Berita

Peran AS dan Inggris dalam Gagalnya Resolusi Gencatan Senjata di Gaza

rakyatnesia.com – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali mengalami kegagalan dalam mencapai konsensus untuk menghentikan konflik antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza.

Gagalnya resolusi ini disebabkan oleh penentangan dari Amerika Serikat (AS) dan Inggris terhadap rencana resolusi yang mencakup gencatan senjata.

Sebelumnya, sidang Dewan Keamanan PBB juga tidak berhasil mencapai kesepakatan terkait Jalur Gaza, yang termasuk adanya dua veto dari AS. Situasi ini menyoroti tingkat kompleksitas yang ada dalam mencapai kesepakatan mengenai masalah ini yang sangat penting.

Penting untuk dicatat bahwa resolusi Dewan Keamanan PBB berbeda dari resolusi Majelis Umum PBB. Pada akhir Oktober, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi resolusi yang mendesak untuk “gencatan senjata kemanusiaan segera” di Jalur Gaza.

Resolusi ini mendapatkan dukungan mayoritas dengan 122 suara mendukung, 14 suara menolak, dan 55 negara yang abstain. Meskipun mendapatkan dukungan mayoritas negara anggota, resolusi Majelis Umum PBB bersifat non-binding dan hanya mencerminkan pandangan beragam negara-negara di PBB.

Sementara itu, resolusi Dewan Keamanan PBB diketahui bersifat mengikat secara hukum, dan bisa digunakan untuk menuntut Israel agar menerima gencatan senjata atau jeda kemanusiaan di Jalur Gaza.

AS dan Inggris Tolak Rencana Resolusi

Selasa (7/11/2023), Dewan Keamanan PBB menggelar sidang tertutup pada Senin (6/11), waktu setempat. Sidang itu diharapkan bisa menghasilkan resolusi untuk menangani perang dan krisis kemanusiaan di Gaza.

“Belum ada kesepakatan pada saat ini,” tegas Wakil Duta Besar AS untuk PBB, Robert Wood, dalam pernyataannya.

Rancangan resolusi tersebut, sebelumnya disusun oleh kelompok E-10, yang terdiri dari 10 negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Namun, AS dan Inggris yang sama-sama merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dan memiliki hak veto, menentang rancangan resolusi tersebut.

Negara-negara Barat, khususnya AS dan Inggris, menolak isi resolusi yang menyertakan seruan gencatan senjata di Jalur Gaza. Padahal, seruan gencatan senjata telah didukung oleh beberapa anggota Dewan Keamanan PBB lainnya.

AS Ingin Jeda Kemanusiaan

AS, sekutu dekat Israel, lebih mendorong ‘jeda kemanusiaan’ dibandingkan gencatan senjata di Jalur Gaza. Mereka juga belum menentukan berapa lama jeda dalam pertempuran akan diberlakukan.

Wood menyatakan bahwa pembahasan soal jeda kemanusiaan sedang berlangsung. “Dan kami tertarik untuk membahas hal tersebut,” ujarnya.

Namun demikian, lanjut Wood, ada juga perbedaan pendapat dalam Dewan Keamanan PBB mengenai apakah hal itu bisa diterima.

Duta Besar China Jun Zhang, secara terpisah, menyerukan sentimen senada yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres, dengan menekankan bahwa ‘Gaza menjadi kuburan bagi anak-anak’. Dia menyerukan gencatan senjata segera untuk memfasilitasi penyaluran bantuan kemanusiaan.

“Saat kita berbicara saat ini, warga sipil Palestina terus dibunuh. Anak-anaklah yang paling terkena dampaknya, seperti yang telah disampaikan oleh beberapa pejabat AS. Gaza menjadi kuburan bagi anak-anak. Tidak ada yang aman,” tegasnya.

Dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada awal pekan ini, negara-negara anggota mendengarkan penjelasan dari para pejabat kemanusiaan PBB soal situasi keamanan yang mengerikan di daerah kantong Palestina tersebut.

Netanyahu Tolak Gencatan Senjata

Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menolak gencatan senjata tanpa adanya pembebasan sandera yang ditahan Hamas di Jalur Gaza. Namun dia mempertimbangkan ‘jeda taktis’ demi memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan atau pembebasan sandera.

Seperti dilansir Al Arabiya dan Al Jazeera, Selasa (7/11), serangan udara Israel terhadap Jalur Gaza dan operasi darat menargetkan Hamas masih berlanjut. Menurut otoritas kesehatan Gaza, sedikitnya 10.000 orang tewas akibat serangan Israel selama sebulan terakhir.

Gempuran Israel itu menjadi respons atas serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober lalu, yang menurut para pejabat Tel Aviv, menewaskan lebih dari 1.400 orang dan membuat 240 orang disandera di Jalur Gaza. Tidak hanya warga sipil dan tentara Israel, sejumlah warga negara asing juga menjadi sandera Hamas.

Baik Israel dan Hamas menolak tekanan internasional yang semakin besar untuk menerapkan gencatan senjata di Jalur Gaza. Israel meminta Hamas membebaskan para sandera terlebih dahulu, sedangkan Hamas menyatakan enggan membebaskan sandera atau menghentikan pertempuran saat Jalur Gaza terus diserang.

Ketika ditanya apakah dirinya bersedia menerima jeda kemanusiaan di Jalur Gaza dalam wawancara dengan media terkemuka Amerika Serikat (AS), ABC News, Netanyahu menjawab: “Ya, tidak akan ada gencatan senjata, tidak ada gencatan senjata secara umum di Gaza tanpa pembebasan para sandera.”

Namun dia menambahkan soal kemungkinan adanya ‘jeda taktis’ yang berlangsung sebentar demi membuka akses untuk bantuan kemanusiaan atau membuka peluang untuk pembebasan sandera oleh Hamas.

“Namun untuk jeda taktis sebentar — satu jam di sini, satu jam di sana — kami sudah pernah melakukan itu sebelumnya,” ucap Netanyahu dalam wawancara dengan ABC News seperti dilansir Reuters.

“Saya kira kami akan memeriksa keadaannya, demi memungkinkan barang-barang, barang-barang kemanusiaan, bisa masuk, atau para sandera, sandera individu, bisa pergi,” cetusnya.

Panjoel Kepo

Jurnalis Media Rakyatnesia.com berpengalaman dari Kota Soto Lamongan, Lihai menulis berbagai macam informasi, mulai dari olahraga, entertainment, Musik dunia viral media sosial dan berbagai macam lainnya.

Related Articles

Back to top button