Politik kebudayaan masih ‘mencengkramai’ pencarian akar ke-Indonesiaan? Ada biner antara anjuran terhadap modernitas di Indonesia melaui belajar dari Barat serta anjuran masa lalu sebagai referensi kultural masa kini?
Gempur-menggempur antarparadigma tampaknya terus menjadi mengemuka dalam menghelat masalah kebudayaan di Indonesia. Di sinilah terasa sekali bahwa membentuk Indonesia dalam konteks saat ini masih perlu dilihat dalam koridor ‘proyek modernitas’ yang belum selesai.
Salah satu persoalan negara-bangsa yang saat ini terus menjadi perdebatan serius adalah antara menjalankan ‘unifikasi’ kultural versus ‘multikultural’. Lepas bahwa unifikasi kultural di Indonesia tidak setelanjang seperti kebijakan “diskriminasi”- demi mengukuhkan eksistensi budaya Melayu- di Malaysia misalnya, Jawanisasi masih banyak dirasakan sebagai bagian dari praktik pembangunan nasional. Dalam konteks perdebatan membangun visi kebudayaan antara yang pro kebhinnekaan dengan homogenisasi, dua kecenderungan ini menonjolkan dinamika negara- bangsa sampai saat ini.
Gelombang globalisasi tidak saja mendedah kemungkinan orang untuk menerima perbedaan kultural, namun kecenderungan Barat yang monokultural juga inheren dalam proyek globalisasi. Itulah sebabnya, dalam tesis Benjamin Barber (1992), praktik globalisasi yang saat ini memunculkan homogenisasi budaya Barat secara bersamaan akan memunculkan musuh utamanya, yaitu globalisasi.
Gerak pendulum semacam ini tentu saja diakui sangat linear, enggan mengajukan asumsi bahwa ide-ide baru individualisme liberal ini dengan sendirinya akan berkembang bersamaan dengan proses industrialisasi yang hampir tidak dapat ditolak oleh semua bangsa di dunia.
Di tengah benturan peradaban seperti ini, bagaimana ke-Indonesiaan dapat ditempatkan? Politik kebudayaan seperti apakah yang mesti kita rakit sedari dini untuk pada satu sisi mempertahankan eksistensi negara-bangsa Indonesia, namun pada sisi lain dapat terus mempertahankan kebhinnekaan sebagaimana telah dianggap sebagai ciri budaya di Indonesia?
Strategi kebudayaan sejatinya bertaut dengan politik kebudayaan. Meminjam ungkapan Clifford Geertz dalam bukunya “Politik Kebudayaan” (1994), bahwa suatu politik negara mencerminkan desain kebudayaannya. Dan kita tahu, tujuan kebudayaan nasional Indonesia telah termaktub dalam naskah Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila sebagai dasar filosofinya.
Pemikiran tentang politik kebudayaan terasa merupakan tugas konseptual. Sebagai landasannya adalah gagasan tentang bagaimana dan sejauhmana kita memahami modalitas kekinian tentang ‘kebudayaan’ di satu pihak dan “nasional” di lain pihak. Kita senantiasa mesti menakar komitmen terhadap watak ideologis dan teleologis kenegaraan dan kebangsaan.
Kebudayaan memang bukan hanya berisi pikiran manusia yang abstrak, konseptual, dan kognitif, melainkan pewarisan preskriptif antargenerasi sekaligus mewujud dalam tindakan yang riil, operasional, dan praktis.
Kebudayaan sebagai pengetahuan akan menjadi proses panjang dalam mengingat, menghimpun, dan mengolah berbagai dimensi epistemik kezamanan suatu bangsa demi pengembangan kualitas kebangsaan. Di sini, kita akan menoleh pada proses pendidikan. Persoalannya adalah, bagaimana kita bisa merumuskan suatu sistem pendidikan nasional yang unggul?
Kebudayaan sebagai pilihan eksitensi merupakan praksis nilai-nilai dimana suatu bangsa menentukan sikap diri kebangsaannya. Di sini akan membutuhkan pengejawantahan sikap loyal, dinamis, heroik, dan visioner yang menjadi prasyaratnya. Sementara, kebudayaan sebagai praktek komunikasi berarti memerlukan warga negara yang kreatif dan dinamis.
Bagaimana mengatur dan menata hubungan antarumat beragama dan berke-Tuhan-an bagi sesama bangsa misalnya, menjadi tema yang selalu aktual? Terlebih saat ini negeri kita tengah ramai dengan konflik keagamaan. Padahal, hegemoni kemayoritasan sedari dini telah diberlakukan sebagai hal yang tidak relevan. Cobalah simak pernyataan Soekarno bahwa demokrasi kita bukanlah “mayorokrasi” dan “minorokrasi”.
Akhirnya, patutlah menyebut bahwa suatu bangsa ibarat sebuah rumah. Maka, setiap orang dalam rumah itu hendaknya berada dalam keleluasan yang semestinya.
Penulis adalah wartawan dan aktivis kebudayaan