Rumah Baca Api Literasi, Karya Putra Lamongan untuk Negeri

moch akbar fitrianto

Bagikan

Dalam beberapa seminar atau diskusi secara formal  maupun online yang membahas tantangan dan urgensiLiterasi kekinian yang sudah dibahas oleh teman-teman pegiat Rumah Baca Api Literasi. Sering teman-teman menjumpai kritikan tajam ditujukan kepada komunitas RBAL mengenai kesadaran literasi yang minim di lingkungan sekitar. Tren sekarang ini banyak kaum muda yang tertarik di dunia digital maupun politik, tapi sedikit yang menekuni kompetensi berliterasi.

Menurut hemat saya, paling tidak ada dua hal yang bisa dijadikan ukuran kenapa Indonesia kita sekarang relatif minim literasi, di antaranya: pertama, dengan melihat seberapa banyak buku dan laporan penelitian yang menjadikan Indonesia sebagai obyek riset, baik oleh kader indonesia maupun peneliti luar Indonesia. Kedua, kekagetan warga Indonesia dalam menyikapi perbedaan pandangan, paradigma pemikiran, dan keyakinan.

Dalam beberapa tahun terakhir, sangat jarang kita temui buku baru atau laporan penelitian dari para sarjana dalam dan luar negeri yang membahas tentang literasi indonesia, baik dari sisi gerakan maupun pemikiran kekiniannya. Fakta tersebut menjelaskan bahwa ide pemikiran  yang terbingkai ke dalam sebuah karya nyata di lingkungan  Indonesia mengalami pelambatan untuk tidak mengatakan terjadi stagnasi. Kader-kader kita, mau diakui atau tidak, lebih sibuk pada urusan pengelolaan amal usaha dan konflik internal dibanding meluangkan waktu untuk menuangkan gagasan cerdasnya ke dalam sebuah buku, apalagi karya dibuat punya bobot kualitas mumpuni (hasil riset dengan metodologi yang kuat).

Jika tradisi literasi ini membudaya di lingkungan warga Lamongan, kemudian topik-topik problem kemanusiaan itu benar-benar diangkat ke dalam sebuah karya nyata (dalam bentuk buku atau jurnal ilmiah), dengan melakukan internalisasi gerkan, tidak mustahil akan dengan cepat terealisasi. Para sarjana di kampus-kampus, masyarakat akan dengan mudah menjadikan karya-karya tersebut sebagai rujukan untuk membaca pergerakan di Indonesia.

Selain itu, dari berbagai buku atau artikel jurnal ilmiah itu juga, kita berharap akan kembali melihat perkembangan umat islam di Indonesia yang penuh dengan keramahan, toleransi, serta peduli terhadap kepentingan umat dan bangsa. Dengan begitu, Rumah Baca Api Literasi bisa menjadi “alat dorong” yang memotivasi masyarakat untuk menjadi bangsa yang berliterasi (membaca, menulis, berdiskusi, menghitung dan menganalisa kehidupan sosial)

Maraknya berbagai ujaran kebencian dan olok-olok (berkata kasar) dengan menyinggung perbedaan pilihan politik, paradigma pemikiran dan keyakinan di banyak jejaring sosial adalah bukti yang tidak bisa dibantah bahwa bangsa ini tengah mengalami nirliterasi.

Baca Juga  Gara - Gara video viral tante Di Dood, Cinta terlarang Karena Check in

Dalam laporan penelitian yang bertajuk World’s Most Literate Nation, yang disusun oleh Central Connecticut State University belum lama ini mengungkapkan, “bangsa yang masuk dalam kategori illiterate, masyarakatnya cenderung suka mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar, berperilaku brutal dan suka merusak, serta kerap melanggar hak asasi manusia.” Sayangnya, sebagaimana disebut dalam riset itu, bahwa tingkat literasi Indonesia berada di peringkat ke 60 dari 61 negara yang diteliti.

Kaitannya dengan  yang terjadi di lingkungan teman-teman pegiat Rumah Baca Api Literasi (RBAL), bahwa sebagian di antara kita kerap kaget ketika merespons sebuah perbedaan pandangan. Hal ini dengan mudah kita temui di berbagai akun pribadi dan grup media sosial yang “ditinggali” oleh para pegiat literasi, baik yang berada di Facebook, Instagram maupun WhatsApp.

Selain itu, hal ini bisa menjadi oto kritik bagi  kita semua, bahwa potret ketidakcakapan menyerap informasi juga melekat pada diri sebagian pegiat literasi, bentuknya adalah dengan mempercayai artikel dan gambar berita palsu (hoax). Padahal, konten berita-berita bodong yang akhir-akhir ini memarakkan saluran sosial tak lebih dari sekedar informasi bodong, penuh propaganda, dan membodohi umat.

Dengan tujuan untuk menyelamatkan masa depan anak-anak muda yang dalam hal ini merupakan pengguna mayoritas internet dari cara berfikir yang instan akibat akses informasi yang begitu mudah, literasi di media sosial dapat dijadikan lapangan baru oleh teman-teman RBAL. Fokus di bidang teknologi informasi ini perlu dikerjakan secara serius (tidak sampingan dan sembarangan) karena memuat beberapa urgensi, di antaranya: pertama, menyelamatkan masa depan anak-anak muda yang dalam hal ini merupakan pengguna mayoritas internet dari cara berfikir yang instan akibat akses informasi yang begitu mudah.

Paling tidak, teman-teman RBAL ini dapat membiasakan diri untuk menelan informasi yang masuk secara mentah. Sebab itu, literasi yang perlu dipahamkan dan diajarkan oleh teman-teman RBAL kepada masyarakat yang belum paham apa itu literasi untuk selalu bersikap  korektif: setiap informasi pertama yang diterima, mesti diikuti dengan informasi. Kedua, setiap first look harus diikuti dengan secondlook supaya dapat menyingkap kebenaran yang dimaksud.

Ketiga, dengan menyemarakkan kerja-kerja literasi di dunia maya, langkah ini bisa menjadi corong yang menyuarakan gerakan dan pemikiran sosial, pendidikan serta intelektual yang bisa didengar oleh masyarakat global.

Baca Juga  Cerita Pendek Suami Istri, Perselingkuhan Yang Panas Dan Bikin Viral

Strateginya, melestarikan budaya membaca dan berdiskusi di tengah-tengah masyarakat, mempublikasikan kegiatan RBAL sebagai salah satu jalur pendidikan alternatif, memanfaatkan kajian berbagai multi disiplin ilmu dalam kegiatan Rumah Baca Api Literasi, mengembangkan ilmu pengetahuan masyarakat dengan transformasi keilmuan. Hal ini  sebagaimana  misi RBAL sehingga bisa berperan  aktif dalam proses pengembangan edukasi, sosial dan budaya  membaca dalam masyarakat yang sudah dipraktikkan  teman-teman RBAL di Lamongan dan luar Lamongan.

Berhadapan dengan fenomena generasi milenial yang begitu unik dan rentan mengenai budaya literasi. Bersikap antipati dan acuh pada generasi milenial ini bisa berakibat bukan saja akan membuat mereka  semakin jauh tetapi juga terkontruksinya persepsi di kalangan generasi milenial ini tentang literasi yang terus kami gencarkan kepada mereka. Bahkan lebih jauh dari dari itu dengan mengupayakan tumbuh suburnya budaya literasi di kalangan generasi milenial.

Upaya yang bisa ditempuh adalah dengan terus menerus menegosiasikan spirit berkemajuan tersebut dengan kesadaran tinggi. Setiap hari sabtu sore kami membuka lapak baca gratis di terminal Tunggul Paciran, membuat seminar literasi, workshop kepenulisan, kajian malam insan berkemajuan (KAMISAN) setiap hari kamis malam, obrolan buku (bedah buku), KOPDAR (kopi  darat) Literasi, diskusi online yang terus berproses akseleratif. Ini penting terus dilakukan supaya RBAL mampu mendiversikan gerak, mode, dan  instrumen dakwahnya sehingga generasi milenial ini merasa terwadahi dan terakomodasi dalam tanda besar dakwah literasi. RBAL di zaman now sudah harus terbuka. Tersedianya tulisan teman-teman RBAL di berbagai media online tentu saja memudahkan siapa saja mengaksesnya untuk kemudian memiliki referensi dan persepsi yang baik.

Di sisi lain kalau kita masih ingat, beberapa tahun yang yang lalu pernah  ada kampanye gencar tentang perlunya masjid memiliki perpustakaan. Kala itu banyak masjid yang mendapat bantuan buku untuk modal mendirikan perpustakaan. Ada kampanye gerakan wakaf buku segala. Bahkan telah berdiri sebuah badan yang khusus membina perpustakaan masjid ini.

Dalam waktu sebentar memang kelihatan banyak takmir yang kemudian memajang buku-buku koleksinya di masjid.  Akan tetapi karena kurang pengalaman, atau karena belum mampu menciptakan daya  tarik, perpustakaan ini menghilang dari masjid-masjid. Jadilah masjid-masjid itu seperti sebelumnya, masjid tanpa kegiatan perpustakaan. Buku koleksinya disimpan rapi takut hilang, atau bisa jadi sudah habis dipinjam orang tanpa dikembalikan.

Baca Juga  Cerita Pendek Suami Istri, Perselingkuhan Yang Panas Dan Bikin Viral

Sebenarnya, perlukah sebuah masjid mendirikan perpustakaan? Jawabanya tentu saja perlu. Mengapa? Karena dengan adanya perpustakaan umat Islam atau jamaah masjid akan terpacu untuk terus maju, tidak kalah dengan umat agama lain yang lebih dulu memiliki perpustakaan di tempat-tempat ibadah mereka.

Adanya perintah Iqra’ itu sekaligus dapat ditafsirkan agar selain gemar membaca dan mengkaji sesuatu secara ilmiah, umat Islam juga diharapkan mampu menulis dengan baik. Kedua budaya ini, budaya baca dan budaya tulis ini erat kaitannya.

Islam sesungguhnya menghendaki agar umatnya mengembangkan budaya baca-tulis. Adanya perintah Iqra’ itu sekaligus dapat ditafsirkan agar selain gemar membaca dan mengkaji sesuatu secara ilmiah, umat Islam juga diharapkan mampu menulis dengan baik. Kedua budaya ini, budaya baca dan budaya tulis ini erat kaitannya. Orang yang gemar membaca akan lebih mudah menulis, dan orang yang gemar menulis hampir dipastikan juga gemar membaca.

Kalau dikaji, masyarakat yang maju, termasuk masyarakat ilmu pengetahuan yang sekarang hadir di mana-mana, hampir dipastikan memiliki budaya baca dan budaya tulis yang maju. Umat Islam di masa jayanya dulu dihargai dan dihormati orang sampai berabad-abad juga karena kemampuannya membaca dan menuliskan berbagai ilmu pengetahuan, juga karya seni istimewa yang menyimpan kearifan manusia. Pusat-pusat kerajaan Islam, baik di Andalusiana (Spanyol) maupun di Mesopotamia Irak/Bagdad, selain memiliki masjid yang besar dan agung yang juga dipergunakan sebagai tempat belajar, juga memiliki  perpustakaan yang isinya puluhan ribu buku.

Nah, kalau masjid-masjid kita sekarang miskin buku tanpa perpustakaan, tanpa ada kegiatan membaca dan menulis, maka ini sungguh merupakan kemunduran yang patut ditangisi. Oleh karena itu, agar generasi nanti tidak mundur karena kurangnya literasi, mulai sekarang marilah kita hiasi kembali masjid-masjid kita dengan buku-buku, dengan kitab-kitab, dengan Al-Qur’an bersama dengan tafsir yang jumlahnya sangat banyak itu. Kemudian kita tingkatkan lagi, setelah masjid-masjid kita kaya akan buku, marilah kita jadikan masjid kita dan takmir kita sebagai lembaga yang secara ilmu pengetahuan produktif, yaitu dengan melakukan gerakan penulisan, penerjemahan, dan penerbitan. Masjid Salman ITB Bandung yang terkenal dan kami juga punya Rumah Baca Api Literasi di wilayah Lamongan ini menjadi pusat gerakan pencerahan masyarakat, kami juga  melengkapi diri sebagai pusat gerakan ilmu dan peradaban. Ada kegiatan penerbitan, yang menerbitkan buku dan media percetakan.

Untuk ini dalam struktur takmir perlu dibentuk seksi perpustakaan, yang tugasnya adalah menambah koleksi buku, menata, mengatur, dan melayani peminjaman. Baik yang akan dipinjam di tempat atau melayani peminjaman buku yang akan dibaca di rumah. Bagian perpustakaan itulah yang bertugas meningkatkan daya Tarik perpustakaanya, agar setiap hari atau setiap buka selalu ramai dikunjungi  jamaah masjid.Agar perpustakaan masjid dapat menarik dan ramai dikunjungi salah satu kiatnya adalah menjalankan para peminjam. Manjakan sekaligus didiklah mereka agar bertanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab dalam hal duniawi, namun juga tanggung jawab dalam hal akhirat. Harapan saya bukan hanya menghidupkan masjid yang seolah telah ‘mati’ dalam kebisuannya dalam dunia literasi, namun juga menghidupkan kembali semangat para pemuda juga orang tua agar termotivasi untuk mengembangkan budaya literasi di tengah masyarakat.

Bagikan

Also Read