KPK Cegah 8 Pegawai BPK Riau ke Luar Negeri dalam Kasus Bupati Kepulauan Meranti , Kabar Indonesia

Rakyatnesia – KPK Cegah 8 Pegawai BPK Riau ke Luar Negeri dalam Kasus Bupati Kepulauan Meranti Pencarian seputar Berita Nasional di dunia online kian banyak dijalankan masyarakat Indonesia, sedangkan sebetulnya Berita ini akan kami bahas di artikel ini.

[quads id=10]

Pada Tulisan KPK Cegah 8 Pegawai BPK Riau ke Luar Negeri dalam Kasus Bupati Kepulauan Meranti ini kami ada sebagian pembahasan yang akan kalian baca disini, dan juga mempunyai sebagian sistem penjelasan lain yang bakal membikin kalian terkaget mengamati atau membacanya. Jika anda suka dengan info ini, maka bagikan dengan orang terdekat atau di media sosial kesayangan anda.

[quads id=10]

 

 

 

 

Rakyatnesia.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah 10 pihak untuk tidak bepergian ke luar negeri, terkait kasus dugaan korupsi yang menjerat Bupati Kepulauan Meranti nonaktif Muhammad Adil. Dari jumlah itu, delapan orang di antaranya merupakan pegawai BPK Perwakilan Riau. 

 

“KPK mengajukan cegah untuk tetap berada di wilayah Indonesia terhadap 10 orang, 8 orang di antaranya pegawai BPK Perwakilan Riau dan dua orang swasta,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Senin (15/5). 

 

Adapun 10 pihak yang dicegah ke luar negeri, delapan pegawai BPK perwakilan Riau di antaranya Ruslan Ependi, Odipong Sep, Dian Anugrah, Naldo Jauhari Pratama, Aidel Bisri, Feri Irfan, Brahmantyo Dwi Wahyuono, Salomo Franky Pangondian. Sementara dua pihak swasta yakni Findi Handoko dan Ayu Diah Ramadani.

 

Ali menyampaikan, upaya tersebut dilakukan untuk memudahkan proses pemeriksaan dalam tahap penyidikan. KPK berharap, 10 orang tersebut dapat bersikap kooperatif memenuhi panggilan penyidik. 

 

“Cegah dimaksud telah diajukan sejak selama enam bulan  pada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI untuk 6 bulan pertama dan tentu dapat dilanjutkan sesuai dengan kebutuhan proses penyidikan,” ujar Ali. 

 

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil sebagai tersangka. Hal ini setelah politikus PDI Pernjuangan itu terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Kamis (6/4) lalu.

 

Selain M. Adil, KPK juga turut menjerat dua pihak lainnya sebagai tersangka, keduanya yakni Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti, Fitria Ningsih dan Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau, M Fahmi Aressa.

 

Muhammad Adil terjerat dalam tiga kasus dugaan korupsi. Kasus pertama, terkait pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara negara atau yang mewakilinya tahun 2022 sampai 2023. 

 

Kasus kedua, dugaan korupsi penerimaan fee dari jasa travel umrah. Ketiga, kasus dugaan suap pengondisian pemeriksaan keuangan pada 2022 di Pemkab Kepulauan Meranti.

 

Muhammad Adil sebagai tersangka penerima suap melanggar pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

 

Selain itu, Muhammad Adil juga sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

 

Sementara itu Fitria Ningsih sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

 

M Fahmi Aressa sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

 

Dikutip dari Jawa Pos

Exit mobile version