Islam

Bagaimana Menentukan Awal Puasa 1 Ramadhan Pada Sidang Isbat

Rakyatnesia.com – Kapan awal Puasa Atau 1 Ramdhan 1442 Hijriah, hal tersebut akan segera di umumkan oleh Kementrian Agama (kemenag) melalui Sidang Sibat. Sebanyak 82 titik rukyatul hilal atau pengamatan bulan sabit tersebar di 43 provinsi.

Setelah kegiatan rukyatul hilal dilakukan, maka sidang isbat akan dijalankan oleh Kemenag dan pemuka agama untuk menentukan hari pertama berpuasa.

Beda dari tahun-tahun sebelumnya, sidang akan dilaksanakan melalui teleconference mengingat adanya pandemi Covid-19.

Ternyata rukyatul hilal bukan jadi satu-satunya cara menetapkan awal bulan Ramadan.

Mengutip buku karya Muh Hadi Bashori yang berjudul ‘Penanggalan Islam’ yang diterbitkan pada 2013, menyebutkan setidaknya ada 5 cara penentuan awal bulan dalam kalender Islam.Berikut penjelasannya.

5 cara penentuan awal bulan dalam kalender Islam

  1. Mengamati bulan sabit

Dikenal juga dengan istilah rukyatul hilal. Aktivitas pengamatan atau observasi terhadap visibilitas hilal yaitu bulan sabit di kaki langit yang tampak pertama kali, setelah terjadinya ijtima pada waktu ghurub atau matahari terbenam menjelang pergantian bulan.

Aktivitas ini biasanya dilakukan dengan mata telanjang, ataupun dengan bantuan alat optik untuk menetapkan jatuhnya awal bulan baru dalam penanggalan hijriyah. Ini juga yang dilakukan pihak pemerintah dan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU).

Baca juga : Hasil Sidang Isbat Puasa Ramadhan 1442/2021 Diumumkan Senin 12 April

Apabila hilal berhasil dilihat, maka pada magrib tersebut sudah masuk pada bulan berikutnya, alias umat Islam sudah bisa menjalankan ibadah salat tarawih pada malam itu. Akan tetapi apabila hilal tidak berhasil dilihat atau karena terhalang, maka wajib menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari, yang artinya puasa dimulai lusa.

  1. Melihat pasang surut air laut

Ini jadi salah satu pendapat unik dan menarik dalam penentuan awal bulan qamariyah, termasuk awal bulan Ramadan, yaitu dengan melihat fenomena pasang surut air laut.

Pasang surut air laut adalah gejala fisik berupa naik turunnya permukaan laut yang berulang dalam periode tertentu. Fenomena ini terjadi karena adanya gaya tarik benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi.

Oleh karena itu, pasangnya air laut yang tertinggi adalah pasang air laut yang terjadi ketika terjadinya ijtimak atau bulan baru. Inilah yang dijadikan pedoman pasang surut air laut dalam menetapkan awal bulan baru, termasuk awal bulan Ramadan.

3 Hisab atau perhitungan

Hisab dapat dijadikan sebagai pilihan dalam menetapkan awal bulan qamariah termasuk awal bulan Ramadan. Mengingat dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 5, disebutkan Allah SWT telah menciptakan keteraturan pada peredaran bulan dan matahari untuk perhitungan waktu bagi manusia.

Metode ini diadopsi organisasi keagaamaan Muhammadiyah, yang sejak dulu selalu menetapkan awal dan akhir bulan islam berdasarkan perhitungan bulan atau hari. Menggunakan cara ini cenderung lebih mudah, karena itu artinya tidak perlu mengamati air laut dan bentuk bulan di langit.

  1. Hisab Imkan Rukyat

Metode ini dianggap sebagai jalan tengah antara pendapat hisab atau perhitungan dan rukyatul hilal atau pengamatan hilal. Dimana setelah melihat hilal dalam batas angka minimum tertentu, baik dari perhitungan ataupun pengamatan, kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk angka-angka.

Sedangkan di Indonesia ada dua pendapat berbeda yang dipakai, yakni pendapat kriteria imkan rukyat MABIMS (Majelis Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia) dan kriteria Thomas Djamaluddin. Adapun kriteria imkan rukyat MABIMS adalah :

Pada saat matahari terbenam ketinggian bulan di atas cakrawala minimum 2 derajat dan sudut elongasi (jarak lengkung) bulan-matahari minimum 3 derajat.
Atau pada saat bulan terbenam usia bulan minimum 8 jam dihitung sejak ijtimak (keluarnya bulan baru).

  1. Perhitungan Jawa

Perhitungan ini juga dikenal dengan istilah hisab aboge, perhitungan ini merupakan sistem perhitungan pertama kali yang digunakan di Indonesia ini karena adanya upaya interelasi agama Islam dengan budaya Jawa.

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di pulau Jawa pernah berlaku sistem kalender Hindu, yaitu sistem kalender berdasarkan peredaran matahari mengelilingi bumi. Permulaan tahun saka ini bertepatan dengan 1 tahun setelah pengobatan Prabu Syaliwahono (Aji Soko) sebagai raja India. itulah kemudian kalender Hindu lebih dikenal sebagai kalender Saka.

Tapi sejak masuknya Islam, kalender Saka dipadukan dengan kalender hijriyah. Metode aboge dalam menetapkan bulan Ramadan masih digunakan oleh mayoritas penganut kalender Jawa Islam (kejawen). Keadaan ini membuat perhitungan awal Ramadan sering berbeda dalam penetapan awal bulan dengan pemerintah maupun ormas Islam lainnya.

Penjelasan lebih lanjut mengenai perhitungan awal Ramadhan menggunakan Hisab Dan Rukyat simak dibawah Ini

Metode Hisab Dan Rukyat

Dikutip dari Wikipedia

Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.

Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang tampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.

Baca juga : Bulan Puasa Ramadhan Tahun Ini 1442/2021

Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.

Hisab

‘Hisab secara harfiah ‘perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).

Dalam Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.

Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.

Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab sering kali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.

Rukyat

Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.

Namun, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit” sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat. [1]

Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut

Cara Menentukan Awal BUlan Kalender Hijriyah

Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.

Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:

Rukyatul Hilal

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.

Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:

Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari”.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.

Wujudul Hilal

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.

Imkanur Rukyat MABIMS

Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei DarussalamIndonesiaMalaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:

Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:

  • Pada saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
  • Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.

Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi.

  • Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
  • Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
  • Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.

Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.

Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis

Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.

Perbedaan Kriteria Dua Metode

Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda sering kali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.

Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Tetapi sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Sementara itu, Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012, dimana awal bulan Ramadhan ditetapkan Muhammadiyah tanggal 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan awal bulan Ramadhan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012. Namun, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.

moch akbar fitrianto

Jurnalis Dari Rakyatnesia.com Dan Sudah di dunia jurnalistik selama lebih dari 10 tahun. Tulisan berita Lamongan, umum, prediksi bola , dan profil sudah bukan hal asing lagi, Lugas dengan Fakta.

Related Articles

Back to top button