rakyatnesia.com – Pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan beberapa pemerintah daerah di sekitar ibu kota dianggap jarang mengatasi masalah pencemaran udara yang berasal dari sektor industri energi dan manufaktur, demikian diungkapkan oleh aktivis lingkungan.
Meskipun demikian, menurut pendapatnya, dampak pencemaran dari industri energi dan manufaktur terhadap kualitas udara di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya sebenarnya lebih besar daripada dampak dari penggunaan transportasi, sektor komersial, dan aktivitas domestik.
“Kami melihat sebabnya karena kepentingan ekonomi dan politik… Intinya pemerintah tidak seberani itu untuk memperketat aturan lingkungan ke perusahaan, akhirnya yang jadi korban masyarakat,” kata Ketua Kampanye Walhi DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, Minggu (13/08).
Menanggapi pemberitaan yang meluas tentang polusi udara di Jakarta, Presiden Joko Widodo dan jajaran menterinya, menggelar rapat terbatas membahas persoalan itu di kompleks Istana Merdeka, Jakarta, Senin (14/08).
Presiden mengungkapkan, salah satu penyebab memburuknya kualitas udara di Jabodetabek adalah karena musim kemarau.
Dia menjelaskan, kemarau panjang selama tiga bulan terakhir menyebabkan peningkatan konsentrasi polutan tinggi.
Namun diakui oleh Presiden, polusi itu juga disebabkan “pembuangan emisi dari transportasi dan juga aktivitas industri di Jabodetabek, terutama yang menggunakan batu bara di sektor industri manufaktur.”
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan sektor transportasi menjadi sumber pencemar udara utama di Indonesia.
Sehingga pemerintah disebut lebih fokus pada upaya mengendalikan polusi udara di sektor transportasi.
Adapun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta menolak dikambinghitamkan atas parahnya polusi udara di Jakarta.
Sebab bagaimanapun, kata Apindo, keberadaan industri turut membuka lapangan kerja dan menggerakkan perekonomian.
Bagaimana rasanya tinggal di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap?
Salah satu warga yang terkena langsung dampak polusi adalah Ag – nama samaran – yang tinggal dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Lontar di wilayah utara Kabupaten Tangerang, Banten.
Pria 27 tahun ini berkata keberadaan pembangkit yang diresmikan pada 2009 itu telah mengubah kebiasaan warga.
Salah satunya kebiasaan menampung air untuk dipakai mandi hingga kebutuhan konsumsi.
Air tampungan itu tak lagi bisa dilakukan lantaran air hujan yang turun ke atap-atap rumah warga menghitam tercampur partikel yang diduga dari dampak aktifitas PLTU.
“Dulu warga termasuk keluarga saya itu sering nadah air dari atap kalau hujan biasanya langsung bisa dikonsumsi, sekarang pada enggak berani karena airnya jadi hitam karena di atap itu banyak debu hitam pekat,” kata Ag kepada Muhammad Iqbal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (13/08).
Ia yang tinggal di wilayah terdekat PLTU Lontar mengaku tak tahu apakah kualitas udara yang mereka hirup masih tergolong bersih.
Sebab selama ini tak pernah ada sosialisasi atau alat pemantau kualitas udara di kampung-kampung mereka.
Yang pasti, asap hitam pekat kerap hadir di kampung mereka. Biasanya terjadi dalam kurun beberapa bulan di waktu perbaikan alat-alat di PLTU.
“Kalau asap enggak setiap saat, tapi yang paling nyata asap itu kalau beberapa bulan sekali kalau ada overhaul di mesinnya katanya itu tiga bulan sekali kalau engga salah, itu kadang asapnya keluarnya hitam,” kata dia.
Sejauh ini dampak paling nyata dari keberadaan PLTU adalah udara di sekitar kawasan menjadi lebih panas menyengat dibanding wilayah-wilayah lain.
“Yang jelas berasa lebih panas ya, apalagi sekarang sedang musim kemarau ya, El Nino katanya, terasa semakin parah panasnya,” ungkapnya.
Warga lainnya yang tinggal di sekitar PLTU Banten, Sukandara, berkata dampak paling nyata dari keberadaan pembangkit batubara itu adalah penyakit kulit.
Pasalnya air sehari-hari yang dipakai terkena cemaran dari batubara yang jatuh dari kapal tongkang.
Dia juga bercerita, sejak ada PLTU kawasan pantai wisata di sana ditinggal peminat karena suhu udara jadi lebih panas.
“Udara panas, lebih panas dari wilayah lain. Kalau berkabut sih enggak, karena kan wilayah pesisir angin banyak,” kata Sukanda.
“Di sini air kayak berminyak malah kita sudah enggak berani pakai air tanah untuk aktivitas,” sambungnya.
Pembangkit listrik dan manufaktur kontributor utama polusi DKI Jakarta
Lembaga independen yang melakukan penelitian soal polusi udara, CREA, menyebutkan pencemaran lintas batas dari Provinsi Banten dan Jawa Barat merupakan kontributor utama pencemaran udara di Kota Jakarta.
Yang paling tinggi berasal dari sektor industri energi pembangkit listrik dan manufaktur.
Hingga saat ini setidaknya ada 16 PLTU berbasis batubara yang berada tak jauh dari Jakarta. Sebarannya sebanyak 10 PLTU berlokasi di Banten, sedangkan enam lainnya di Jawa Barat.
Sedangkan industri manufaktur yang tercatat pada tahun 2019, total ada 418 fasilitas ditemukan dalam radius 100 kilometer dari daerah metropolitan Jakarta.
Dari jumlah itu, 136 di antaranya berada di sektor yang beremisi sangat tinggi seperti semen dan baja, kaca, penyulingan minyak dan gas, PLTU Batubara, logam, petrokimia dan plastik.
Jika dibedah lebih rinci lagi, sebanyak 86% dari fasilitas beremisi tinggi ini beroperasi di luar batas adminstrasi Jakarta; di mana 62 fasilitas di Jawa Barat, 56 di Banten, 1 di Jawa Tengah, dan 1 di Sumatera Selatan dalam radius 100 kilometer dari Jakarta.
Dengan menggunakan model HYSPLIT atau model komputer untuk menghitung trayektori dan penyebaran polutan, CREA menemukan bahwa selama musim hujan (November sampai Mei) angin dari arah timur laut dan tenggara membawa emisi dari sumber di Sumatera Selatan, Banten, dan Jawa Barat ke Jakarta.
Lalu pada musim kemarau (Juni hingga Oktober) lintasan angin dari Jawa Barat membawa sumber emisi ke wilayah timur dan tenggara Jakarta.
Penelitian CREA juga menemukan sumber pencemar berikutnya berasal dari sektor transportasi, kemudian perumahan serta komersil, dan terakhir domestik seperti pembakaran sampah.
Kualitas udara DKI Jakarta disebut sudah ‘sangat krisis’, Pemprov siapkan razia uji emisi
Polusi udara di Jakarta tertinggi se-Asia Tenggara, dua tahun setelah Pemprov DKI kalah gugatan
Ketua Kampanye Walhi DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, mengatakan meskipun penelitian CREA dilakukan tiga tahun silam tapi faktanya tidak berubah.
Bahkan, kondisi saat ini lebih buruk.
Walhi mencontohkan industri manufaktur di kawasan Marunda, Jakarta Utara, yang masih menggunakan batubara untuk bahan bakar energi listriknya.
LSM lingkungan itu mengklaim abu dari hasil pembakaran batubara tak dikelola dengan baik padahal lokasinya dekat permukiman masyarakat.
Pada akhir tahun 2022, misalnya, warga Rusunawa Marunda pernah mengeluhkan adanya pencemaran debu batubara yang disebut berasal dari sebuah perusahaan.
“Harusnya dari perusahaan, kalau masih pakai batubara harus pakai filter untuk menyaring fly ash supaya tidak terbang dan lokasinya harus jauh dari permukiman,” jelas Muhammad Aminullah kepada BBC News Indonesia, Minggu (13/08).
“PLTU Batubara juga sama. Aktivitasnya dilakukan di ruang terbuka, rawan terbawa angin. Harusnya di tempat tertutup dan punya alat penyiram untuk menutupi debu batubara.”
Akan tetapi, sambung Amimullah, pemerintah daerah dan pemerintah pusat nyaris tidak pernah menyentuh persoalan pencemaran udara dari sektor industri energi dan manufaktur.
Padahal kontribusi cemarnya lebih besar daripada penggunaan transportasi, komersial, dan domestik.
“Kami melihat sebabnya karena kepentingan ekonomi dan politik. Ketika aturan emisi dari industri diperketat yang teriak-teriak pasti pengusaha. Makanya pantauan kami ada kepentingan ekonomi dan politik yang mendegradasi kebijakan untuk kualitas lingkungan.”
“Intinya pemerintah tidak seberani itu untuk memperketat aturan lingkungan ke perusahaan, akhirnya yang jadi korban masyarakat.”
Bagi Aminullah, kalau pemerintah memang menganggap polusi udara masalah serius maka tak ada solusi lain kecuali menekan industri agar menghentikan penggunaan batubara dan menggantinya ke energi yang nol emisi.
Sebab langkah terbaru yang ditempuh Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dengan membentuk satuan tugas untuk merazia dan menjatuhkan sanksi kepada pemilik kendaraan bermotor yang belum melaksanakan uji emisi, tidak akan berdampak signifikan.
Kecuali pemerintah membatasi jumlah penggunaan kendaraan.
“Selama tidak dibatasi kepemilikan kendaraan, pembangunan jalan tol terus-terusan, ya tidak akan berpengaruh besar.”
“Kalau diumpamakan Jakarta ini sudah mengalami obesitas kendaraan. Tapi pemerintah bukannya diet dengan membatasi kendaraan, tapi terus-terusan memperbesar pakaiannya.”
Apa jalan keluar yang ditawarkan Presiden Jokowi?
Menanggapi pemberitaan yang meluas tentang polusi udara di Jakarta, Presiden Joko Widodo dan jajaran menterinya, menggelar rapat terbatas membahas persoalan itu di kompleks Istana Merdeka, Jakarta, Senin (14/08).
Dalam pidato sebelum rapat, Presiden Joko Widodo mengakatakan “selama satu pekan terakhir kualitas udara di Jabodetabek sangat sangat buruk.”
Menurut Jokowi, salah satu penyebab memburuknya kualitas udara di Jabodetabek adalah “karena musim kemarau”.
Dia mengatakan terjadinya kemarau panjang selama tiga bulan terakhir menyebabkan peningkatan konsentrasi polutan tinggi.
Namun Jokowi mengakui ada faktor penyebab lainnya, yaitu “pembuangan emisi dari transportasi dan juga aktivitas industri di Jabodetabek, terutama yang menggunakan batu bara di sektor industri manufaktur.”
Presiden kemudian memerintahkan kementerian/lembaga terkait untuk melakukan intervensi yang bisa meningkatkan kualitas udara di Jabodetabek.
Jokowi meminta rekayasa cuaca untuk dilakukan.
“Dalam jangka pendek secepatnya harus dilakukan intervensi yang bisa meningkatkan kualitas udara di Jabodetabek lebih baik.
“Kemudian juga rekayasa cuaca untuk memancing hujan di kawasan Jabodetabek,” ujarnya, seperti dilaporkan Detikcom.
Jokowi lantas meminta agar regulasi untuk percepatan penerapan batas emisi khususnya di Jabodetabek untuk segera ditetapkan. Kemudian memperbanyak ruang terbuka hijau.
“Dan tentu saja ini memerlukan anggaram, siapkan anggaran. Dan jika diperlukan kita harus berani mendorong banyak kantor melaksanakan hybrid working. Work from office, work from home mungkin.
“Saya nggak tahu nanti dari kesepakatan di rapat terbatas ini apakah 7-5 2-5 atau angka yang lain,” tuturnya.
Untuk jangka menengah, Jokowi meminta agar kebijakan mengurangi penggunaan kendaraan berbasis fosil segera diterapkan. Jokowi meminta agar warga beralih ke moda transportasi massal.
“Saya kira bulan ini LRT segera dioperasionalkan, MRT juga sudah beroperasi, kemudian kereta cepat bulan depan juga sudah beroperasi dan juga percepatan elektrivikasi kendaraan umum dgn bantuan pemerintah,” papar Jokowi.
Sementara untuk jangka panjang, Jokowi menekankan pentingnya memperkuat aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dia meminta pengawasan kepada sektor industri dan pembangkit listrik terutama di sekitar Jabodetabek untuk dilakukan. “Dan yang terakhir mengedukasi publik yang seluas-luasnya,” tandas Presiden.
Apa tanggapan pengusaha?
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, Nurjaman, mengakui masih ada perusahaan di kawasan Marunda, Jakarta Utara, yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar energi listrik.
Pilihan memakai batubara, katanya, tak lain karena lebih murah ketimbang gas.
Meskipun, klaimnya, ada juga perusahaan yang terpaksa masih pakai batubara lantaran belum tersedianya jalur distribusi gas ke kawasan industri.
“Kenapa pilih batubara? Pertama karena harga, kalau gas lebih mahal,” ujar Nurjaman kepada BBC News Indonesia, Minggu (13/08). Akan tetapi kalangan pengusaha menolak dikambinghitamkan atas parahnya polusi udara di Jakarta. Sebab bagaimanapun, kata dia, keberadaan industri turut membuka lapangan kerja dan menggerakkan perekonomian.
Untuk itu, menurut dia perlu ada solusi bersama untuk mengatasi masalah tersebut.
“Polusi udara kan tidak hanya terjadi hari ini, tapi sejak dulu sehingga berdampak lebih. Nah solusinya apa? Ini harus jadi diperhatikan semua pihak, tidak hanya pengusaha tapi pemerintah juga memikirkan,” ucapnya.
“Industri ada kan karena pemerintah juga. Jangan main tutup atau diblacklist. Bagaimana karyawan bisa bekerja dan masyarakat tidak kena polusi. Harus ada win-win solution,” sambung Nurjaman.
KLHK: pemerintah saat ini fokus pada sektor transportasi
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, mengatakan sektor transportasi menjadi sumber pencemar udara utama di Indonesia yang mencapai 44%, disusul industri 31%, manufaktur 10%, dan perumahan 14%, serta komersial 1%.
Khusus dari sektor industri manufaktur, emisi sulfur dioksida (SO2) yang dihasilkan sebesar 2.637 ton per tahun.
Untuk diketahui pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan pabrik industri tidak hanya menghasilkan pencemar SO2, tapi juga NOx, partikulat (PM), dan merkuri (Hg) -yang menyebar di atmosfter dan membahayakan kesehatan manusia. Termasuk menyebabkan stroke, penyakit jantung, asma, infeksi pernapasan, dan penyakit paru. Seperti dilansir kantor berita Antara, Sigit menjelaskan penyebab utama tingginya emisi sulfur dioksida dari industri manufaktur akibat penggunaan batubara. Meskipun katanya angka penggunaan batubara hanya 4%, namun menghasilkan emisi sulfur dioksida sebesar 64%.
Adapun sektor industri energi adalah penghasil emisi sulfur dioksida kedua terbesar dengan angka 1.071 ton per tahun. Namun demikian Sigit berkata, saat ini pemerintah sedang fokus pada upaya mengendalikan polusi udara di sektor transportasi karena disebut sebagai penyumbang terbesar polusi udara. Misalnya menerapkan uji emisi kendaraan, pengenaan tarif parkir lebih tinggi untuk kendaraan yang tidak lolos uji emisi, perbaikan fasilitas transportasi umum, dan mendorong penggunaan kereta listrik.
“Dari uji emisi itu ada kesepakatan di semua pemerintah daerah di Jabodetabek untuk bersama-sama mengatasi pencemaran udara di Jabodetabek itu. Di pertemuan pertama, kita selain sepakat untuk bersama-sama,” ucapnya.