Negara Arab Bersatu, Suruhan As Jumpai Presiden Palestina Usai Ditolak Mentah Putra Mahkota Saudi
Daftar Isi
TRIBUNNEWS.COM – Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berperan aktif dalam upaya meredakan dan menuntaskan perang Israel dan Hamas di Gaza.
Upaya diplomatik pun dilaksanakan dengan merangkul negara-negara kokoh untuk menjadi perantara Israel-Palestina.
Setelah memperoleh penegasan dari Kerajaan Arab Saudi, Blinken masih berupaya melakukan upaya mediasi dengan menemui Presiden Palestina, Mahmoud Abbas.
Blinken bersikukuh, reformasi Otoritas Palestina merupakan bab penting dari tubuh pemerintahan masa depan di Jalur Gaza.
“Menteri Blinken memastikan kembali bantuan Amerika Serikat terhadap pembentukan negara Palestina merdeka selaku jalan terbaik untuk mempertahankan perdamaian dan keselamatan bagi Palestina dan Israel,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller, dikutip dari The National News.
“Dia juga membahas faedah revitalisasi Otoritas Palestina.”
Di segi lain, Arab Saudi menjadi tuan rumah konferensi puncak para menteri mancanegara dari lima negara di wilayah tersebut pada hari Kamis.
Hal ini dilaksanakan untuk mengembangkan perilaku persatuan Arab tentang perang di Gaza.
Serta inisiatif politik di saat pertempuran berakhir, ungkap dua diplomat senior Arab terhadap The Times of Israel.
Para menteri negara-negara Arab direncanakan membahas upaya-upaya untuk memperluas tekanan terhadap gencatan senjata di Gaza.
Kemudian mempergunakan kesediaan mereka untuk mengambil bab dalam rehabilitasi Jalur Gaza sehabis perang, selain lebih mengintegrasikan Israel ke wilayah tersebut, dengan syarat bahwa Yerusalem oke untuk mengambil tindakan yang bikin konflik.
“Sebuah jalan yang tidak sanggup diubah menuju negara Palestina pada akhirnya,” kata diploma tersebut.
Pertemuan tersebut merupakan pola modern dari front persatuan yang dibangun oleh mitra-mitra Israel di Arab dan sekutu-sekutu potensialnya, yang kian berlawanan dengan pemerintahan Israel.
Seperti diketahui, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, ingin perang ini berlarut-larut hingga berbulan-bulan hingga “kemenangan total” tercapai.
Sementara, golongan negara-negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi menyampaikan Israel kemitraan yang sanggup digunakan untuk memerangi Iran secara lebih efektif, yang sudah usang diharapkan oleh Netanyahu.
Pertemuan tersebut, juga akan didatangi oleh Hussein al-Sheikh, pembantu utama Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas; seiring Riyadh terus memperluas kerja samanya dengan Ramallah, meredakan keresahan bahwa Arab Saudi akan meninggalkan usaha Palestina sambil berupaya meningkatkan status regional dan globalnya, kata kedua diplomat tersebut.
Bergabung dengan Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan dan Sheikh akan menjadi diplomat utama dari Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab dan Qatar, menurut para diplomat.
KTT ini menyusul beberapa konferensi diam-diam yang diselenggarakan Riyadh selama sebulan terakhir untuk para pejabat tinggi keselamatan nasional dari Arab Saudi, Yordania, Mesir dan Otoritas Palestina.
Pertemuan-pertemuan tersebut berkonsentrasi pada duduk masalah keamanan, menyerupai apakah negara-negara Arab bersedia menawarkan pasukan untuk menolong mengamankan Gaza sehabis perang.
Salah satu diplomat menyampaikan terhadap The Times of Israel, para penerima menyatakan kesediaannya untuk melakukan pekerjaan sama dalam upaya tersebut untuk rentang waktu sementara apabila hal tersebut diminta secara terbuka oleh Otoritas Palestina berniat untuk hasilnya mendirikan negara Palestina.
Pertemuan pada hari Kamis ini tidak akan terlalu konsentrasi pada duduk masalah keamanan, melainkan lebih banyak membahas isu-isu menyerupai reformasi PA secara signifikan.
Sehingga lebih cocok untuk kembali memerintah Gaza dan mengoordinasikan tindakan yang ingin diambil negara-negara untuk meningkatkan korelasi dengan Israel, yakni Arab Saudi.
Persatuan Negara Arab Rapatkan Barisan
Arab Saudi secara khusus menentukan untuk memperluas penerima di luar negara-negara yang bergabung dalam pertemuan-pertemuan yang berkonsentrasi pada keselamatan sebelumnya, tergolong Qatar dan UEA.
Meskipun Qatar acap kali tidak ditambahkan dalam aliansi tersebut alasannya merupakan dukungannya terhadap pemerintah Islam, keputusan untuk memasukkan Doha merupakan ratifikasi atas pengaruhnya terhadap Hamas, yang dihargai oleh negara-negara penerima selaku hal yang penting untuk penyusunan rencana pascaperang, kata salah satu diplomat senior Arab.
Negara-negara Arab yang ikut serta dalam konferensi hari Kamis tak ingin Hamas dimasukkan dalam kepemimpinan politik Gaza sehabis perang.
Namun mereka percaya bahwa golongan teror tersebut akan bisa bertahan dalam beberapa bentuk dan bahwa tingkat perjanjian dari mereka akan diharapkan gar sukses mengembangkan rehabilitasi Gaza, diplomat itu menjelaskan.
Diplomat tersebut mengakui bahwa ramalan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Netanyahu, yang pada hari Rabu beropini bahwa satu-satunya cara supaya Israel sanggup meningkatkan korelasi dengan negara-negara tetangga Arabnya merupakan dengan sukses dalam misinya untuk mengalahkan Hamas sepenuhnya.
Perdana Menteri menyatakan bahwa hal yang kurang dari itu akan memungkinkan kebangkitan golongan teror dan menampilkan tingkat kehabisan yang sanggup dieksploitasi sehabis Hamas membantai sekitar 1.200 warga Israel pada tanggal 7 Oktober dan menyandera 253 orang lainnya.
Bersumpah untuk memberantas Hamas, Israel melancarkan serangan militer besar-besaran di Gaza, yang sudah menewaskan lebih dari 27.300 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan yang dikontrol Hamas.
Angka tersebut tidak sanggup diverifikasi secara independen dan meliputi sekitar 10.000 teroris Hamas yang menurut Israel sudah terbunuh dalam pertempuran. Israel juga menyampaikan pihaknya membunuh sekitar 1.000 lelaki bersenjata di wilayah Israel pada 7 Oktober.
Namun empat bulan sehabis perang, wilayah di Gaza utara yang sukses dibersihkan oleh IDF dari pejuang Hamas sejak permulaan perang mulai menampilkan kebangkitan mereka dalam beberapa hari terakhir.
Terlepas dari itu, sebagian besar kesuksesan inisiatif Arab bergantung pada perjanjian yang coba dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan AS antara Israel dan Hamas yang hendak membebaskan 136 sandera yang tersisa dengan imbalan perpanjangan jeda.
AS berencana mempergunakan jeda ini untuk merundingkan gencatan senjata yang lebih permanen dan mengembangkan inisiatif regionalnya.
Namun, tawar menawar penyanderaan kembali menemui persoalan pada hari Selasa sehabis Hamas menyikapi kerangka kerja yang direkomendasikan oleh para perantara dengan keadaan yang menurut Israel dan AS tidak sanggup dimulai, tetapi Blinken menyampaikan pada hari Rabu bahwa masih ada ruang bagi kedua belah pihak untuk bergerak maju.
Visi yang ingin diraih oleh negara-negara Arab pada konferensi hari Kamis sudah diperjuangkan oleh pemerintahan Biden selama berbulan-bulan, dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken kembali memaparkannya terhadap Israel selama kunjungannya ke Tel Aviv pada hari Rabu.
“Anda sanggup menyaksikan jalan ke depan bagi Israel dan seluruh wilayah dengan integrasi, dengan normalisasi, dengan jaminan keselamatan [untuk Israel], dengan jalan menuju negara Palestina. Hal ini sepenuhnya merubah persamaan dan masa depan menjadi lebih baik bagi Israel, Arab, Palestina, dan dengan demikian mengisolasi golongan menyerupai Hamas, mengisolasi negara menyerupai Iran, yang mengharapkan masa depan yang sungguh berbeda,” kata Blinken dalam konferensi pers sehabis konferensi dengan para pemimpin Israel.
“Terserah pada Israel untuk menentukan apa yang ingin mereka lakukan… Yang bisa kita laksanakan hanyalah menampilkan kemungkinan-kemungkinan yang ada… Alternatif yang ada dikala ini terlihat menyerupai siklus kekerasan, kehancuran, dan keputusasaan yang tiada akhir. Kita tahu di mana jalan terbaiknya, namun saya tidak meremehkan keputusan-keputusan sukar yang perlu diambil oleh semua pihak untuk menempuh jalan itu,” tambahnya.
Saudi Tolak Normalisasi Sebelum Palestina Merdeka
Kerajaan Arab Saudi memastikan terhadap Amerika Serikat bahwa negara tersebut tidak akan menjalin korelasi diplomatik dengan Israel sebelum Palestina diakui selaku negara merdeka.
Kementerian Luar Negeri Kerajaan Arab Saudi dalam suatu pernyataannya hari Rabu (7/2/2024) mengatakan,”tidak akan ada korelasi diplomatik dengan Israel kecuali negara Palestina merdeka diakui menurut perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur.”
Dikutip dari Alarabiya, pemerintah Saudi dengan tegas tidak akan menjalin korelasi diplomatik hingga “agresi” Israel di Jalur Gaza berhenti dan semua pasukan pendudukan Israel menawan diri dari Gaza.
“Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa tentang diskusi antara Kerajaan Arab Saudi dan Amerika Serikat tentang proses perdamaian Arab-Israel, dan mengingat apa yang sudah disampaikan terhadap Juru Bicara Keamanan Nasional AS, Kementerian Luar Negeri memastikan bahwa posisi Kerajaan Arab Saudi senantiasa teguh dalam duduk masalah Palestina dan pentingnya persaudaraan rakyat Palestina memperoleh hak-hak mereka yang sah.”
“Kerajaan sudah mengkomunikasikan posisi tegasnya terhadap pemerintah AS bahwa tidak akan ada korelasi diplomatik dengan Israel kecuali negara Palestina merdeka diakui di perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur selaku ibu kotanya, dan bahwa aksi Israel di Jalur Gaza tidak boleh dan dihentikan. Semua pasukan pendudukan Israel mundur dari Jalur Gaza.”
Kerajaan Arab juga mengulangi seruannya terhadap anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang belum mengakui negara Palestina, untuk mempercepat ratifikasi negara Palestina menurut perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur selaku ibu kotanya, sehingga rakyat Palestina sanggup memperoleh hak-hak mereka yang sah dan supaya perdamaian menyeluruh dan adil tercapai bagi semua orang.
Pada hari Selasa, juru bicara Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby menyampaikan bahwa pemerintahan Biden sudah memperoleh jawaban positif bahwa Arab Saudi dan Israel bersedia untuk terus melakukan diskusi normalisasi.
Tetangga Arab Saudi di Teluk, Uni Emirat Arab dan Bahrain menjalin korelasi dengan Israel pada tahun 2020 menurut Perjanjian Abraham.
Israel mengawali serangan militernya di Gaza sehabis militan dari Gaza yang dikuasai Hamas membunuh 1.200 orang dan menyandera 253 orang di Israel selatan pada 7 Oktober.
Sementara angin segar tiba dari Qatar. Mediator Qatar mengumumkan pihak Hamas menyampaikan sinyak positif tentang usaha gencatan senjata dengan ISrael.
Kelompok militan di Palestina tersebut menyatakan ingin Israel menuntaskan serangan di Gaza.
Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani menggambarkan reaksi Hamas terhadap anjuran tersebut selaku secara lazim positif, akan tetapi ia tak mau merinci maksud dari positif tersebut.
Sementara di tempat sama, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyampaikan sudah berdiskusi dengan para pejabat Israel di saat ia mendatangi negara itu.
“Masih banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan. Namun kami tetap percaya bahwa perjanjian itu mungkin dan memang penting, dan kami akan terus melakukan pekerjaan tanpa henti untuk mencapainya,” ungkapnya dikutip dari Al Jazeera.
Qatar, Mesir dan AS terus melakukan mediasi untuk menghentikan pertempuran di Gaza.
Berbicara terhadap wartawan di Doha pada hari Selasa, Blinken menyampaikan perjanjian itu “penting”.
Hamas menyampaikan dalam suatu pernyataan bahwa para pemimpinnya sudah meninjau “kesepakatan gencatan senjata yang komprehensif dengan semangat positif”, tergolong detail tentang penjagaan pemberian dan tempat berlindung, rekonstruksi, pencabutan pengepungan yang sudah melumpuhkan selama 17 tahun, dan solusi “ proses pertukaran tahanan”.
Qatar sudah melakukan pekerjaan sama dengan AS dan Mesir untuk menengahi gencatan senjata yang hendak melibatkan penghentian pertempuran dan pembebasan sandera yang ditahan oleh Hamas.
PM Sheikh Mohammed Al Thani menyampaikan ada sejumlah tantangan yang dihadapi para perantara selama perundingan, dan insiden di Gaza mempengaruhi jalannya perundingan.
“Kami berharap untuk melihatnya menciptakan dan menciptakan segera,” katanya.
(Tribunnews.com/Chrysnha/Hendra Gunawan)