Koridor Philadelphia: Tanah Strategis yang Memunculkan Ketegangan antara Israel dan Mesir

rakyatnesia.com – Dalam konteks perang yang memasuki bulan ketiga di Jalur Gaza, serangan intensif yang dilakukan oleh Israel telah mengakibatkan evakuasi massal penduduk Palestina ke wilayah selatan.

Sejumlah besar pengungsi Palestina kini berada di Rafah, di perbatasan Mesir, seiring dengan eskalasi serangan Israel.

Perluasan operasi militer Israel di Gaza selatan telah menimbulkan kekhawatiran di Mesir, yang menjaga ketat perbatasannya dan menutupnya, khawatir akan “pengungsian paksa warga Palestina” ke Semenanjung Sinai di wilayah Mesir.

Situasi ini memicu ketegangan antara pemerintah Israel dan Mesir, terutama terkait status Koridor Philadelphia, sebidang tanah sempit sepanjang 14 kilometer di perbatasan antara Gaza dan Mesir yang dianggap penting.

Dalam beberapa hari terakhir, tank-tank Israel dilaporkan mulai bergerak ke Gaza selatan di sepanjang koridor Philadelphia.

Pada konferensi pers tanggal 30 Desember, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan niatnya untuk mengambil kendali atas koridor ini.

“Koridor Philadelphia… harus ada di tangan kami. Koridor itu harus ditutup. Jelas bahwa pengaturan lain apa pun tidak akan menjamin demiliterisasi yang kami inginkan,” kata Netanyahu.

Sebelum pernyataan pemimpin Israel tersebut, sejumlah pejabat Mesir seperti anggota parlemen Mustafa Bakri, telah memperingatkan dampak dari setiap tindakan militer Israel di koridor ini

Pejabat Mesir lainnya juga menyatakan keprihatinannya mengenai dampak operasi militer Israel di Gaza selatan yang dapat menyebabkan warga Palestina mengungsi ke Mesir.

“Ini adalah perkembangan berbahaya yang menandakan konsekuensi mengerikan bagi wilayah perbatasan Mesir. Perbatasan Mesir adalah zona merah,” tulis Bakri di X, yang sebelumnya bernama Twitter.

Apa itu koridor Philadelphia?

Mesir dan Israel secara teknis telah berdamai sejak akhir 1970-an dan menjalin hubungan diplomasi, ekonomi, dan keamanan yang kuat.

Koridor Philadelphia adalah salah satu hasil dari hubungan keamanan tersebut. Koridor ini dibangun pada 1979 sebagai “zona penyangga demiliterisasi” antara kedua negara.

“Koridor Philadelphia adalah ‘tanah tak bertuan’ yang membentang di sepanjang wilayah selatan Gaza di perbatasan dengan Mesir, dari Laut Mediterania hingga perbatasan Kerem Shalom,” kata peneliti dari Universitas Strasbourg dan Institut Konvergensi Migrasi Prancis, Lorenzo Navone.

“Koridor ini dibangun pada 1979 ketika Israel mulai menarik diri dari utara Sinai yang mereka duduki saat itu, lalu bersama dengan Mesir, mereka memutuskan wilayah perbatasan ini akan dipertahankan di antara keduanya,” jelas Navone.

Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian damai antara kedua negara ini ditandatangani setelah Perjanjian Camp David di Washington.

Di dalamnya mencakup bahwa koridor tersebut akan dikendalikan dan dipatroli oleh pasukan Israel.

Namun selama bertahun-tahun perkembangannya, koridor selebar 100 meter tersebut telah banyak berubah.

Setelah Perjanjian Oslo pada 1995, Israel diizinkan untuk mempertahankan koridor tersebut.

Akan tetapi setelah Israel mundur dari Gaza pada 2005, mereka menandatangani Kesepakatan Philadephia dengan Mesir.

Kesepakatan itu memberi wewenang kepada Kairo untuk menempatkan 750 petugas penjaga perbatasan di sepanjang koridor untuk berpatroli di sisi perbatasan Mesir.

“Mesir kemudian diberi ‘kontrol visual’ terhadap koridor tersebut dan penyeberangan perbatasan di Rafah dijalankan oleh Otoritas Palestina (PA) dan otoritas Mesir dengan diawasi Uni Eropa,” kata Navone.

Namun ketika Hamas memenangkan pemilu dan menguasai Gaza pada 2007, Israel memblokade Gaza. Israel dan Mesir juga menyepakati untuk menutup perbatasan Rafah.

Mengapa Koridor Ini Penting?

Salah satu poin Kesepakatan Philadelphia yang ditandatangani Mesir dan Israel adalah “mencegah terorisme, penyelundupan senjata dari Mesir ke Gaza, serta infiltrasi aktivitas kriminal.”

Kesepakatan lainnya adalah “penempatan pasukan penjaga perbatasan yang ditunjuk” di sepanjang koridor Philadelphia untuk berpatroli di perbatasan sisi Mesir.

Selain itu, soal “koordinasi berkelanjutan antara Israel dan Mesir” dalam operasi dan inteligen.

Salah satu tujuan koridor ini adalah untuk mencegah pergerakan orang dan “barang ilegal” seperti senjata dan amunisi di antara Mesir dan Gaza.

Setelah “blokade total” yang diberlakukan Israel di Gaza pada 2007 ketika Hamas berkuasa, ratusan terowongan penyelundupan mulai dibangun di bawah koridor ini.

Israel yakin terowongan ini berperan penting dalam mempersenjatai Hamas dalam serangan 7 Oktober di wilayahnya.

Namun Mesir mengatakan bahwa terowongan yang menghubungkan Gaza ke Semenanjung Sinai yang kemungkinan dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk keluar masuk wilayah Palestina, telah dihancurkan pada 2013.

“Selama bertahun-tahun, Mesir memerangi pemberontakan jihadis di wilayah Sinai yang terletak di timur laut negara itu, dan menuduh Hamas melatih militan Mesir,” jelas jurnalis BBC Arab di Kairo, Alaa Ragaie.

“Selama 15 tahun terakhir, Mesir telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat keamanan perbatasan di koridor ini dari sisinya, dengan membangun tembok beton di sepanjang perbatasan dengan Gaza pada tahun 2020,” sambungnya.

Ada pula laporan yang menyebut bahwa Mesir telah memperluas koridor tersebut sebagai bagian dari upaya memperkuat keamanan perbatasannya.

“Pada tahun 2014, Mesir memulai kampanye untuk menghancurkan rumah-rumah dan bangunan-bangunan di sepanjang perbatasannya demi memperluas koridor Philadelphia,” kata Lorenzo Navone.

“Jadi saat ini luas lahan yang masuk koridor tersebut bertambah hampir dua kali lipat untuk mengontrol perbatasan dan menjaga warga Palestina tetap di Gaza.”

“Area yang tadinya merupakan ‘tanah tak bertuan’ di sisi perbatasan Gaza kini juga meluas hingga ke sisi perbatasan Mesir.”

Apa Kaitan Koridor Ini Dengan Masa Depan Gaza?

Setelah serangan Hamas pada 7 Oktober yang direspons Israel dengan operasi militer di Gaza untuk menumpas kelompok milisi itu, banyak yang bertanya-tanya siapa yang akan menguasai wilayah ini ketika operasi Israel berakhir.

Beberapa media Israel mengatakan bahwa Netanyahu berencana mengambil alih wilayah tersebut, termasuk Koridor Philadelphia, dan memberlakukan “zona penyangga” serupa di perbatasan utara Gaza dengan Israel.

Mesir belum menanggapi pernyataan Netanyahu soal niatnya untuk mengambil alih kendali di koridor tersebut, termasuk penyeberangan Rafah.

Para analis menekankan bahwa tindakan itu melanggar perjanjian damai antara Israel dan Mesir.

Namun kekhawatiran utama Mesir, kata para ahli, adalah bahwa serangan Israel di Gaza akan mendorong warga Palestina kian dekat ke perbatasan mereka. Ini bisa menyebabkan sejumlah besar pengungsi memasuki Mesir.

Presiden Mesir Abdel Fattah el Sisi telah berulang kali mengatakan bahwa Kairo tidak akan mengizinkan warga Palestina mengungsi ke Mesir.

Kekhawatiran mereka adalah penduduk Gaza akan mencari perlindungan di Semenanjung Sinai, dan Israel tidak akan pernah membiarkan mereka kembali ke Gaza.

Mesir mengatakan pengungsian warga sipil dari Gaza ke Mesir akan membahayakan perjuangan Palestina. Mesir juga menentang gagasan tersebut karena masalah ekonomi dan keamanan.

“Populasi Mesir saat ini sudah berlebih dan perekonomian mereka rapuh sehingga mereka tidak ingin banyak orang yang membutuhkan memasuki wilayahnya,” kata Lorenzo Navone.

“Saya rasa satu-satunya yang bisa memaksa Mesir menerima pengungsi adalah semacam kesepakatan ekonomi.”

“Meski demikian, mereka hanya bisa menerima pengungsi Palestina dalam jumlah terbatas, karena memobilisasi semua pengungsi sama saja dengan pembersihan etnis,” tambahnya.

Exit mobile version