Partai Buruh Akan Melaporkan Lima Hakim MK ke MKMK terkait Keputusan UU Cipta Kerja, dan Menyinggung Kasus Aswanto
rakyatnesia.com – Partai Buruh berencana untuk melaporkan lima Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ke Majelis Kehormatan MK (MKMK) setelah permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dinyatakan ditolak.
Dalam putusan yang menolak gugatan terhadap UU Cipta Kerja tersebut, terdapat empat hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Saldi Isra, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Erny Urbaningsih.
Sementara itu, lima hakim yang mendukung penolakan gugatan terhadap UU Cipta Kerja adalah Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P Foekh, Manahan MP Sitompul, dan Guntur Hamzah.
Dalam rencana pelaporan terhadap lima hakim MK yang menolak gugatan terhadap UU Cipta Kerja, Partai Buruh juga menyinggung kasus Aswanto, seorang mantan hakim konstitusi yang digantikan secara paksa oleh DPR RI dan kemudian digantikan oleh Guntur Hamzah.
“Patut diduga, biarlah pengawas MK nanti yang memeriksa, ada konspirasi dimulai dengan penggantian Hakim Aswanto, bisa dilihat 5-4 yang memenangkan gugatan awal Nomor 91/2020 yang lalu, Sekarang bisa jadi 4-5. Dan 4 yang dissenting opinion (pada putusan kali ini) itu yang kemarin memenangkan Buruh. Begitu itu (formasi hakim MK) diubah, itu (perubahan putusan) terjadi,” ujar Presiden Partai Buruh Said Iqbal saat ditemui di Gedung MKRI usai sidang putusan, Jakarta, Senin (2/10).
Sebagai informasi, pada gugatan sebelumnya yang menyatakan UU 11/2020 tentang Ciptaker inkonstitusional bersyarat Aswanto bersama empat hakim MK saat ini unggul atas Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel, dan Manahan Sitompul. Kala itu Anwar dkk mengeluarkan pendapat berbeda.
Said mengatakan terkait putusan MK soal UU 6/2023 yang mengesahkan Perppu Ciptaker, pihaknya akan memasukkan laporan ke MK dua hari kemudian. Dia pun menyinggung penggantian Aswanto secara paksa lewat mekanisme di DPR adalah permainan politik untuk menggolkan UU Ciptaker tetap berlaku.
“[Akan memasukkan laporan ke MKMK] Dua hari setelah ini. Partai Buruh resmi setelah ini melaporkan lima Hakim MK. Kalo empat kan enggak ada masalah, kan membantu kita, ngapain kita laporin. [Yang dilaporkan] Lima hakim Mahkamah Konstitusi.
Terutama kami minta pertanggungjawaban kenapa Hakim Aswanto diganti secara politik. Dan pengganti itu yang menentukan kita kalah hari ini. Biar buruh dan seluruh rakyat Indonesia tahu, kita kalah hari ini karena keputusan politik Hakim Aswanto diganti. Itu menurut pendapat Partai Buruh,” ujarnya.
Said menjelaskan pihaknya menolak keras keputusan MK yang menolak uji formil UU Ciptaker hari ini.
Lalu, Said menjabarkan kecurigaan pihaknya pada majelis hakim bermula dari DPR mengganti Hakim Konstitusi Aswanto dengan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah pada 29 September 2022 lalu.
Said mengatakan secara politis, Partai Buruh menduga terdapat skenario besar di MK untuk memastikan omnibus law UU Ciptaker tetap berlaku.
Ia kemudian menyinggung formasi hakim dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan pada 25 November 2021 lalu.
Diketahui, kala itu terdapat empat Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) agar menolak gugatan UU Ciptaker yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Menurut Said, digantinya Aswanto dalam formasi sembilan Hakim MK berdampak pada putusan uji formil UU Ciptaker kali ini.
Partai Buruh, kata Said, berpendapat ada ‘konspirasi jahat’ dari DPR dan pemerintah. Ia menyebut dari pembacaan putusan hari ini, Guntur yang mengganti Aswanto merupakan penentu dalam putusan kali ini. Said menilai kini ada lima hakim MK yang pro pada pemerintah dan DPR, sedangkan empat hakim lainnya pro pada para pemohon.
“Tadi ada dissenting opinion empat Hakim Konstitusi. Yang Mulia Saldi Isra, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih,” kata Said.
Said juga menilai kini MK tak lagi berperan untuk menegakkan konstitusi. Melainkan hanya kepanjangan tangan dari DPR yang dinilai sarat kepentingan partai politik.
“Bagaimana kami akan percaya dengan hakim [MK] kalo DPR sana, partai-partai politik yang ada, mereka mengendalikan MK dengan keputusan 5-4,” ucapnya di hadapan massa buruh yang melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat.
CNNIndonesia.com telah menghubungi Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) MK Fajar Laksono dan Juru Bicara Hakim MK Enny Nurbaningsih, Selasa (3/10) untuk merespons tudingan Partai Buruh. Namun, belum direspons hingga berita ini dinaikkan.
Ancaman mogok nasional
Selain melaporkan lima Hakim MK ke MKMK dan meminta pertanggungjawaban DPR soal pergantian Aswanto, Said mengatakan pihaknya juga akan menyiapkan mogok nasional pada akhir Oktober atau awal November mendatang.
“Itu yang akan kami lakukan. Mogok nasional. 5 juta buruh stop produksi. 100 ribu pabrik akan berhenti,” ujarnya.
Sebelumnya, diberitakan, MK menolak seluruh permohonan uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang diajukan oleh lima pemohon berbeda. Para pemohon berasal dari berbagai kelompok serikat pekerja.
MK menyampaikan putusan lima perkara ini secara berturut-turut mulai dari Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023, 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023, hingga 50/PUU-XXI/2023.
Ada sejumlah pertimbangan yang disampaikan majelis hakim dalam putusannya. Intinya, majelis hakim menyatakan dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar saat membacakan amar putusan di Gedung MKRI, Jakarta pada Senin (2/10).
Putusan lima perkara ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.