Dihadiri Ratusan Peserta, Sejarawan Bonnie Menyoal Praktik Kolonialitas lewat Orasi Kebudayaan , Kabar Indonesia

Rakyatnesia – Dihadiri Ratusan Peserta, Sejarawan Bonnie Menyoal Praktik Kolonialitas lewat Orasi Kebudayaan Pencarian seputar Berita Nasional di dunia online kian banyak dijalankan masyarakat Indonesia, padahal hakekatnya Berita ini akan kami bahas di artikel ini.

[quads id=10]

Pada Tulisan Dihadiri Ratusan Peserta, Sejarawan Bonnie Menyoal Praktik Kolonialitas lewat Orasi Kebudayaan ini kami ada sebagian pembahasan yang akan kalian baca disini, dan juga mempunyai sebagian sistem penjelasan lain yang bakal membikin kalian terkaget memperhatikan atau membacanya. Jika anda senang dengan info ini, maka bagikan dengan orang terdekat atau di media sosial kesayangan anda.

[quads id=10]

Rakyatnesia.com–Sejarawan Bonnie Triyana mengungkapkan masih terdapat perilaku kolonialitas yang melekat di tengah kehidupan masyarakat. Meskipun kolonialisme sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Indonesia, tapi perilaku tersebut masih membelenggu dalam kehidupan sehari-hari.

Hal tersebut diungkapkan pria asal Lebak itu dalam pidato kebudayaan yang disampaikan di hadapan ratusan warga yang hadir dan berkumpul di Pendopo Museum Multatuli, Jumat (16/6) malam.

”Kolonialitas sebagai sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme masih bisa kita kenali hingga hari ini, mengacu pada cara-cara warisan kolonial yang berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya,” kata Bonnie Triyana.

Baca Juga: Ganjar Gagas Kerja Sama Budaya Jawa-Bali, Kita Punya Banyak Kesamaan Tradisi dan Seni

Dalam catatan Bonnie, paling tidak ada sepuluh hal dalam kehidupan sehari-hari yang masih terwarisi dampak kolonialisme di berbagai bidang. Di sektor pendidikan, misalnya. Pemerintah kolonial menyediakan pendidikan tidak untuk semua golongan, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang sejak kedatangan kolonialisme ke Indonesia, menjadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.

”Hanya golongan elite yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu,” jelas Bonnie Triyana.

Bidang lain yang masih terwarisi kolonialisme adalah feodalisme sebagai hal paling erat di sistem politik Indonesia. Sejak VOC pada 1602, mulai berlaku sebutan bupati yang diartikan sebagai sebutan para anggota kelompok elite yang berdinas.

Baca Juga: Pakar Ingatkan Warganet Tak Terjebak Budaya Konsumtif di Ranah Daring

”Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan, dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat petinggi pribumi, sedangkan gubernur VOC tidak tahu,” ungkap Bonnie Triyana.

”Ternyata feodalisme berangkat dari pribumi yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki. Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya,” tambah dia.

Sementara itu, lanjut dia, adipati memiliki tugas memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti. Bahkan mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya. Selain itu, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasan agar bisa bertahan.

Baca Juga: Pameran Merayakan 13 Tahun Tudgam Kuningan, Tak Lelah Memberi Gambaran tentang Praktik Artistik

”Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukan. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral,” papar Bonnie Triyana.

Bonnie menyoroti sektor kesehatan yang sejak zaman Belanda banyak warga belum terpenuhi kebutuhan dasar gizinya. Hal itu mengakibatkan kekurangan gizi dan stunting yang menjadikan tumbuh kembang anak terhambat.

Dikutip dari Jawa Pos

Exit mobile version