JAKARTA (RAKYATNESIA) – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Juni 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%. Keputusan mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75% ini konsisten dengan stance kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran 3,0±1% pada sisa tahun 2023.
Direktur Eksekutif dan Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, Jumat (23/6/2023) mengatakan, fokus kebijakan diarahkan pada penguatan stabilisasi nilai Rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global. Kebijakan likuiditas dan makroprudensial longgar terus dilanjutkan untuk mendorong penyaluran kredit/pembiayaan dan tetap mempertahankan terjaganya stabilitas sistem keuangan.
Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran terus didorong untuk perluasan ekonomi dan keuangan digital dan penguatan stabilitas sistem dan layanan pembayaran. Bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran Bank Indonesia tersebut terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan mitra strategis terus diperkuat. Dalam kaitan ini, koordinasi dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) dilanjutkan melalui penguatan program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
Sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) diperkuat dalam rangka menjaga stabilitas makroekonomi dan sektor keuangan, mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha khususnya pada sektor-sektor prioritas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan ekspor, serta meningkatkan ekonomi dan keuangan inklusif dan hijau.
Dikatakannya, ketidakpastian perekonomian global kembali meningkat dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi. Pertumbuhan ekonomi global diprakirakan sebesar 2,7% (yoy) dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Di AS, tekanan inflasi masih tinggi terutama karena keketatan pasar tenaga kerja, di tengah kondisi ekonomi yang cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan (SSK) yang mereda, sehingga mendorong kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) ke depan.
Kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar. Sementara itu, di Tiongkok pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat prakiraan di tengah inflasi yang rendah sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter.
Pemulihan ekonomi di negara berkembang lain, seperti India, tetap kuat didorong oleh permintaan domestik dan ekspor jasa. Kondisi ekonomi di negara maju dan berkembang tersebut mendorong nilai tukar dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang negara maju, tetapi menguat terhadap mata uang negara berkembang.
Perkembangan tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik didukung oleh permintaan domestik dan positifnya kinerja ekspor. Kenaikan konsumsi rumah tangga berlanjut didorong oleh terus naiknya mobilitas, membaiknya ekspektasi pendapatan, dan terkendalinya inflasi. Investasi juga tetap kuat terutama investasi nonbangunan sejalan dengan kinerja ekspor yang positif dan berlanjutnya hilirisasi.
Kinerja pariwisata juga membaik sejalan dengan kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara. Perbaikan ekonomi Indonesia dikonfirmasi oleh hasil survei Bank Indonesia tentang keyakinan konsumen yang meningkat dan penjualan eceran yang tumbuh positif, serta indikator dini Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang masih berada di zona ekspansi.
Ke depan, pertumbuhan ekonomi 2023 diprakirakan tetap berada dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia pada 4,5-5,3%. Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergitas stimulus fiskal Pemerintah dengan stimulus makroprudensial Bank Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi permintaan.
**(Sumber: Kominfo Jatim/Red).