kandungnya sendiri karena saking tidak tahu keturunannya.
“Nikah kok kontrak, dipikirnya rumah.” kata seorang kawan.
Jika mut’ah dihalalkan dengan segala macam dalih yang dibuat-buat dan alasan yang dikuat-kuat, tetap saja nikah mut’ah itu terkutuk secara nilai kemanusiaan. Sebab tak ada tata sosial masyarakat dalam peradaban manusia yang menghalalkan pelacuran. Kecuali yang berjiwa lacur. Dan tahan muntah terhadap mut’ah. Naudzubillah min dzalik. [Paramuda/ BersamaDakwah]