rakyatnesia.com – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menghadapi kekesalan yang tumpah ruah dari keluarga para sandera saat mereka bertemu.
Pertemuan tersebut, dilaporkan oleh Reuters dan Al Arabiya pada Rabu (6/12/2023), berlangsung pada Selasa (5/12) waktu setempat. Ini terjadi dalam konteks pertempuran yang kembali pecah di Jalur Gaza, Palestina.
Perang kembali berkobar setelah gencatan senjata berlangsung selama tujuh hari. Selama periode tersebut, Hamas membebaskan sejumlah sandera, sementara Israel melepaskan tahanan Palestina sebagai bagian dari kesepakatan.
Saat ini, 138 orang masih diduga disandera oleh Hamas di Jalur Gaza, dan potensi pembebasan mereka masih menjadi harapan yang terbuka.
“Saya mendengar cerita yang membuat saya patah hari, saya mendengar tentang rasa haus dan lapar, tentang kekerasan fisik dan mental,” ucap Netanyahu dalam konferensi pers.
“Saya mendengar dan Anda juga mendengar, soal kekerasan seksual dan kasus pemerkosaan brutal yang tidak pernah terjadi sebelumnya,” sambungnya.
Beberapa kerabat para sandera yang menghadiri pertemuan itu sangat kritis terhadap pemerintah Israel. Salah satunya Dani Miran, yang putranya Omri disandera Hamas sejak 7 Oktober lalu bersama 240 warga Israel dan warga asing lainnya.
Miran mengatakan dirinya merasa kecerdasannya dihina oleh pertemuan tersebut. Dia memilih keluar di tengah-tengah pertemuan.
“Saya tidak akan menjelaskan secara rinci soal apa yang dibahas dalam pertemuan tersebut, namun keseluruhan kinerjanya buruk, menghina, berantakan,” tuturnya kepada televisi lokal Israel, Channel 13.
Miran menuding pemerintah Israel terkesan menjadikan isu penyanderaan ini sebagai ‘lelucon’. Dia mengatakan pemimpin Hamas lah yang memulangkan para sandera, bukan pemerintah Israel.
“Mereka mengatakan ‘kami telah melakukan ini, kami telah melakukan itu’. (Pemimpin Hamas di Gaza, Yahya) Sinwar menjadi orang yang memulangkan orang-orang kita, bukan mereka (pemerintah Israel-red). Saya marah karena mereka mengatakan bahwa mereka memerintahkan hal-hal. Mereka tidak memerintahkan satu langkah pun,” tegasnya.
Pertemuan itu dimaksudkan sebagai forum bagi para sandera yang dibebaskan untuk menceritakan kepada para menteri Israel soal pengalaman mereka selama disandera oleh Hamas. Beberapa mantan sandera dilaporkan menceritakan penganiayaan yang dilakukan Hamas terhadap mereka.
Namun pertemuan itu dibayangi oleh emosi tak terbendung dari keluarga para sandera yang belum dibebaskan. Mereka memiliki kekhawatiran besar atas nasib anggota keluarga mereka yang masih ditahan di Jalur Gaza.
“Itu merupakan pertemuan yang sangat bergejolak, banyak orang berteriak,” ucap Jennifer Master, yang rekannya Andrey menjadi sandera Hamas.
Israel mengatakan sejumlah perempuan dan anak-anak masih disandera oleh Hamas. Keluarga-keluarga yang memiliki kerabat laki-laki dewasa yang masih ditahan di Jalur Gaza juga menyerukan agar kerabat mereka tidak dilupakan.
“Kami semua berusaha memastikan orang-orang yang kami cintai bisa pulang. Ada yang menginginkan perempuan yang masih tertinggal atau anak-anak yang masih tertinggal, dan ada pula yang mengatakan kami menginginkan para laki-laki dibebaskan,” ujar Master saat berbicara kepada televisi lokal Channel 12.
Netanyahu Cetuskan Demiliterisasi di Gaza
Selain urusan sandera, Netanyahu juga mencetuskan Jalur Gaza harus didemiliterisasi setelah perang melawan Hamas berakhir. Netanyahu menekankan hanya militer Israel yang bisa dipercayai melakukan hal tersebut dan bukan pasukan atau badan internasional mana pun.
“Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pasukan internasional tidak efektif dalam demiliterisasi wilayah yang dikuasai pasukan yang memusuhi Israel,” ujar Netanyahu dalam pernyataannya seperti dikutip The Times of Israel dan dilansir Al Arabiya, Rabu (6/12).
Netanyahu menegaskan dirinya tidak akan menerima pengaturan apa pun yang melibatkan pasukan atau badan internasional atas Jalur Gaza. Dia mengatakan harus ada demiliterisasi di Gaza.
“Gaza harus didemiliterisasi. Dan agar Gaza bisa mengalami demiliterisasi, hanya ada satu pasukan yang bisa memastikan demiliterisasi ini — dan pasukan ini adalah Angkatan Bersenjata Israel,” cetusnya.
“Tidak ada pasukan internasional yang bisa bertanggung jawab atas hal ini,” ujar Netanyahu, merujuk pada diskusi internasional mengenai pembentukan pasukan untuk menguasai Jalur Gaza setelah perang antara Israel dan Hamas berakhir.
“Kita telah melihat apa yang terjadi di tempat-tempat lainnya di mana pasukan internasional didatangkan untuk tujuan demiliterisasi,” imbuhnya.
Dalam pernyataan yang dirilis bulan lalu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres memperingatkan bahwa Otoritas Palestina harus bertanggung jawab atas Jalur Gaza, dengan dibantu oleh negara-negara terkait yang bekerja sama.
“Setelah perang — dan ini pendapat saya– saya meyakini pentingnya memperkuat Otoritas Palestina untuk memikul tanggung jawab di Gaza,” cetus Guterres.
“Saya merasa protektorat PBB di Gaza bukanlah sebuah solusi. Saya pikir kita memerlukan pendekatan multi-stakeholder di mana berbagai negara dan entitas akan bekerja sama. Bagi Israel, tentu saja AS (Amerika Serikat) adalah penjamin utama keamanannya. Bagi warga Palestina, negara-negara tetangga dan negara-negara Arab di kawasan ini sangat penting,” sebutnya.
“Jadi semua pihak perlu bersama-sama membuat kondisi transisi, memungkinkan Otoritas Palestina yang lebih kuat, untuk memikul tanggung jawab di Gaza dan kemudian, berdasarkan hal tersebut, untuk akhirnya mengambil langkah… dengan cara yang pasti dan tidak bisa diubah menuju solusi dua negara berdasarkan prinsip-prinsip yang sebagian besar telah ditetapkan oleh komunitas internasional,” ujar Guterres menjabarkan gagasannya.
Perang antara Israel dan Hamas pecah pada 7 Oktober usai Hamas menyerbu wilayah Israel bagian selatan. Para militan Hamas menyeberang perbatasan dan melancarkan serangan bersenjata terhadap warga Israel. Serangan itu disertai oleh rentetan tembakan roket dari Jalur Gaza.
Para pejabat Tel Aviv melaporkan bahwa serangan itu menewaskan 1.200 orang dan membuat lebih dari 240 orang lainnya disandera.
Sementara, kantor media Hamas yang menguasai Jalur Gaza menyebut sedikitnya 16.248 orang tewas akibat rentetan serangan Israel. Jumlah korban tewas itu mencakup 7.112 anak-anak dan 4.885 wanita.
Sekitar 43.616 orang lainnya mengalami luka-luka akibat serangan-serangan Israel. Sementara sedikitnya 7.600 orang lainnya dilaporkan hilang sejak perang berkecamuk di Jalur Gaza pada awal Oktober lalu.