Penambangan minyak di Bojonegoro sesungguhnya hanyalah kutukan. Usaha pengurasan isi perut bumi itu tidak punya efek langsung bagi pembangunan. Tenaga kerja yang dibutuhkan di sana sedikit. Para ahli minyak, modal dan teknologinya didatangkan dari luar. Satu-satunya pengaruh penambangan minyak di Bojonegoro, pemerintah kabupaten menerima bagian uang penjualan pengeboran minyak perusahaan asing semacam sewa.
Secara makro Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bojonegoro pada 2015 terealisasi 115,92 persen. Target PAD 2015 sebesar Rp 291,326 miliar, dan tercapai Rp 337,695 miliar. Kalau dihitung-hitung, dana alokasi khusus (DAK) ditambah dana bagi hasil migas (DBH migas) yang menjadikan pemerintahan Bojonegoro bisa mengantongi biaya pembangunan berbunyi angka triliun. Hanya saja, kata kuncinya adalah, karena ada MINYAK (dengan huruf besar). APBD Bojonegoro 2010 Rp 1 triliun, tahun 2015 Rp 2,9 triliun, dan 2016 Rp 3,597 triliun.
Di sekitar tujuan uang inilah berbagai kepentingan bersekongkol. Sejarah minyak terdiri dari rangkaian intrik tentang ekonomi dan politik. Lalu, selagi uang datang melimpah dan bertumpuk, Bupati Bojonegoro, Suyoto pun lantang berkoar-koar tentang ‘Peradaban Masa Depan’. Ia bahkan tak berhenti memuji dirinya sendiri. Ia juga disambut tepuk tangan. Paling baru, Koordinator National Open Government Indonesia, Raden Siliwangi mengatakan,” Bojonegoro sejajar dengan Paris, Madrid, Skotlandia, Buenos Aires, Jalisco, Sao Paolo”.
Publik Bojonegoro manggut-manggut, atau bahkan seraya bangga bersorak? Tunggu dulu. Tentu saja barisan pengangguran di Bojonegoro yang berjumlah 22.000 orang itu akan berteriak geram? Sementara Disnakertransos Bojonegoro hanya bisa menjawab dengan penyediaan pelatihan kerja, tahun ini 6.000 peserta. Pelatihan itu pun di antaranya hanya sekadar pelatihan cukur rambut, usaha bakso dan mie ayam. Kelak setelah mereka lulus pelatihan dapat dipastikan akan berhambur berjualan ke ruas-ruas jalan atau trotoar di dalam kota Bojonegoro.
Selanjutnya petugas penertiban kota giliran menggaruk mereka. Juga sebagai bukti ketidakbecusan kekuasaan Bupati Suyoto selama tujuh tahun memperindah ‘pemanusiaan’ pedagang kakilima. Itukah maksudnya sepadan Paris? Itukah maksudnya sepadan Madrid? Bekal kepintaran mengurai keruwetan inikah pula yang dibawa Suyoto ke Jakarta, semasa ia menjalankan propaganda mengunggulkan dirinya sebagai calon gubernur DKI untuk menjawab kompleksitas problematika di sana?
Tentu saja tidak. Sebab Suyoto bisa menceritakan bagaimana keberhasilannya membawa Bojonegoro terpilih menjadi satu-satunya kabupaten di Jawa Timur yang memperoleh Award Sustainable Development Inisiative dalam forum KTT APEC, Oktober 2013. Atau mungkin Suyoto akan membagikan pengalamannya sebagai pembicara di forum Global di New York, Amerika Serikat, Februari 2014.” Seorang pemimpin itu tidak cukup hanya menjadi politisi, tetapi harus juga menjadi pendidik, pemberdaya, pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat,” kata Suyoto ketika itu, di hadapan pimpinan dan perwakilan dari 28 negara.
Penguasa pemerintahan di bumi minyak jelas punya glamour. Sebaliknya, uang begitu banyak itulah sekaligus menyebabkan pemerintah tidak tahu kepada peruntukan siapakah uang itu dibelanjakan? Kabupaten berpendapatan peringkat tertinggi ke-5 di Jawa Timur ini terdapat 196 ribu jiwa warga miskin. Kemiskinan selalu menjadi bagian sejarah muram Bojonegoro. Sebagaimana catatan CLM Panders dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java Indonesia. Panders menyebutkan, kemiskinan itu salah satunya disebabkan oleh mental birokrat yang bobrok.
Cerita minyak selalu lengket dengan cerita kekuasaan besar. Tetapi kekuasaan besar tidak pernah membesarkan kemakmuran rakyat. Anthony Simpson menulis dalam The Seven Sisters.” Secara konstruktif maupun destruktif minyak menggalakkan hal-hal ekstrem”.
Sejarah minyak pernah memunculkan nama Deterding. Ia Belanda yang memimpin Shell. Diberi gelar “Sir” oleh kerajaan Inggris. Ia juga dijuluki ‘Napoleon Peminyakan’. Dan penyakit kekaisaran ternyata mengenainya; ia terbius megalomania (kekhayalan tentang kekuasaan dan kehebatan diri) dan mungkin juga ‘sinting minyak’.
Dalam memoirnya yang terbit 1934, orang pendek ini menulis; setiap kata oil dengan O besar. Lalu ia memihak Hitler. Bombasme begini pula yang mungkin dikenang dari Joseph Cullinan,’Bukckskin Joe,’ salah satu pendiri Texaco. Di atap kantornya di Houston, Texas, orang ini memasang bendera bajak laut: tengkorak dengan silang tulang.
Sinting minyak terang tidak sedang mengganjili pemikiran Bupati Suyoto? Kini ia tengah mempromosikan kawasan sumur tua di Desa Wonocolo sebagai desa wisata ‘Litle Texas’. Di sana bakal ada akrobatik mobil Jeep. Rancangannya, mobil off-roader itu akan berjungkit-jungkit dulu di medan perbukitan hutan jati sebelum memasuki wilayah penambangan sumur tua Wonocolo.
Ironi selamanya merupakan ciri sejarah minyak. Tentang benda cair itu, penyanyi Frankie Lane dalam Blowing Wild meneriakannya sebagai ‘emas hitam’, sering menerbitkan demam tersendiri. Dus, demam ‘licin’ sekaligus hitam sedang berlangsung di Bojonegoro, memang. Uang yang datang dengan mudah tidak tahan jadi azimat.
Bupati MATOH: sebarisan rakyat tukang cukur rambut berduka, sebarisan rakyat penjual mie ayam dan bakso berkelok-kelok. Itu saja.
Oleh: Agung DePe
Penulis adalah Kepala Biro Koran Mingguan Optimis Bojonegoro dan Tuban.
E-mail: tjap_debumerah@yahoo.co.id