Tradisi Bojonegoro: Menikah di Hadapan Jenazah

Sukisno

Bagikan

BOJONEGORO (Rakyat Independen)- Tradisi kepercayaan Jawa, terutama di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yang masih terpelihara dengan baik adalah menikah di hadapan jenazah ayah pengantin putri. Hal itu disebabkan ayahnya meninggal dunia sebelum pernikahan anaknya dilaksanakan.

Seperti halnya dengan pernikahan antara Mawar (bukan nama sebenarnya), yang beralamatkan di Jalan Panglima Polim, Gang Akasia, Kelurahan Sumbang, Kecamatan Bojonegoro Kota, Kabupaten Bojonegoro yang hendak menikah dengan seorang laki-laki Mif (25) asal wilayah Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban.

Baik orang tua calon pengantin putri dan orang tua pengantin putra, telah bersepakat dan telah menemukan hari baik untuk menikahkan putra-putrinya, yaitu besok Puasa Romadhan hari ke 29 atau yang biasa disebut Malem Songo.

Namun, manusia hanya berusaha dan Tuhan ternyata berkehendak lain. Sebelum hari pernikahan datang, ayah pengantin putri GND (61) itu, telah dipanggil oleh Allah SWT atau meninggal dunia karena sakit.

Kejadian itu, membuat keluarga berembug dan disepakati untuk menjalankan Tradisi kepercayaan Jawa Kesandung watang. Dimana, sebuah tradisi jika ada pengantin yang sebelum ahad nikah ayah calon pengantin putri meninggal dunia, maka kedua mempelai bisa dinikahkan dihadapan jenazah ayahnya sebelum jenazah tersebut dimakamkan.

Pernikahan di gelar di Musholla Al Mubarok yang berada di Jalan Panglima Polim, Gang Akasia, yang tak dari rumahnya itu. Pernikahan dilaksanakan layaknya pernikahan biasa, dengan ada dua mempelai dan wali, PPN Kelurahan Sumbang dan Penghulu dari KUA Bojonegoro Kota.

Salah seorang Budayawan Bojonegoro Agung DePe yang turut menyaksikan pernikahan yang digelar di hadapan jenazah ayahnya itu mengatakan, bahwa pernikahan yang di gelar dihadapan jenazah ayah pengantin putri seperti itu merupakan budaya Jawa Kesandung Watang.

“Pernikahan dilaksanakan secara mendadak di hadapan jenazah orang tua pengantin putri yang semestinya akan menjadi wali nikah. Karena belum saatnya hari pernikahan yang direncanakan tiba, ayah pengantin putri sudah meninggal dunia sehingga dilakukan budaya kesandung watang. Sebuah tradisi menikahkan kedua mempelai lebih awal dari jadwal pernikahan yang ditentukan. Pada saat ayahnya meninggal dunia, maka kedua mempelai dinikahkan di hadapan jenazah ayahnya sebelum dimakamkan itu,” tegas pria yang akrab disaa DePe itu, Sabtu (29/4/2017).

Masih menurut pria yang merupakan Wartawan Senior Bojonegoro itu, tradisi Jawa tentang Methu (lahir), Manten (Pengantin) dan Mati (Meninggal dunia) itu sangat disakralkan pada Tradisi dan Budaya Jawa dan masih terpelihara dengan baik hingga saat ini. **(Kis/Red).

Bagikan

Also Read

Tinggalkan komentar