Surat Al Kafirun beserta Artinya, Tafsir dan Asbabun Nuzul Huruf Arab Dan Latin
Daftar Isi
Surat Al Kafirun (الكافرون)
adalah surat ke-109 dalam Al Quran. Berikut ini terjemahan, asbabun nuzul, dan
tafsir Surat Al Kafirun.
Surat ini terdiri dari enam ayat dan merupakan Surat Makkiyah.
Dinamakan surat Al Kafirun yang berarti “orang-orang kafir” karena surat ini memerintahkan
Rasulullah untuk berbicara kepada orang-orang kafir bahwa beliau takkan
menyembah berhala yang mereka sembah.
Selain itu, surat ini juga memiliki nama Surat Al ‘Ibadah. Sebabnya, surat ini memproklamirkan ibadah hanya kepada Allah dan takkan beribadah kepada berhala yang disembah orang kafir. Dinamakan pula Surat Ad Din sebagaimana ayat terakhir.
Nama lainnya adalah surat Al Munabadzah dan Muqasyqasyah.
Dinamakan Muqasyqasyah atau Muqasyqisyah (penyembuh) karena
kandungannya menyembuhkan dan menghilangkan penyakit kemusyrikan.
Surat Al Kafirun beserta Artinya
Berikut ini Surat Al Kafirun dalam tulisan Arab, tulisan
latin dan artinya dalam bahasa Indonesia:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ . لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ . وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ . وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
(Qul yaa ayyuhal kaafiruun, laa a’budu maa ta’buduun. Walaa
antum ‘aabiduuna maa a’bud. Wa laa ana ‘aabidum maa ‘abadtum. Wa laa antum ‘aabiduuna
maa a’bud. Lakum diinukum waliya diin)
Artinya:
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, saya tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang saya sembah. Dan saya tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang saya sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Baca juga: Surat Yasin
Asbabun Nuzul
Ibnu Katsir menjelaskan asbabun nuzul Surat Al Kafirun dalam tafsirnya. Bahwa orang-orang kafir Quraisy pernah mengajak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyembah berhala-berhala mereka selama satu tahun, lalu mereka akan menyembah Allah selama satu tahun. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan surat ini.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas terkait asbabun
nuzul Surat Al Kafirun ini. Bahwa Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, Aswad bin
Abdul Muthalib dan Umayyah bin Khalaf menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Mereka mengatakan, “Wahai Muhammad, marilah kami menyembah Tuhan yang
kamu sembah dan kamu menyembah Tuhan yang kami sembah. Kita bersama-sama ikut
serta dalam perkara ini. Jika ternyata agamamu lebih baik dari agama kami, kami
telah ikut serta dan mengambil keuntungan kami dalam agamamu. Jika ternyata
agama kami lebih baik dari agamamu, kamu telah ikut serta dan mengambil
keuntunganmu dalam agama kami.”
Penawaran seperti itu adalah penawaran yang bodoh dan
konyol. Maka Allah pun menurunkan Surat Al Kafirun sebagai jawaban tegas bahwa
Rasulullah berlepas diri dari agama mereka.
Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menjelaskan, bangsa Arab tidak mengingkari adanya Allah. Akan tetapi, mereka tidak mengerti hakikat-Nya sehingga mempersekutukan-Nya. Maka, mereka beribadah kepada berhala yang mereka buat untuk menggambarkan orang shalih atau malaikat yang menjadi perantara mendekatkan diri kepada Allah. Juga menganggap malaikat adalah anak perempuan Allah.
Mereka merasa heran ketika Rasulullah mendakwahkan tauhid, untuk beribadah hanya kepada Allah. Maka, mereka menentang dakwah itu dengan berbagai cara. Setelah gagal menghentikan Rasulullah dengan menyakiti beliau, mereka menawarkan harta dan jabatan. Ketika upaya itu juga gagal, mereka mengambil jalan kompromi. Menawarkan kerjasama dengan bersama-sama menyembah Tuhan mereka selama satu tahun, lalu tahun berikutnya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah pun menurunkan Surat Al Kafirun sebagai jawabannya.
Baca juga: Ayat Kursi
Tafsir Surat Al Kafirun
Tafsir surat Al Kafirun ini bukanlah tafsir baru. Kami berusaha
mensarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir
Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah. Agar ringkas
dan mudah dipahami.
Surat Al Kafirun ayat 1
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,
Kata qul (قل)
yang berarti “katakanlah” merupakan firman Allah dan perintah-Nya agar
Rasulullah menyampaikan ayat ini kepada orang-orang kafir, secara khusus kafir
Quraisy. Yakni sebagai jawaban atas tawaran mereka.
Kata ini membuktikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menyampaikan segala sesuatu yang diterimanya dari ayat-ayat Al Quran
yang disampaikan oleh malaikat Jibril. Seandainya ada sesuatu yang disembunyikan,
yang paling wajar adalah menghilangkan kata qul ini.
Kata al kaafiruun (الكافرون)
berasal dari kata kafara (كفر) yang berarti
menutup. Disebut kafir karena hatinya tertutup, belum menerima hidayah Islam. Siapapun
yang tidak menerima Islam, maka ia adalah kafir. Baik itu orang-orang musyrik
maupun ahli kitab. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ
فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab
dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al Bayyinah: 6)
Namun secara spesifik, al kaarifuun yang diajak
bicara di Surat Al Kafirun ini adalah orang-orang kafir Quraisy yang mengajak
kerjasama menyembah Tuhan secara bergantian. Sebagai penegasan bahwa tidak
mungkin Rasulullah menyembah tuhan mereka dan tidak ada titik temu rakyatnesia
kemusyrikan dengan tauhid.
Surat Al Kafirun ayat 2
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
saya tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Kata a’budu (أعبد)
merupakan bentuk kata kerja masa kini dan akan datang (fi’il mudhari’). Ini
merupakan penegasan bahwa Rasulullah tidak akan menyembah tuhan mereka baik di
masa kini maupun masa depan.
Menurut Ibnu Katsir, makna maa ta’buduun adalah
berhala-berhala dan sekutu-sekutu yang mereka ada-adakan. Rasulullah tidak akan
menyembah mereka dan tidak akan memenuhi ajakan orang kafir dalam sisa usianya.
Surat Al Kafirun ayat 3
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang saya sembah.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir itu juga tidak
akan menyembah Tuhan yang disembah Rasulullah di masa kini dan masa datang. Meskipun
nantinya penduduk Makkah berbondong-bondong masuk Islam, namun orang-orang yang
mendatangi Rasulullah untuk mengajak menyembah tuhan mereka, semuanya tidak
masuk Islam bahkan mati terbunuh dalam kondisi kafir.
Ibnu Katsir menjelaskan, maa a’bud (ما أعبد) adalah Allah semata. Lafazh maa
bermakna man.
Surat Al Kafirun ayat 4
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
Dan saya tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah
Ada sebagian mufassir yang menyamakan makna ayat 4 ini
dengan ayat 2. Dan menyamakan makna ayat 5 dengan ayat 3. Padahal jika
diperhatikan kata yang digunakan, akan didapati makna yang terkandung di
dalamnya.
Kata ‘abadtum (عبدتم)
merupakan bentuk kata kerja masa lampau (fi’il madhi). Berbeda dengan
kata ta’budun (تعبدون) pada ayat 2 yang merupakan fi’il mudhari’.
Perbedaan maa ta’buduun dan maa ‘abadtum ini
menunjukkan bahwa apa yang mereka sembah di masa kini dan esok bisa berbeda
dengan apa yang mereka sembah di masa kemarin. Sedangkan untuk Allah yang diibadahi
Rasulullah, digunakan kata yang sama yakni maa a’bud. Menunjukkan konsistensi
ibadah dan ketaatan hanya kepada Allah. Tidak akan berubah.
Baca juga: Surat Al Waqiah
Surat Al Kafirun ayat 5
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang saya sembah.
Perhatikan redaksi ayat 3 dan ayat 5 ini. Sama-sama
digunakan kata maa a’bud (ما أعبد) yang merupakan
bentuk kata kerja masa kini dan masa datang (fi’il mudhari’). Menegaskan
bahwa apa yang beliau sembah tidak berubah.
Sayyid Qutb mengatakan bahwa ayat ini merupakan penegasan
terhadap ayat sebelumnya agar tidak ada lagi salah sangka dan kesamaran. Supaya
tidak ada lagi prasangka dan syubhat.
Syaikh Muhammad Abduh mengatakan, ayat 2 dan ayat 3 menjelaskan
perbedaan yang disembah. Sedangkan ayat 4 dan 5 menjelaskan perbedaan cara
beribadah. Tegasnya, yang disembah lain, cara menyembah juga lain.
Surat Al Kafirun ayat 6
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Kata diin (دين)
artinya adalah agama, balasan, kepatuhan dan ketaatan. Sebagian ulama memilih
makna balasan karena menurut mereka orang kafir Quraisy tidak memiliki agama.
Sedangkan yang mengartikan din sebagai agama, bukan
berarti Rasulullah mengakui kebenaran agama mereka namun mempersilakan menganut
apa yang mereka yakini.
Didahulukannya kata lakum (لكم)
dan liya (لي) menggambarkan kekhususan karena masing-masing agama berdiri
sendiri dan tidak perlu dicampurbaurkan.
Ibnu Katsir mengutip Imam Bukhari bahwa lakum diinukum
yakni kekafiran, sedangkan waliya diin yakni Islam.
Sayyid Qutb menegaskan, “saya di sini dan kamu di sana!
Tidak ada penyeberangan, tidak ada jembatan dan tidak ada jalan kompromi rakyatnesia
saya dan kamu!”
“Sesungguhnya jahiliyah adalah jahiliyah dan Islam adalah
Islam. Perbedaan rakyatnesia keduanya sangat jauh.”
Sedangkan Buya Hamka menegaskan dalam Tafsir Al Azhar,
“Soal aqidah, di rakyatnesia tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat
dikompromikan atau dicampuradukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan
dengan syirik, artinya adalah kemenangan syirik.”
Baca juga: Isi Kandungan Surat Al Kafirun
Penutup Tafsir Surat Al Kafirun
Surat Al Kafirun adalah jawaban tegas bahwa dalam aqidah
tidak ada kompromi. Dalam ibadah tidak boleh ada pencampurbauran. Tidak mungkin
Rasulullah dan orang-orang beriman menyembah berhala dan sesembahan orang kafir
meskipun hanya setahun, sehari bahkan sedetik. Karena itu adalah kemusyrikan
dan kekafiran.
Surat ini juga menunjukkan manhaj yang jelas dalam dakwah Islam bahwa ia tidak boleh menerima tawaran apapun yang bertentangan dengan tauhid. Dan demikianlah hendaknya seluruh dai mengambil jalan sebagai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil jalan.
Demikian Surat Al Kafirun mulai dari terjemahan, asbabun nuzul, hingga tafsir. Semoga semakin menguatkan tauhid dan keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]