Gapura Besar Lamongan Ternyata Terinspirasi Dari Bangunan Candi Sendang Duwur Paciran
“Makam Sunan Sendang Duwur ini mempunyai bentuk yang lebih minimalis serta artistik dibandingkan dengan makam Sunan Drajat. Ketika hendak memasuki area pemakaman, terdapat gapura yang membentuk Tugu Bentar. Kemudian memasuki lebih dalam, terdapat Gapura Paduraksa yang berhiaskan ukiran kayu jati dan terdapat dua buah batu hitam menyerupai kepala kala yang kental akan nuansa Hindu,” terang Navis.
Kompleks pemakaman Sunan Sendang Duwur ini bersebelahan dengan masjid. Navis menjelaskan ada dua versi terkait keberadaan masjid Sunan Sendang ini. Pada versi pertama, masjid ini sebenarnya bukan dibangun oleh Sunan Sendang. Namun diboyong dari Mantingan, Jepara dalam waktu semalam.
Navis menuturkan saat itu Sunan Sendang ingin membangun sebuah masjid di desa setempat. Niatnya ini kemudian disampaikan kepada Sunan Drajat yang kemudian diteruskan ke Sunan Kalijaga.
“Setelah mendapat gelar sunan, Raden Nur berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijaga yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid,” ungkap Navis.
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Demak Bintoro dan bersuamikan Raden Thoyib. Ketika itu, Raden Thoyib membangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Mendapat saran dari Sunan Kalijaga, Sunan Drajat kemudian menyarankan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara. Namun ternyata masjid tersebut tidak dijual. Tapi siapa saja boleh memboyong masjid tanpa bantuan orang lain dalam waktu semalam.
Dengan karomah yang dimilikinya, ternyata Sunan Sendang mampu memboyong masjid dengan utuh. Masjid ini kemudian dibawa ke Desa Sendang Duwur yang saat ini masih berdiri bersebelahan dengan kompleks makam.
“Ketika itu Mbok Rondo Mantingan (Ratu Kalinyamat) mengatakan jika ia tidak akan menjual masjid tersebut. Tapi suaminya yang sudah wafat berpesan barang siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika, dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain dalam satu malam, masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma,” kisah Navis.
Sedangkan pada versi kedua, Sunan Sendang memboyong masjid dari Mantingan, Jepara melalui laut. Masjid ini dibawa oleh rombongan yang ikut mengantarkan ke Lamongan. Menurut Navis, setiba di Lamongan, rombongan ini diterima langsung oleh Sunan Sendang dan Sunan Drajat.
Selanjutnya rombongan dijamu dengan makanan ketupat dan minuman legen. Navis menyebut pendirian masjid ini ditandai dengan surya sengkala yang berbunyi ‘gunaning seliro tirti hayu’ yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
“Saat istirahat inilah sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat,” papar Navis.
Kabid Kebudayaan Disparbud Lamongan Miftah Alamuddin Gapura Paduraksa yang berada di kompleks makam Sunan Sedang memang sengaja diadopsi menjadi ikon gerbang Lamongan. Ini karena gapura tersebut mempunyai keistimewaan karena telah itetapkan sebagai kawasan cagar budaya.
Pembangunan Gapura Paduraksa sendiri dimulai sejak 2014 dan diresmikan pada malam pergantian tahun baru 2017/2018. Bangunan megah ini menelan biaya Rp 4 miliar yang diambilkan dari APBD Pemkab Lamongan.
“Keistimewaan Makam Sunan Sendang yaitu terdapat dua buah Gapura yang sangat menarik, yaitu Gapura Bentar dan Gapura Paduraksa,” kata Miftah.
“Gapura Paduraksa ini juga yang kini diabadikan menjadi gapura pintu masuk Lamongan dan juga menjadi ikon baru Lamongan yang diresmikan pada penghujung tahun 2017 lalu,” ujar Miftah.